Apa yang Kau Cari Pelosi?
Tujuan kunjungan Pelosi untuk menunjukkan dukungan terhadap demokrasi Taiwan dinilai mengada-ada. Tujuan Pelosi tidak lebih sebagai pemandu sorak untuk Taiwan. Kunjungan itu lebih tentang politik domestik AS dan China.
Judul film Apa yang Kau Cari Palupi (1969) besutan sutradara Asrul Sani dalam konteks geopolitik saat ini mungkin dapat diadaptasi menjadi ”Apa yang Kau Cari Pelosi”. Film itu berkisah tentang Palupi, seorang wanita ambisius yang bertualang mencari cinta dan popularitas, tetapi berakhir tanpa mendapatkan keduanya.
Judul itu sangat relevan terkait dengan kunjungan kontroversial Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan pada 2 Agustus 2022. Rangkaian kunjungan Pelosi—yang juga wakil Partai Demokrat California—ke Singapura, Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang telah memicu ketegangan AS-China sejak rencana perjalanannya terungkap pada Juli lalu.
Apalagi kunjungan Pelosi, yang notabene nomor tiga di urutan suksesi presiden AS, dilakukan pada titik nadir hubungan AS-China. Kunjungan ini sangat ditentang Beijing dan dinilai sebagai ”pelanggaran serius” terhadap perjanjian historis AS-China 1979 yang mengatur hubungan kedua negara dan juga melanggar Undang-Undang (UU) Hubungan Taiwan (Taiwan Relation Act/TRA 1979).
Namun, keputusan untuk tak memasukkan Taiwan ke dalam jadwal resmi—untuk menjaga status kunjungan yang sifatnya tak resmi—menjadikan kunjungan berlangsung tanpa insiden (CNN, 3/8/2022).
Apalagi kunjungan Pelosi, yang notabene nomor tiga di urutan suksesi presiden AS, dilakukan pada titik nadir hubungan AS-China.
Saling kunjung
Kunjungan Pelosi bukan tanpa preseden. Pada 2 April 1997, Ketua DPR AS dari Partai Republik Newt Gingrich melakukan kunjungan singkat tiga jam ke Taipei seusai mengunjungi Korea Selatan, Jepang, China dan Hong Kong, sebelum teritori itu dikembalikan ke Beijing.
Kunjungan ini sama kontroversialnya karena pada awalnya juga ditentang Beijing, tetapi kemudian ”disetujui” dengan syarat bahwa Gingrich tidak terbang langsung ke Taiwan dari daratan (mainland) China. Oleh karena itu, setelah berkunjung ke Beijing dan Shanghai, Gingrich terbang dulu ke Tokyo, baru kemudian ke Taipei (Firstpost, 3/8/2022).
Namun, kunjungan Gingrich sangat berbeda dengan kunjungan Pelosi, dikaitkan dengan situasi hubungan AS, China, dan Taiwan saat itu.
Presiden Taiwan Lee Tenghui, yang prokemerdekaan Taiwan, kembali berkuasa setelah memenangi pemilu presiden secara langsung pertama ketika itu. Pada saat yang sama, di AS, Presiden Bill Clinton yang berasal dari Partai Demokrat terpilih kembali, tetapi Gingrich (Partai Republik) menguasai Kongres AS.
Sementara itu, China yang belum menjadi negara adidaya berupaya mengintimidasi Taiwan dengan serangkaian uji coba rudalnya, tetapi akhirnya mundur ( back down) setelah dua kapal induk AS, yakni USS Independence dan USS Nimitz, dikirim ke kawasan.
Sebelumnya, pada 11 Juni 1995, Presiden Lee melakukan kunjungan pribadi untuk menghadiri reuni di almamaternya, Universitas Cornell, tempat ia studi dan mendapatkan gelar doktor tahun 1968. Di bawah tekanan Kongres, Clinton akhirnya memberikan visa kepada Lee untuk menghadiri acara itu. Washington Post (11/6/1995) menyebut kunjungan ini ” The Taiwan genie is out of the bottle”.
Saling kunjung ini semakin intensif ketika pada Maret 2018 Presiden Donald Trump (Partai Demokrat) menandatangani UU Perjalanan Taiwan (Taiwan Travel Act). Sejak itu, pejabat dan anggota parlemen AS telah mengadakan lebih dari 20 perjalanan ke Taiwan.
