Etika Berbohong
Presiden Jokowi berkali-kali meminta agar kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat diusut tuntas dan transparan. Dalam situasi gawat dan sulit orang perlu mendengarkan suara hatinya agar ketidakadilan tidak berjaya.

Didie SW
Sejak 8 Juli 2022 , perhatian publik terpumpun ke proses pengusutan perkara tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Kita tak akan ikut-ikutan membahas perkara itu. Biarlah itu ditangani timsus yang telah dibentuk Kapolri. Seperti dikatakan Presiden Jokowi, dan disampaikan melalui Menko Polhukam Mahfud MD, perkara itu harus diungkapkan apa adanya, tanpa ada yang ditutupi.
Namun, di media massa terdengar suara yang khawatir dengan adanya kode senyap (code of silence). Code itu nomina dalam bahasa Inggris yang bisa dipadankan dengan kode dan diterjemahkan jadi sandi. Akan tetapi, kalau code of silence diterjemahkan jadi sandi bungkam, rasanya tak tepat-makna. Asas bungkam lebih tepat.
Asas atau prinsip, dan di sini berarti sikap etika yang dipegang teguh dan dinyatakan dalam tindakan. Etika, bersama dengan logika dan estetika, adalah Aksiologi, cabang Filsafat yang menelaah nilai-nilai.
Logika menelaah nilai-nilai kebenaran/kesahihan, Estetika menelaah nilai-nilai keindahan, dan Etika mengkaji nilai-nilai kebaikan dan kejahatan. Jadi, asas bungkam sebagai sikap etika oleh mereka yang menganutnya tentulah diyakini sebagai sikap (dan tindakan) yang baik, apa pun alasannya.
Kalau ”asas bungkam” dipilih demi keselamatan diri sendiri saja, itu bisa disebut GTM (gerakan tutup mulut).
Mungkin alasannya demi menjaga marwah institusi atau demi semangat setia kawan (l’esprit de corps). Di kalangan mafia—Korsika dan Italia, ataupun Amerika—ada code of silence yang disebut omerta. Anggota la cosa nostra pantang buka rahasia ”keluarga” walau dicecar terus diinterogasi FBI.
Kalau ”asas bungkam” itu dipegang demi keselamatan diri sendiri dan pihak lain, istilah TST (tahu sama tahu) terasa ”pas”. Ada dua pihak yang sama-sama tahu apa yang terjadi, tetapi memilih bersimbiosis mutualis dalam kebungkaman.
Kalau ”asas bungkam” dipilih demi keselamatan diri sendiri saja, itu bisa disebut GTM (gerakan tutup mulut). Bisa pula ”asas bungkam” itu dianggap menuruti nasihat Sancho Panza, asisten ”pahlawan majenun”, Don Quixote, dalam novel satiris karya Miguel de Cervantes (1547-1616), Don Quixote de La Mancha: ”Mulut yang tertutup rapat tak kemasukan lalat” (a shut mouth catches no flies).

KPK Terima Laporan Percobaan Suap Ferdy Sambo
Melanggar prinsip
Tokoh yang bereputasi tak pernah bohong pun ada yang memilih GTM. Dalam lakon ”Durna Gugur”, Senapati Agung Kurawa itu bersama ribuan prajuritnya mengepung Prabu Puntadewa dengan cakra byuha.
Kesatria di pihak Pandawa tak bisa menembus labirin rumit berlapis itu, selain Arjuna dan putranya, Abimanyu. Namun, Arjuna sudah terpancing para senapati Kurawa, Prabu Wresaya dan Prabu Gardapati, jauh di luar medan laga Kurusetra. Maka Puntadewa mengutus Gatotkaca memanggil Abimanyu yang sedianya diamankan di keraton Wirata. Abimanyu berhasil meng-ambyar-kan cakra byuha, tetapi gugur sebagai kusuma bangsa.
Botoh Pandawa, Kresna, melancarkan siasat untuk menjatuhkan mental Durna. Diperintahkannya Werkudara membunuh gajah bernama Hestitama dengan pukulannya, dan para prajurit Pandawa disuruh berteriak, ”Tama mati, Tama mati”.
Mendengar teriakan itu, Durna mengira putra kesayangannya, Aswatama, gugur dalam Bharatayuda. Durna mau memastikan kebenaran kabar itu dengan menanyakan ke Puntadewa yang diketahuinya selamanya tak pernah berbohong.
Mendengarkan kata hati adalah prinsip etika rahib dan teologiwan Italia, Santo Thomas Aguinas.
Pucuk pimpinan tertinggi Pandawa itu tak menjawab, hanya mengucapkan kata-kata, ”Ya, Hesti TAMA mati.” Penggal depan nama gajah yang telah dibunuh Werkudara, ”Hesti”, diucapkan dengan suara lirih, dan penggal belakang, ”TAMA”, diucapkan keras dan jelas.
Durna terkecoh. Ia percaya kebohongan Puntadewa. Maka ia jadi putus asa, patah semangat, linglung. Dalam depresi berat, ia ”dibokong” dari belakang oleh putra mahkota kerajaan Pancalaradya, Trusthajumena. Dengan pedangnya Trusthajumena—dirasuki ruh Palgunadi yang dulu dibunuh Durna—memenggal kepala Durna.
Demi kemenangan Pandawa dan ditegakkannya keadilan, Puntadewa rela melanggar prinsip etikanya untuk tak memberi kesaksian dusta. Baginya, prinsip itu bukan imperatif kategoris yang harus dilakukan tanpa dipertanyakan atau ditawar-tawar lagi. Prinsip ”tak berbohong” itu hanya imperatif hipotesis yang dilakukan dengan asas prima facie, artinya hanya dilaksanakan kalau tak ada pertimbangan lain yang arasnya lebih tinggi.
Situasi gawat dalam kepungan labirin cakra byuha, yang akan membuat dirinya tertangkap dan tertawan, itulah pertimbangan lebih tinggi aras kepentingannya. Kalau ia tertangkap, berarti Bharatayuda selesai dengan kemenangan Kurawa dan jayanya ketidakadilan.

Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto (tengah) memberikan keterangan pers bersama Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (tidak tampak) terkait tewasnya Brigadir J (Nofriansyah Yoshua Hutabarat) di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Puntadewa mendengarkan kata hatinya. Ia mengindahkan hati nuraninya. Mendengarkan kata hati adalah prinsip etika rahib dan teologiwan Italia, Santo Thomas Aguinas. Memutlakkan imperatif kategoris dengan memperhatikan konteks situasi kegawatan dilematis yang dihadapi adalah asas etiknya Pastor Episkopal Joseph Fletcher.
Apakah dalam menyikapi kasus ”polisi tembak polisi” ada pihak/individu/pejabat yang mau berbohong seperti Puntadewa? Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu.
L Wilardjo, Fisikawan

L Wilardjo