Babak Pembangunan ”Pinggiran”
Denyut pembangunan di desa dan IBT kian terasa meski hasil yang lebih kokoh tetap dinanti dalam jangka panjang. Namun perlu paradigma pembangunan baru yang lebih kolaboratif antara negara, masyarakat, dan dunia usaha,
Saat menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan pernah mengeluarkan pernyataan yang membuat kaum kiri agak gerah.
Pernyataan itu: ”The nine most terrifying words in the English language are: ’I am from the government, and I am here to help’” (Mazzucato, 2021). Masa itu memang ditandai derasnya pemikiran ekonomi pasar yang ”meledek” negara sebagai sumber petaka.
Ungkapan ini diamini Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, sehingga keduanya dijuluki lokomotif liberalisme. Sejarah mencatat, ide itu melesat ke angkasa dan menjadi awan yang menyelimuti dunia.
Pandangan itu sekaligus melegitimasi kritik tajam kubu Marxian yang menuduh negara maju-kapitalis hendak melanggengkan relasi asimetris dengan negara terbelakang (level global) sehingga poros pusat (center)-pinggiran (periferi) menjadi abadi (dalam sistem ekonomi yang mengisap).
Dunia kini juga mencatat peristiwa ajaib: menggeliatnya negara ”pinggiran” dan terbenamnya negara ”pusat”.
Pinggiran dan konsep ”space”
Negara berbasis kapitalisme tak mengawali kemajuannya dari pandangan bahwa negara tak perlu aktif dan bermain di arena ekonomi. Sebaliknya, negara mesti superaktif mendorong bangkitnya industri, pembangunan infrastruktur, proteksi perdagangan, dan promosi investasi.
Agresivitas negara bila perlu dilakukan lewat penguasaan politik atas kedaulatan negara lain (kolonialisme), yang kemudian dilanjutkan dengan hegemoni lewat instrumen ekonomi (imperialisme). Prinsip kerja itu yang menjadi keyakinan dan sekaligus sumber kemajuan pembangunan.
Negara berbasis kapitalisme tak mengawali kemajuannya dari pandangan bahwa negara tak perlu aktif dan bermain di arena ekonomi.
Abad XVIII-XX ditandai praktik kebijakan semacam itu sehingga watak ekonomi sebagian (besar) tak ditandai oleh kebebasan dan kesetaraan. Seiring bangkitnya negara-bangsa pada awal abad ke-20, perubahan kebijakan dimulai dengan membuka semua pagar dan pintu ekonomi antarnegara saat posisi negara kapitalis telah mencapai kematangan paripurna.
Cerita sejarah itu dengan terang membuka tabir yang sesungguhnya: gagasan keterbukaan ekonomi (liberalisme) bukanlah sebuah keyakinan akademik, melainkan lebih keteguhan antagonistik (berdasarkan relevansi keadaan).
Jika kegiatan ekonomi masih keropos, kebijakan protektif dan peran negara agresif jadi pilihan. Sebaliknya, saat kondisi ekonomi dan para pelakunya kuat, negara melepaskan genggaman. Implikasinya, negara terbelakang yang merdeka belakangan selalu tertatih mengikuti ritme kebijakan pembangunan yang disorongkan oleh negara ”pusat” tersebut.
Didie SW
Pada saat negara berkembang masih berjalan lemah dipaksa berkompetisi dengan negara ”pusat” yang telah gagah, sehingga halaman ekonominya mudah disapu oleh kekuatan pelaku ekonomi dari negara maju. Inilah praktik buas yang berjalan selama ratusan tahun.
Meski begitu, tak pernah ada skenario jangkap: selalu ada celah rancangan yang terkoyak. Lubang itulah yang dimanfaatkan Jepang, Korea Selatan, China, dan beberapa negara lain sehingga pembesaran ekonomi dapat diakumulasi.
Percepatan pembangunan mereka berjalan seiring merosotnya negara ”pusat”. China segera menggeser AS sebagai ekonomi terbesar. Sejak 2010 China menggeser Jerman sebagai eksportir terbesar.
Terdapat empat agenda keberhasilan negara-negara itu merebut peluang ekonomi: desain sistem ekonomi, penguasaan pengetahuan (teknologi), prioritas sektor ekonomi, konsistensi strategi (kebijakan). Korsel, misalnya, fokus ke percepatan industrialisasi, penetrasi hulu ekonomi, kontrol dan mobilisasi tenaga kerja, pelembagaan dunia usaha.
Baca Indonesia dan Narasi Asia
Pinggiran dan pemihakan sistem
Indonesia secara serius mengusung misi membangun dari pinggiran sejak 2014 saat Joko Widodo terpilih sebagai presiden. Kesadaran itu muncul akibat disparitas pembangunan antara desa dan kota dan ketimpangan antara Indonesia bagian barat dan timur (”pusat” dan ”pinggiran” dalam level domestik).
