Antara Santunan dan Pengungkapan Kebenaran
Presiden telah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat. Kebijakan ini dilakukan karena ketidakberhasilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial.
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan sudah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga sedang dalam proses pembahasan.
UU KKR sudah ada tahun 2004, tetapi dibatalkan MK tahun 2006. Sejak saat itu, usaha untuk membuat kembali UU KKR menjadi terkatung-katung. Dalam Prolegnas 2022 tidak termasuk RUU KKR.
UU KKR yang baru itu disusun sudah barang tentu akan memakan waktu. Belum lagi proses selanjutnya, seperti pembentukan panitia seleksi dan proses penyaringan calon anggota KKR yang berlangsung berapa tingkat. Setelah itu, masih akan memakan tempo pula saat komisi bekerja.
Mendesaknya penyelesaian non-yudisial ini karena ketidakberhasilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial.
Oleh sebab itu, tidak cukup waktu tiga tahun untuk menyelesaikan semua tahapan tersebut sampai KKR mengambil keputusan. Menurut hemat saya, fungsi KKR itu sebaiknya dijalankan atau digabung pada Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Jadi Tim itu diberi mandat untuk pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban: termasuk merekomendasikan amnesti dan rehabilitasi kepada Presiden serta usulan kompensasi.
Mendesaknya penyelesaian non-yudisial ini karena ketidakberhasilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial. Pengadilan HAM berat ad hoc dijalankan dalam kasus Timor Timur walaupun tidak seorang pun dijatuhi hukuman dalam pengadilan pada tingkat banding.
Peristiwa Tanjung Priok juga pernah disidangkan dan hanya menghukum pelaku yang bukan berpangkat perwira.
Selama dua dekade penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terbatas bantuan ringan untuk korban.
Walau tidak termasuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang ditangani Komnas HAM, tanggal 16 Desember 2020 Presiden Jokowi menyerahkan bantuan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme senilai Rp 39,2 miliar untuk 215 korban dan ahli waris dari 40 peristiwa.
Santunan
Mengenai pemulihan korban, selama ini upaya yang telah dilakukan terbatas kepada bantuan kebutuhan dasar. Wali Kota Palu, dalam Perwali Nomor 25/2013 (Rencana Aksi Nasional HAM Daerah) memberi bantuan kesehatan kepada korban peristiwa 1965 setelah secara terbuka meminta maaf.
Sejak tahun 1966 sampai 1978 ada 300 tapol 1965 yang kerja paksa membangun 17 proyek infrastruktur di Palu tanpa dibayar. Antara lain, proyek Kali Palu untuk mencegah banjir, pembangunan kantor Korem, dan pengaspalan jalan termasuk landas pacu bandara.
Tahun 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memberikan Bantuan Medis dan Psikososial (BMP) untuk korban Peristiwa 1965 (434 orang), Korban Penghilangan Paksa (12 orang), dan Kasus Tanjung Priok (6 orang). Tahun 2015 yang meminta bantuan ini 1.275 orang.
Dalam sejarah pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, seperti kasus 1965, investor dan perusahaan besar diuntungkan.
Makin lama makin banyak korban yang mendaftar dan belum mendapat bantuan. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai kemampuan keuangan negara untuk kebutuhan dasar, termasuk perawatan fisik dan mental (Pasal 1.6 UU KKR yang dibatalkan).
Dalam sejarah pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, seperti kasus 1965, investor dan perusahaan besar diuntungkan. Oleh sebab itu, kiranya perusahaan besar bisa memberikan dana corporate social responsibility (CSR) kepada korban pelanggaran HAM. Dengan demikian, tidak semuanya menjadi tanggungan negara.
Pengungkapan kebenaran
Tim Penyelesaian Non-yudisial ini mungkin bisa mencontoh model Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Komisi tersebut memeriksa beberapa kasus berdasarkan penyelidikan yang sudah dilakukan beberapa lembaga. Berdasarkan temuan tersebut, komisi turun ke lapangan mengumpulkan dokumen dan wawancara saksi, dan seterusnya.
Dalam keputusan akhir, komisi tersebut menguraikan berbagai kasus tersebut, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dan menyebutkan lembaga yang bertanggung jawab. Jadi tidak ada individu yang diadili.
Dibentuknya Tim Penyelesaian Non-yudisial ini seyogianya tidak meniadakan pengadilan HAM berat. Dengan pertimbangan bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu tidak mengenal kedaluwarsa. Peristiwa yang terjadi setelah pembentukan UU Pengadilan HAM November 2000 ditangani oleh Pengadilan HAM Berat.
Dalam UU Pengadilan HAM tahun 2000 memang disebut KKR sebagai alternatif dari Pengadilan HAM Berat. Namun, karena KKR tidak jadi terbentuk, Tim Penyelesaian Non-yudisial sebaiknya dianggap sebagai pengganti.
Menurut hemat kami, kasus Pembunuhan Misterius 1982-1985 dapat diselesaikan secara nonyudisial. Tim Penyelesaian Non-yudisial memeriksa kasus, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dan menyebutkan instansi yang bertanggung jawab. Kemudian diberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Dalam perspektif korban, tentu yang diharapkan kebenaran diungkapkan, pelaku dihukum dan kompensasi diberikan.
Korban 1965
Menyangkut tragedi 1965 sebaiknya kasus itu dipilah-pilah karena waktu dan tempat kejadian perkara berbeda. Peristiwa pembunuhan massal yang memakan korban 500.000 (termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan bahkan genosida) sebaiknya diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc.
Ada dua kasus yang dapat diselesaikan lebih dahulu. Pertama, kasus pencabutan kewarganegaraan orang Indonesia yang berada di luar negeri tahun 1965/1966. Kedua, kasus pembuangan paksa ke pulau Buru tahun 1969-1979. Kedua kasus itu murni kebijakan negara, tetapi merugikan bahkan menghancurkan kehidupan warga negara Indonesia.
Terhadap kasus pertama, tinggal diakui bahwa terjadi kekeliruan pada masa lampau dan untuk itu pemerintah meminta maaf kepada para eksil tersebut. Dalam kasus Pulau Buru, Presiden dapat memberikan rehabilitasi. Rehabilitasi ini perlu disetujui oleh Mahkamah Agung. Dulu Ketua MA Bagir Manan pernah membuat surat mengenai hal ini.
Dengan pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu terbuka peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa lalu. Sekaligus menepati (sebagian) janji Presiden Joko Widodo dalam Nawa Cita.
Dalam perspektif korban, tentu yang diharapkan kebenaran diungkapkan, pelaku dihukum dan kompensasi diberikan. Dalam kenyataan, seiring waktu yang terus berjalan, tidak semua bisa terwujud.
Asvi Warman Adam, Profesor Riset BRIN; Narasumber pada CAVR (2004) dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2008) di Dili; serta Saksi Ahli IPT 65 di Den Haag 2015