Sejak lama Pelosi menjadi ’duri’ bagi China.
Sejak lama Pelosi menjadi ”duri” bagi China. Pelosi dikenal sebagai pengkritik keras Partai Komunis China dengan mencela catatan hak asasi manusia Beijing serta menemui para pembangkang prodemokrasi dan Dalai Lama (pemimpin spiritual Tibet di pengasingan).
Pada 1991, Pelosi membentangkan spanduk di Lapangan Tiananmen, Beijing, untuk memperingati korban peristiwa 1989 dan pada 2019 menyuarakan dukungan bagi protes prodemokrasi di Hong Kong. Uniknya, pada saat yang sama, AS tetap mempertahankan kebijakan Satu China-nya (One China Policy/OCP).
Ambiguitas strategis
Presiden AS Jimmy Carter secara resmi mencabut pengakuan diplomatik kepada Taiwan pada 1979 dan mengalihkannya ke China sejalan dengan konteks geopolitik Perang Dingin, tetapi melaksanakan kebijakan ”jalan tengah” Satu China yang berliku.
Washington mengakui China sebagai satu-satunya Pemerintah China yang sah dan memindahkan kedubesnya dari Taipei ke Beijing, tetapi tetap mempertahankan hubungan tak resmi dengan Taiwan. Kehadiran AS di Taipei diwakili American Institute di Taiwan, lembaga swasta yang juga melakukan kegiatan diplomatik.
China telah menjadi pihak yang diuntungkan (benefactor) dari kebijakan Satu China karena membuat ”Taiwan out into the diplomatic wilderness” (Firstpost, 3/8/2022).
Di lain pihak, TRA menegaskan, AS dapat menjual senjata kepada Taiwan yang bisa dipakai Taiwan untuk melindungi diri dari setiap kemungkinan ancaman terhadap keamanan, sosial, atau ekonomi warganya. AS juga dengan sengaja tetap mempertahankan kebijakan samar-samar (vague), akan membela Taiwan jika terjadi invasi China, tetapi tidak akan mendukung kemerdekaannya atau dikenal sebagai strategic ambiguity.
Dalam pelaksanaan TRA, pemerintahan Presiden Richard Nixon, Gerald Ford, dan Ronald Reagan—masing-masing secara terpisah pada 1972, 1979, dan 1982—mengeluarkan komunike bersama (joint communique) AS-China yang meletakkan dasar bagi masa depan hubungan kedua negara. Secara umum ketiga komunike itu mengakui bahwa Taiwan merupakan bagian dari China.
Namun, Reagan menyertai komunikenya dengan Enam Jaminan (Six Assurances) AS kepada Taiwan. Jaminan itu menyatakan, AS tak akan menetapkan tanggal akhir untuk penjualan senjata ke Taiwan, tak akan mengubah TRA, tak akan berkonsultasi dengan China tentang penjualan senjata, tak akan menengahi antara Taiwan dan China, tak akan mengubah pandangannya tentang kedaulatan Taiwan, dan tak akan secara resmi mengakui kedaulatan China atas pulau itu (New York Post, 3/8/2022).
Pemerintahan AS berikutnya, termasuk Presiden Joe Biden, telah menegaskan kembali dukungan untuk kebijakan Satu China melalui TRA, Komunike Bersama, dan Enam Jaminan.
Sejalan dengan strategic ambiguity, sering kali posisi AS jadi membingungkan.
Hanya mitos
Sejalan dengan strategic ambiguity, sering kali posisi AS jadi membingungkan. Pada Februari 1979, di depan Senat, Wakil Menlu AS Warren Christopher menyatakan, ”The U.S. has acknowledged the Chinese position that Taiwan is part of China, but the United States has not itself agreed to this position” (AS mengakui posisi China bahwa Taiwan merupakan bagian dari China, tetapi AS sendiri tak sepakat dengan posisi ini).
Selain itu, pada November 1992, rezim Nasionalis Taipei dan Komunis Beijing bertemu di Hong Kong tanpa menghasilkan kesepakatan tertulis, tetapi kedua pihak sepakat menggunakan istilah resmi ”Satu China” sekalipun ”each side could define ’one China’ as it wished” (setiap pihak bisa mendefinisikan ”Satu China” sekehendak mereka) (Washington Times, 12/12/2016).