Ini dicatat Bourguignon (2015) juga terjadi di banyak negara berkembang. Jadi, jelas terlihat formula ”pinggiran” dimaknai sebagai lokus wilayah (space). Ini linier dengan konsep periferi para ekonom kiri: Paul Baran, Samir Amin, Fernando H Cardoso, Raul Prebisch, dan lain-lain.
Postulat ini meyakini, memajukan dan memperkuat zona ”pinggiran” merupakan keniscayaan sehingga dalam konteks Indonesia pilihan penguatan desa dan Indonesia bagian timur/IBT (termasuk daerah perbatasan) adalah kepastian yang dibutuhkan.
Pembangunan infrastruktur masif di desa (khususnya via Dana Desa) dan IBT merupakan sebagian kecil dari implementasi mengurus pinggiran. Ini fakta yang tak bisa ditutupi atas perubahan besar ini.
Denyut pembangunan di desa dan IBT saat ini kian terasa meski tentu saja hasil yang lebih kokoh mesti dinanti dalam jangka lebih panjang. Proporsi investasi antara Jawa dan luar Jawa yang dulu begitu timpang kini seimbang.
Namun, melihat pengalaman negara pinggiran yang kemudian merangsek ke pusat, seperti Korsel dan China, memahami penguatan pinggiran tak bisa hanya dari perspektif ”lokus”. Afirmasi kepada wilayah pinggiran seyogianya dipahami sebagai pengumpulan pengetahuan dan pemilihan sistem (kebijakan) agar tak menggumpal ke pusat.
Ilustrasi sederhananya: jika pembangunan infrastruktur dikerjakan di desa, tetapi stok pengetahuan tak berkembang dan instrumen ekonomi tak dirancang bagi partisipasi warga lokal, maka perbaikan infrastruktur jadi fasilitator sempurna bagi penyedotan sumber daya lokal ke kota dan arus balik bahan olahan ke desa. ”Pinggiran” terpukul dua kali.
Ringkasnya, pembangunan berbasis lokasi (desa dan daerah tertinggal) merupakan syarat perlu, tetapi jelas sangat tak memadai. Jika babak pertama pembangunan daerah pinggiran bertumpu kepada pendekatan space, episode kedua wajib berporos pada penguatan pengetahuan dan desain sistem/kebijakan. Pemerintah harus berjuang keras mengangkat pengetahuan dan keterampilan seluruh lapis warga sehingga tak ada bias wilayah dan kelas.
Proses mengatasi ketimpangan ini hanya bisa diinisiasi oleh tindakan pemerintah (Henderson, 2020).
Pembalikan peradaban
Babak ketiga membangun dari pinggiran adalah ”membalik pusat peradaban”. Istilah pinggiran, tanpa disadari, sebetulnya manifestasi dari ketertindihan peradaban. Peradaban di sini melintasi dimensi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Isunya bukanlah peradaban yang lebih rendah di wilayah ”pinggiran”, melainkan ketidaksanggupan keseluruhan sistem nilai yang diyakini memantul ke permukaan dan dijadikan sebagai sumber acuan.
Pada titik ini, peradaban ”pusat” yang berhasil menyusup sehingga menjadi sumber otoritas penyelenggaraan negara (bahkan kehidupan secara lebih luas). Jadi, membalik peradaban mempunyai makna mendongkrak sistem nilai yang berada di pinggiran agar memuncrat ke atas dan mengambil alih sebagian (besar) otoritas nilai di pusat. Artinya, otoritas pengetahuan, ekonomi, politik, sosial, hukum, dan lain-lain digeser ke ”pinggiran” sehingga peradaban ”pusat” tidak lagi menjadi kekuatan hegemonik.
Pergeseran otoritas ini membutuhkan kesanggupan memindahkan seluruh sumber daya kehidupan, baik lokus maupun sistem/kebijakan, menuju pemihakan ”pinggiran”. Secara fisik aneka konsentrasi pembangunan diarahkan ke wilayah pinggiran agar infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan administrasi tidak kalah dengan wilayah pusat. Proses mengatasi ketimpangan ini hanya bisa diinisiasi oleh tindakan pemerintah (Henderson, 2020).
Supriyanto
Bobot pergeseran itu akan kian kukuh jika diteruskan ke afirmasi kognitif berupa penyerapan sistem nilai baru yang punya akar tunjang di wilayah pinggiran. Sistem dan kebijakan baru disusun berdasarkan pengetahuan lokal, yang sebagian terbukti bisa jadi alternatif gagasan pembangunan dari praktik lama yang dianggap memproduksi ragam residu. Pergeseran ini membuat substansi pengelolaan negara mengalami perubahan mendalam karena nilai-nilai lama dibongkar menuju nilai-nilai baru.
