Untuk melesatkan kualitas pendidikan kita dibutuhkan kebijakan dan program meningkatkan kualitas guru. Di tengah kebijakan Merdeka Belajar, sangat dinantikan episode kebijakan pendidikan yang memerdekakan profesi guru.
Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
·5 menit baca
Kebijakan prioritas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Menteri Nadiem Makarim adalah Merdeka Belajar. Sudah belasan episode kebijakan Merdeka Belajar diluncurkan Kemendikbudristek sejak 2020. Prinsip dasar yang dipegang Kemendikbudristek dalam menetapkan kebijakan maupun program adalah memberikan yang terbaik untuk para murid dan guru.
Berbagai kebijakan dan program yang diluncurkan Kemendikbudristek merupakan langkah dari transformasi pendidikan yang berfokus tidak hanya kepada murid, tetapi juga guru. Peran guru memang tidak dapat dinafikan sebagai bagian penting dalam melakukan transformasi pendidikan.
Guru itu manusia biasa, tetapi memiliki peran yang luar biasa dalam pembangunan sumber daya manusia. Guru diharapkan mendidik anak didik agar merdeka dalam memaksimalkan potensinya.
Tetapi, sudahkah guru itu dimerdekakan dan dimaksimalkan dalam mengembangkan potensi dirinya? Berbagai kebijakan pendidikan diluncurkan agar guru berpihak kepada anak didik, tetapi seberapa banyak kebijakan tersebut yang benar-benar berpihak kepada guru?
Seluruh kebijakan dan program bidang pendidikan akan berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan apabila pemerintah fokus kepada tata kelola guru karena guru memiliki peran sangat strategis dalam melakukan transformasi pendidikan. Penyediaan guru dan pengembangan kompetensinya merupakan kunci bagi kemajuan pendidikan.
Berbagai kebijakan pendidikan diluncurkan agar guru berpihak kepada anak didik, tetapi seberapa banyak kebijakan tersebut yang benar-benar berpihak kepada guru?
Dalam transformasi pendidikan, guru lebih sering dititipi persoalan dan diberikan tumpuan beban melalui kebijakan yang datang dari atas, bukan berdasarkan kebutuhan dari bawah. Guru kurang diberikan pelayanan untuk keluar dari berbagai persoalan yang membelitnya.
Birokrasi pendidikan belum memaksimalkan perannya sebagai ”pelayan” guru. Akibatnya, guru terus tersandera dalam jeruji persoalan dan sulit keluar apabila tidak dimerdekakan perannya. Sangat dinantikan episode kebijakan pendidikan yang memerdekakan profesi guru sehingga profesi ini menjadi idaman anak-anak muda cerdas dan berkarakter yang ingin mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan.
Kualitas pendidikan
Hingga 77 tahun Kemerdekaan RI, berbagai persoalan masih membelit dunia pendidikan kita. Hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 yang dirilis Kemendikbudristek (Kompas, 3/4/2022) menunjukkan kompetensi literasi dan numerasi anak didik kita terutama di jenjang SD dan SMP belum memenuhi standar minimum. Satu dari dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi, dan dua dari tiga peserta didik belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Kesenjangan mutu pendidikan pun masih melebar. Data hasil AN tahun 2021 menunjukkan bahwa performa satuan pendidikan terbaik di salah satu kabupaten di luar Pulau Jawa setara dengan performa satuan pendidikan terburuk di salah satu kabupaten atau kota di Jawa. Kesenjangan mutu pendidikan yang tinggi juga ditunjukkan antara keadaan satuan pendidikan yang terbaik dan terburuk di satu daerah.
Rendahnya kualitas pendidikan kita tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang kurang menyasar program peningkatan kualitas guru.
Masih maraknya kebijakan pendidikan yang oversimplifikasi terhadap ragam persoalan dunia pendidikan membuat kualitas pendidikan kita masih sulit melompat tinggi. Hal ini tidak terlepas dari karut-marut persoalan yang masih membelit para guru.
Sekitar 1,3 juta guru belum mengikuti Pendidikan Profesi Guru dan belum memiliki sertifikat pendidik, sementara itu puluhan ribu guru pensiun setiap tahun. Kekosongan guru tetap terjadi hampir di setiap daerah, dan ruang ini diisi pengabdian guru honor dengan gaji minim yang jauh dari kata cukup. Upaya pemerintah dengan merekrut guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) belum tuntas memenuhi kekurangan guru yang terus bertambah setiap tahun.
Rendahnya kualitas pendidikan kita tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang kurang menyasar program peningkatan kualitas guru. Rendahnya kualitas pendidikan kita tidak dapat hanya diselesaikan sebatas mengubah kurikulum atau bahkan sebatas mengganti menteri. Untuk melesatkan kualitas pendidikan kita dibutuhkan kebijakan dan program meningkatkan kualitas guru dimulai dari perekrutan calon guru, pelatihan berjenjang, dan berkelanjutan untuk guru dalam jabatan.
Pembentukan bermacam-macam organisasi profesi guru pun dibiarkan merdeka dan berpotensi terpecah belah karena tidak bersatu dalam wadah tunggal untuk menyatukan gerak langkah bersama membantu pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Kebijakan Merdeka Belajar yang diklaim berpihak kepada guru terasa hanya pada penyelesaian persoalan administratif pembelajaran, tetapi kurang menyentuh persoalan yang substantif seperti kompetensi, kesejahteraan, dan perlindungan. Sistem tata kelola guru dari hulu hingga hilir belum tergarap serius dalam belasan episode kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah.
Guru perlu merdeka
Masih banyak guru yang belum merdeka secara finansial. Guru pun masih banyak yang belum merdeka dan terlindungi dalam menjalankan profesinya di kelas. Ketakutan dan ancaman terkena pasal hukum yang dapat menjerat mereka sewaktu-waktu selalu menghantui para guru saat mendisiplinkan anak didiknya di kelas.
Bergantinya kurikulum dalam suasana pandemi yang belum berakhir seolah semakin menguatkan pemeo ”ganti menteri, ganti kurikulum”. Pemberlakuan kebijakan relaksasi bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang diterapkan, faktanya masih menyisakan persoalan.
Peran guru lebih terlihat sebagai pelaksana kurikulum dibanding sebagai pengembang kurikulum.
Dalam praktiknya, hampir seluruh sekolah didorong memilih menerapkan Kurikulum Merdeka secara mandiri. Akibatnya, peran guru lebih terlihat sebagai pelaksana kurikulum dibanding sebagai pengembang kurikulum.
Secara ideal, penerapan kurikulum merdeka dapat dilakukan menyeluruh di semua sekolah (penggerak maupun nonpenggerak). Tetapi, secara realistis, sekolah lebih bijak apabila menerapkan Kurikulum 2013 yang disederhanakan dengan pengintegrasian proyek Profil Pelajar Pancasila.
Hal ini disebabkan terhentinya pembelajaran tatap muka selama dua tahun akibat pandemi Covid-19 dan terjadi penurunan pencapaian kompetensi yang membutuhkan akselerasi belajar dengan pelaksanaan kurikulum yang disederhanakan.
Sebenarnya guru itu merupakan kurikulum hidup yang berjalan. Guru yang super terampil, kreatif, inovatif, dan berdedikasi harus terus ditumbuhkembangkan oleh pemerintah dibandingkan menyusun kurikulum baru sebatas hanya sebuah dokumen. Sebagai benda mati, dokumen kurikulum itu hanya akan hidup di tangan para guru yang kreatif, inovatif, memiliki resiliensi, dan militansi tinggi untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran.
Sebagus apa pun dokumen kurikulum yang disusun, tidak akan dapat maksimal diterapkan di lapangan apabila guru sebagai kurikulum hidup tidak dilatih penerapan metode pembelajaran yang baik secara berkesinambungan sehingga mampu menerjemahkan dan menjalankan kurikulum secara efektif dan efisien. Jadi, sebaiknya pemerintah berfokus pada pelatihan metode pembelajaran untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 yang disederhanakan.
Agar mendapatkan guru yang super, maka sistem perekrutan calon guru perlu dibenahi. Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) perlu direformasi agar kualitasnya lebih meningkat. Selain itu, penyiapan Pendidikan Profesi Guru yang baik akan turut memberikan andil besar dalam menyiapkan guru-guru yang profesional.
Perlu keseriusan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk memerdekakan para guru sehingga terwujud guru yang kompeten, terlindungi, dan sejahtera. Sangat dinantikan episode kebijakan yang berpihak dan memerdekakan profesi guru sehingga tumbuh berkembang menjadi profesi yang sangat didamba dan mulia. Keberpihakan tersebut harus nyata.
Catur Nurrochman Oktavian, Guru SMP Negeri 1 Kemang, Kabupaten Bogor; Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PGRI Pusat