Untuk UKM bertipologi bertahan hidup, transformasi digital bukanlah kepentingan utama. Kepentingan utamanya adalah kebijakan pemerintah yang berpihak padanya.
Oleh
Sri Bramantoro Abdinagoro
·5 menit baca
Aktivitas sehari-hari kita, kini tidak lepas dari teknologi dan sistem informasi. Tidak saja terjadi pada orang dengan tingkat ekonomi yang tinggi, tetapi juga yang rendah ikut terimbas. Tidak saja pada perusahaan-perusahaan berskala besar, namun juga pada perusahaan-perusahaan pada skala yang kecil ikut merasakan keberadaan teknologi dan sistem informasi ini, atau dengan kata lain terimbas dan terpengaruh dengan teknologi digital.
Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak luput dari pengaruh ini. Keberadaan UKM yang ditengarai memberikan efek ekonomi yang besar dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sekitar 97 persen, memberikan kontribusi pada PDB hampir 61 persen (KemenkopUKM, 2021). Untuk itu memadukan unsur tekologi digital dan UKM dianggap akan memberikan dampak yang berbeda pada kinerja dan kemajuan UKM. Apakah benar demikian?
Dengan jumlah yang besar, sudah tentu akan sangat beragam jenis usaha dan ukuran usaha yang ada dalam kelompok UKM ini. Ada kelompok usaha mikro, kelompok usaha kecil dan kelompok usaha menengah di dalamnya dimana usaha mikro mendominasi dalam hal jumlah. UKM juga punya berbagai macam usaha, dimana usaha perdagangan eceran mendominasi hampir 46 persen, baru disusul usaha akomodasi dan makanan-minuman (kuliner) dan industri pengolahan masing-masing 16 persen.
Jadi kelompok usaha mikro dan pedagang eceran merupakan segmen terbesar dari UKM. Betulkah kelompok ini juga ikut masuk menjadi target transformasi digital yang selama ini selalu digaungkan?
Istilah ‘transformasi digital’ memang menjadi bahasa yang popular dewasa ini, namun jika tidak hati-hati memahaminya akan menjadi salah persepsi. Transformasi digital, secara sederhana, diartikan sebagai kemampuan individu atau usaha menggunakan alat digital untuk menciptakan pengetahuan, aktivitas, atau inovasi baru. Oleh karenanya, pemahaman/literasi tentang digital, menjadi kunci penting terlebih dahulu karena setelah itu akan membangkitkan aktivitas berbasis digital dan inovasi-inovasi baru bersumber digital.
Ada tahapan untuk sampai pada sebutan transformasi digital. Tidak semua UKM mampu mencapai tahapan tertinggi, apalagi transformasi digital. Singkatnya, level terbawah adalah level adaptasi digital, dimana individu atau usaha, hanya menerima dan beradaptasi dengan teknologi digital yang ada tanpa memikirkan aktivitas apalagi inovasi yang muncul sebagai akibatnya. Pokoknya, teknologi hanya dipakai sebagai alat. Yang paling tinggi tentu level adopsi digital, ini yang menurut penulis sebagai bagian utama atau "jantungnya" dari transformasi digital.
Kembali lagi ke UKM, dengan melihat profil dan segmentasi terbesar UKM maka berat jika semua UKM bertransformasi digital. Ada dinding besar menghalanginya. Faktor jenis usaha, umur pemilik usaha menjadi penting. Yang lebih penting lagi adalah orientasi utama UKM tersebut.
Jika transformasi digital lebih berpengaruh pada orientasi kinerja bisnis UKM, maka akan tidak pas jika UKM masih berorientasi pada bertahan hidup (survival). Riset Suryani (2022) membuktikan bahwa transformasi digital tidak mempengaruhi kinerja bisnis UKM, terutama pada sektor/jenis usaha perdagangan/eceran.
Memang berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan UKM yang dikelola oleh Gen-Z Milenial. Karakter kaum milenial yang dekat dengan teknologi digital, membuat keyakinan bahwa digital transformasi berpengaruh pada kinerja usaha sangat besar, dan menariknya adalah jenis usaha yang ditekuni juga berbeda, tidak lagi perdagangan eceran melainkan makanan dan minuman dan ekonomi kreatif.