Dalam konteks ini, pada 2004, Asisten Menlu AS untuk Asia Timur James Kelly melontarkan neologisme kebijakan ”Satu China kami” (Our One-China) dalam Kongres.
Menurut Kelly, meskipun tidak mudah didefinisikan, ”I can tell you what it is not. It is not the ’one-China policy’ … that Beijing suggests.” Beyond that, the ’one-China policy’only means that the U.S. recognizes one government of ’China’ at a time” (Saya dapat memberi tahu Anda apa yang tidak. Ini bukan ”kebijakan Satu-China” ... yang disarankan Beijing. Di luar itu, ”kebijakan satu-China” hanya berarti bahwa AS mengakui satu Pemerintah ”China” pada suatu waktu).
Sementara pada Agustus 1993, China menerbitkan buku putih berjudul The ”One-China Principle and the Taiwan Issue” yang secara sistematis menjelaskan Prinsip Satu China (One China Principle). TRA muncul karena AS menerapkan kebijak an ”Satu-China”, tetapi hal itu tak berarti pengakuan terhadap Prinsip Satu China di mana China berkeras Taiwan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari China untuk dipersatukan kembali suatu hari nanti.
Oleh karena itu, John J Tkacik dari The International Strategy and Assessment Center, dalam tulisannya ”One China Policy is Flawed” di Washington Times (12/12/2016) mengungkapkan fakta diplomatik yang menarik adalah bahwa ”Kebijakan Satu China” sebagian besar adalah mitos (myth), dan bagian yang ”bukan mitos” (unmyth) tidaklah seperti yang dibayangkan oleh ”para pakar”.
”Cheerleading”
Secara resmi, menurut Michael Schuman, AS masih menjunjung tinggi kebijakan Satu China, tetapi Beijing tidak memercayainya. Menlu China Wang Yi menuduh Washington memegang kebijakan Satu China yang ”palsu”.
Hal itu mendorong Beijing mengintensifkan upayanya untuk merusak tatanan global yang didukung AS dan mengonsolidasikan kemitraan anti-Amerika antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin (The Atlantic, 3/8/2022).
Tujuan kunjungan Pelosi untuk menunjukkan dukungan penuh terhadap demokrasi Taiwan dinilai mengada-ada.
Tujuan kunjungan Pelosi untuk menunjukkan dukungan penuh terhadap demokrasi Taiwan dinilai mengada-ada. Oleh karena itu, Pelosi ”disambut” Tentara Pembebasan Rakyat (The People’s Liberation Army/PLA) China dengan serangkaian latihan perang sesungguhnya (live fire) dan memberlakukan blokade lintas selat yang dampaknya segera dirasakan dengan terganggunya rantai pasok di Selat Taiwan, bahkan Asia Timur.
Menurut Prof Shelley Rigger, penulis buku Why Taiwan Matters (2011) dalam wawancara dengan The New Yorker (4/8/2022), kunjungan Pelosi pada akhirnya tentang politik domestik AS dan China, sementara Taiwan adalah pion yang terjebak di tengah.
Tujuan Pelosi tidak lebih sebagai pemandu sorak (cheerleading) untuk Taiwan. Kunjungan Pelosi ke Taiwan bukanlah masalah substantif, melainkan sekadar simbolis. AS menggunakan slogan ”We support Taiwan”, … and then when China pushed back, it became ”Well, now we have to go, because Beijing is pushing back” (”Kami mendukung Taiwan”, … dan kemudian ketika China mendorong balik, itu menjadi ”Yah, sekarang kita harus pergi, karena Beijing mendorong balik”).
Bagi Rigger, sikap AS itu tidak strategis, tidak rasional, tidak cerdas, dan tidak didorong oleh keahlian atau pemikiran tentang keamanan nasional.
Lalu, apa yang kau cari Pelosi? Bukankah masih banyak pekerjaan rumah yang berlarut-larut di dalam negeri, bahkan di California sendiri, mulai dari pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, hingga rasialisme. Palupi adalah fiksi, sedangkan Pelosi adalah nonfiksi, tetapi nasib mereka tampaknya sama. Kau dapatkah cinta dan popularitas itu?
Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional