Kampus yang dikenal sebagai tempat keutamaan ternyata juga telah tercemar dengan korupsi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kampus dinilai sebagai tempat yang memiliki tatanan sosial baik, the good society. Operasi tangkap tangan terhadap Rektor Universitas Lampung meruntuhkannya.
Kampus yang dikenal sebagai tempat keutamaan (virtus) ternyata juga telah tercemar dengan korupsi (corruptio). Padahal, di lembaga inilah seharusnya sumber daya manusia unggul bangsa dilahirkan.
Pada Jumat (19/8/2022), sekitar pukul 21.00 WIB, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Lampung KRM terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur Sistem Mandiri Universitas Lampung (Simanila). KRM ditangkap bersama HY (wakil rektor I bidang akademik), MB (ketua senat), BS (kepala biro perencanaan dan humas), AF (dekan fakultas teknik), ML (dosen), AT (ajudan rektor), dan AD (keluarga mahasiswa peserta Simanila).
Setelah penyelidikan secara intensif, bukti permulaan cukup pun ditemukan. Pada Sabtu (20/8/2022), KPK menetapkan KRM sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi bersama HY, MB, dan AD.
Paparan kronologis KPK menunjukkan, praktik ini dilakukan sistematis. KRM memerintahkan HY, BS, dan MB mengumpulkan uang dari orangtua peserta yang ingin dibantu diluluskan. Uang yang dikumpulkan dari orangtua peserta pun tidak kepalang, Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.
Hal ini yang dilakukan AD. Dia menghubungi KRM untuk menyerahkan sejumlah uang karena keluarganya dibantu diluluskan. Atas perintah KRM, MB lalu mengambil titipan uang dari AD sebanyak Rp 150 juta di Lampung.
Paparan kronologis KPK menunjukkan, praktik ini dilakukan sistematis.
Jumlah uang yang pernah diterima KRM dari MB sekitar Rp 603 juta. KPK juga menemukan uang dari MB dan BS dari sejumlah orangtua lain yang dialihkan menjadi tabungan, emas, dan lainnya, yang mencapai Rp 4,4 miliar. Barang buktinya berupa uang tunai, slip setoran, deposito, kartu ATM dan buku tabungan, serta kunci safe deposit box berisi emas.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi prihatin dan berharap kejadian ini menjadi kasus terakhir di semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pemimpin PTN dan jajarannya. Namun, respons itu tentu tidaklah cukup. Perlu ada langkah konkret dan masif ke semua kampus. Kasus ini harus menjadi momentum membersihkan praktik korupsi di perguruan tinggi hingga ke akar dan membangun sistem transparan.
Korupsi di lembaga pendidikan sesungguhnya sudah mengakar. Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, sejak 2016 hingga 2021, tercatat ada 240 kasus korupsi pendidikan dan negara telah merugi Rp 1,6 triliun.
KPK perlu bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar mendorong dan menjamin para korban agar berani menjadi peniup peluit (whistleblower) untuk membongkar kasus-kasus yang pernah terjadi. Dengan demikian, semua ”tikus” di perguruan tinggi tertangkap dan kampus kembali menjadi virtus.