Digital Transformasi untuk Siapa?
Dengan melihat perbedaan ‘segmen’ UKM, sudah semestinya penanganan terhadapnya juga berbeda. Transformasi digital akan berhasil baik jika dijalankan pada UKM dengan tipologi jenis usaha kekinian dan kreatif yang umumnya dipunyai oleh generasi Z atau generasi yang melek digital. Yang juga mementingkan kinerja usaha sebagai orientasi usahanya. Sedangkan untuk tipologi jenis usaha pedagang eceran, dimiliki oleh generasi yang lebih tua, yang bisa jadi masih banyak yang gagap teknologi (gaptek) tidak disarankan untuk mendorongnya dengan kuat.
Ekosistem digital tentu diperlukan untuk usaha Gen-Z, sehingga sudah sewajarnya dukungan penuh ke arah sana. Kebijakan pemerintah dan tentu swasta yang terlibat, lebih terarah pada penyediaan infrastruktur yang memadai, akses permodalan yang lebih mudah, akses internet dan teknologi digital yang lebih banyak.
Bagaimana dengan UKM yang mesih berorientasi bertahan (survive)? Tentu permasalahan akan berbeda. Namanya juga bertahan, tentu inovasi dan kreativitas menjadi sangat minim. Mengejar untuk literasi digital juga bisa menjadi bukan prioritas utamanya. Bagaimana mau inovatif dan mau belajar teknologi, untuk bertahan hidup saja masih perlu perjuangan?
Untuk tipologi UKM seperti ini, tentu yang dibutuhkan bukan transformasi digital, tetapi iklim atau lingkungan usaha yang mendukung UKM untuk bisa bertahan. Artinya, kebijakan pemerintah yang menjaga UKM ini dari persaingan yang tidak sehat, kebijakan yang menjaga pasar, seperti misalnya: memberi tempat dan ruang berusaha yang layak, melindungi dari kompetitor bermodal besar dengan memberi batasan-batasan atau proteksi yang kuat.
Dapat dipahami dan dimengerti jika kebijakan membatasi pengecer warabala bermodal besar oleh pemerintah daerah dilakukan. Tanpa disadari sudah banyak warung kelontong dan penjual eceran yang gulung tikar karenanya. Jadi perhatian pemerintah terutama pemerintah daerah terhadap proteksi UKM yang bertahan dan melalui pengaturan mekanisme pasar sangat diperlukan.
Apakah kemudian UKM bertipologi bertahan hidup itu ditinggal dalam transformasi digital? Tentu jangan ditinggal, karena digital teknologi suatu keniscayaan dan tidak bisa dihindari. Hanya saja, untuk tipologi UKM ini sudah pasti literasi digital memerlukan usaha dan waktu yang lama. Boleh jadi, saat ini adaptasi teknologi saja sudah cukup, ada masa waktu tertentu bergradasi dari adaptasi teknologi ke adopsi teknologi "transformasi digital".
Kemudian, yang paling mudah adalah ‘memaksa’ menggunakan perangkat digital, misalnya sistem nontunai, menyediakan alat EDC (electronic data capture) dalam usahanya. Dengan ‘pemaksaan’ ini, diharapkan UKM dapat membantu terus bertahan hidup, dan akan terbiasa dan bergerak ke transformasi digital. Secara kasat mata, sebetulnya hal ini sudah terjadi dengan adanya ‘paksaan’ dari penyedia jasa antar, macam Gofood, Grabfood, Gosend, dan lainnya.
Sekali lagi, untuk UKM bertipologi bertahan hidup, transformasi digital bukanlah kepentingan utama. Kepentingan utamanya adalah kebijakan pemerintah yang berpihak padanya, memberikan ruang dan tempat berusaha, bahkan menjaga dan memproteksinya dari persaingan yang tidak sehat karena bersaing dengan pemodal besar.
Sri Bramantoro Abdinagoro adalah dosen BINUS University dan anggota Indonesia Strategic Management Society