Sungguhpun begitu, pergeseran lokus pembangunan dan redesain sistem nilai saja belum komplet. Dibutuhkan simbolisasi yang menghidupkan sikap dan pikiran agung.
Di dalam kata pinggiran bersemayam mental kelas dua, pikiran rendah diri, dan perbuatan kurang berbobot. Sejarah Indonesia (juga negara lain) memperlihatkan betapa kata ibu kota jadi simbolisasi efektif atas otoritas kehidupan. Penyebutan ibu kota sekurangnya melambangkan pusat kegiatan politik, pusaran aktivitas ekonomi, dan sentra produksi pengetahuan.
Baca juga Tentang Satu Masa Depan Nusantara
Jadi, pemindahan ibu kota negara yang sedang digarap sekarang ini mesti diterjemahkan sebagai bingkai pembalikan peradaban, sebab bakal jadi kekuatan eksplosif mengubah tatanan nilai yang menyangga kehidupan bangsa. Diskursus ibu kota tak semata dipahami sebagai soal teknis, misalnya mengurai kemacetan atau ketimpangan ekonomi, tetapi perkara strategis untuk pembalikan peradaban bangsa (relasi pusat-pinggiran).
Negara dan ”co-shaping markets”
Ketiga babak di atas tak sekadar bermakna mengurus atau melakukan pembangunan dari pinggiran, tetapi juga menghilangkan relasi pusat-pinggiran yang serba dikotomis. Ketiganya merupakan bahan baku konseptual agar ”pinggiran” tegak berinteraksi dengan ”pusat” sehingga menjadi matra baru pembangunan yang bermartabat.
Pada ujungnya, babak keempat, ialah penempatan peran negara dalam bingkai relasi pusat-pinggiran yang baru ini. Di sini terdapat tiga gugus utama yang mesti disusun dalam struktur peran negara.
Pertama, penciptaan nilai baru merupakan buah dari pendekatan kerja kolektif pemerintah, dunia usaha, dan warga sipil. Jika pendekatan lama lebih banyak disusun oleh pemerintah, perspektif baru ini merupakan konsensus yang dibangun bersama sehingga jadi hak milik kolektif dan aturan main publik. Standar ini memastikan pengetahuan lokal menjadi bagian alas operasionalisasi bernegara (dan pembangunan).
Kedua, relasi negara dan pasar tak saling menggantikan. Istilah Mazzucato (2021): peran negara bukan untuk fixing markets, melainkan co-creating and co-shaping markets. Relasi keduanya tak lagi dikotomis, tetapi lebih banyak kolaboratif (dengan pembagian fungsi yang berbeda). Fungsi baru ini mesti menjelma menjadi bagian dari nilai baru.
Ketiga, terkait pembangunan, pemerintah wajib punya misi ekonomi. Istilah ini merujuk perubahan birokrasi dari semula berorientasi penataan (order) menjadi pelayanan (deliver) terhadap tujuan mulia yang telah ditetapkan, seperti kemajuan pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan ekonomi, dan keadilan sosial. Orientasi kerja baru ini membutuhkan energi yang luar biasa sebab birokrasi (sebagai kaki penyangga pemerintah) kerap memiliki kepentingan yang besar, yang biasanya berpunggungan dengan spirit perubahan.
Penyebutan ibu kota sekurangnya melambangkan pusat kegiatan politik, pusaran aktivitas ekonomi, dan sentra produksi pengetahuan.
Intinya, peran ini hendak menutup celah cemooh Reagan, yakni negara tak berlaku sebagai agen yang datang untuk menyelesaikan persoalan dan membahagiakan warga (yang ternyata malah membuat perkara kian berantakan). Jika penetrasi paradigma baru peran negara ini diinsafi dengan laik, maka tiga babak pemugaran pembangunan (yang bertumpu pada terma pinggiran) akan jadi penyangga baru bernegara.
Perkakas fisik pelayanan publik lengkap tersedia (tak kalah kelas dari wilayah pusat), cahaya pengetahuan lokal menerpa warga karena pintu dan jendela dibuka (termasuk desain sistem/kebijakan pembangunan baru menjadi selimut), dan terjadinya pembalikan peradaban lewat pergeseran otoritas simbolik (seperti pemindahan ibu kota negara) menjadi trisula lapis penguatan ”pinggiran”. Selebihnya, keseluruhan agenda besar ini menghendaki sikap para penyelenggara negara yang berakal, bukan gerombolan yang bebal.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB; Ekonom Senior Indef; dan Kepala Sekretariat Wakil Presiden