Kisah pasang surut harga CPO global menampakkan dua wajah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia yang tahan banting lantaran ketiban durian runtuh CPO sekaligus Indonesia yang rapuh lantaran bergantung pada CPO.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Era harga tinggi komoditas global, termasuk minyak kelapa sawit mentah, mulai pudar. Kisah windfall atau durian runtuh komoditas andalan ekspor Indonesia itu diperkirakan berakhir pada 2023. Akankah Indonesia baik-baik saja tahun depan?
Tanda-tanda penurunan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global sudah terlihat sejak awal semester II-2022. Harga CPO yang pernah tembus di atas 7.000 ringgit Malaysia per ton pada Maret dan April 2022 mulai bergejolak di kisaran 3.500-4.500 ringgit Malaysia per ton pada Juli-Agustus 2022.
Pada Agustus ini, RHB Investment Bank menurunkan asumsi harga CPO 2023 dari 4.300 ringgit Malaysia per ton menjadi 3.900 ringgit Malaysia per ton atau sekitar 871,9 dollar AS per ton. Sebulan sebelumnya, tim ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memperkirakan, harga rata-rata CPO pada 2023 dan 2024 bakal turun masing-masing menjadi 939,3 dollar AS per ton dan 780,7 dollar AS per ton.
Koreksi harga itu mengasumsikan meredanya tensi geopolitik Rusia-Ukraina, peningkatan produksi minyak nabati global, dan pemulihan permintaan. Harga CPO baru yang terbentuk itu masih lebih tinggi dari 2019 dan 2020 yang harga rata-ratanya masing-masing 524,9 dollar AS per ton dan 667,6 dollar AS per ton.
Kisah pasang surut harga CPO global itu menampakkan dua wajah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia yang tahan banting lantaran ketiban durian runtuh CPO sekaligus Indonesia yang rapuh lantaran bergantung pada CPO. Kekuatan dan kerapuhan itu terlihat dari kinerja perdagangan, pendapatan negara, dan industri hulu-hilir sawit.
Selama ini, surplus neraca perdagangan RI lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas, sedangkan pertumbuhan volumenya stagnan. CPO, misalnya, yang berkontribusi sekitar 15 persen dari total nilai ekspor Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, harga CPO bergerak dari kisaran 500-1.000 dollar AS per ton pada 2020 menjadi kisaran 1.000-1.800 dollar AS pada awal 2021-Juli 2022. Adapun volumenya hanya bergerak di kisaran 1,5-2,2 juta ton.
Kisah pasang surut harga CPO global itu menampakkan dua wajah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia yang tahan banting lantaran ketiban durian runtuh CPO sekaligus Indonesia yang rapuh lantaran bergantung pada CPO.
Di sektor fiskal, CPO berkontribusi cukup besar pada penerimaan pajak (bea keluar) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023 disebutkan, fluktuasi harga komoditas, terutama produk kelapa sawit, serta mineral dan batubara (minerba) menjadi faktor dominan yang memengaruhi kinerja bea keluar.
Kenaikan harga CPO dan minerba pada 2021 membuat penerimaan bea keluar tumbuh 708,2 persen dari Rp 4,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 34,6 triliun pada 2021. Kendati mulai terkoreksi, harga komoditas masih cukup tinggi sehingga diperkirakan masih dapat meningkatkan penerimaan bea keluar hingga Rp 48,9 triliun pada 2022.
Demikian juga dari sisi PNBP, durian runtuh CPO membuat pendapatan badan layanan umum (BLU), termasuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), meningkat. Pada 2020, penerimaan BLU sebesar Rp 69,3 triliun. Seiring dengan kenaikan harga komoditas, terutama CPO, penerimaan BLU pada 2021 tumbuh 81,8 persen menjadi Rp 126 triliun.
Pada 2022, realisasi pendapatan BLU diperkirakan turun 18,21 persen dibandingkan dengan 2021 menjadi Rp 103 triliun. Penurunan itu dipengaruhi oleh larangan dan penghapusan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya untuk sementara waktu.
Seiring dengan penurunan harga komoditas pada tahun depan, penerimaan bea keluar dan PNBP diperkirakan turun. Penerimaan bea keluar pada 2023 diperkirakan anjlok 81,6 persen menjadi hanya Rp 9 triliun dan PNBP dari sisi BLU turun 19,4 persen menjadi Rp 83 triliun.
Penurunan pendapatan negara dari sektor pajak dan PNBP pada tahun depan bakal mempersempit ruang gerak fiskal. Padahal, pemerintah masih memerlukan dana besar untuk meredam Covid-19, menekan angka kemiskinan dan pengangguran, bahkan belanja infrastruktur dan politik.
Penurunan pendapatan negara dari sektor pajak dan PNBP pada tahun depan bakal mempersempit ruang gerak fiskal.
Di sisi lain, industri sawit dari hulu ke hilir masih membutuhkan perbaikan yang signifikan. Hal itu terutama mencakup menjaga harga tandan buah segar (TBS) petani agar tidak jeblok, menjaga stabilitas stok dan harga minyak goreng di dalam negeri, serta mencari pasar baru, bahkan subtitusi pasar agar volume ekspor CPO dan produk turunannya tetap terjaga.
Subtitusi pasar ini diperlukan untuk mengantisipasi India yang mulai menyubtitusi CPO dengan minyak nabati lain dan menggulirkan program swasembada sawit. India telah membuka perkebunan sawit seluas 2 juta hektar. Dalam 7-8 tahun ke depan, Telangana, negara bagian di India, diperkirakan dapat memproduksi 4 juta ton CPO.
India merupakan tujuan ekspor CPO Indonesia terbesar kedua setelah China. Pada 2021, Indonesia mengekspor CPO ke India sebanyak 3,09 juta ton atau sekitar 11,44 persen dari total ekspor CPO yang mencapai 26,99 juta ton.
Semoga akhir kisah durian runtuh CPO menjadi awal kisah Indonesia berbenah diri menata industri sawit dan pendapatan negara.
Akankah Indonesia baik-baik saja tahun depan? Tentu saja. Asal Indonesia mampu merealisasikan dengan benar dan tetap sasaran strategi yang telah digulirkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya tentang RAPBN Tahun Anggaran 2023 dan Nota Keuangan pada Selasa (16/8/2022). Sejumlah strategi itu mencakup hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, meningkatkan nilai tukar petani (NTP) di kisaran 105-107, serta mengoptimalkan penerimaan pajak dan reformasi pengelolaan PNBP.
Semoga akhir kisah durian runtuh CPO menjadi awal kisah Indonesia berbenah diri menata industri sawit dan pendapatan negara. Jangan sampai ontran-ontran minyak goreng sawit kembali terulang di kemudian hari. Semoga niat mulia itu tidak terbentur aneka kepentingan saat Indonesia memasuki laga liga para partai menuju takhta nomor satu RI.