Spiritualisme Ubud
Jika merunut sejarah, spiritualitas yang dipancarkan Ubud tidak melulu dibawa dan berkembang karena adanya pergerakan orang Barat, tetapi juga mencuat dari kedalaman kebudayaan Bali.
Anak Agung Gde Rai (67) punya kebiasaan rutin. Sebagaimana umumnya orang desa, Gung Rai selalu bangun pagi. Sering kali bahkan lebih dulu daripada matahari. Saat langit belum galang kangin alias terang di timur, ia sudah menenteng segelas kopi. Seteguk seduhan bubuk berwarna hitam itu sudah membuatnya menggenggam setangkai sapu lidi. Pelan-pelan ia mulai menyapu daun-daun jatuh yang berserakan di halaman.
Di musim kemarau seperti saat ini, pohon-pohon besar yang tumbuh menaungi halaman Museum ARMA (Agung Rai Museum of Art) Ubud setiap saat menggugurkan daun-daunnya. Pepohonan selalu memahami bahasa musim dengan caranya yang misterius. Dedaunan tua pun tak pernah menolak melepaskan diri dari ranting sebelum akhirnya terbaring ke haribaan bumi.
”Tidak sebagai sampah, tetapi laku pengorbanan demi kelanjutan hidup. Itulah kemuliaan dari sebatang pohon,” kata Gung Rai. Kami berbincang sebelum menyaksikan perhelatan Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2022, Jumat (12/8/2022) yang setiap tahun digelar di panggung terbuka Museum ARMA.
Bagi Gung Rai, menyapu halaman juga bagian dari caranya menghayati spiritualitas yang ia warisi dari para leluhur Bali. Daun jatuh tidak termasuk dalam kategori kotoran karena ia mengemban misi ”Ilahi”, sebagai pembentuk humus, yang melapisi tanah agar tetap subur. Ia cukup menyingkirkannya dengan sapu ke arah tepi agar daun-daun yang jatuh berikutnya mendapatkan landasan yang langsung menyentuh wajah bumi.
Aktivitas menyapu halaman disuratkan dalam tembang Bali bergenre pupuh ginada dengan tajuk ”Eda Ngaden Awak Bisa” (Jangan Pernah Merasa Diri Pandai) seperti berikut ini.
Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luhu
Ilang luhu buk katah
Yadin ririh enu masih pelajahan
Kira-kira maknanya: jangan pernah merasa dirimu paling pandai/Biarkan orang lain yang menilai/Sebab hidup itu seperti seseorang yang sedang menyapu halaman/Daun-daun selalu berjatuhan/Bahkan ketika disapu pun, kau masih akan menemukan debu/Artinya, sepandai-pandai dirimu, tetap saja ada pengetahuan yang harus kau raih.
Meskipun kini kehidupan Gung Rai sudah jauh lebih makmur dibandingkan ketika ia menjadi pedagang acung (pengasong) lukisan di kawasan Kuta, Sanur, dan Padangbai tahun 1970-an, ia tetap menjalani laku menyapu halaman. Buatnya, menyapu tak hanya menjadi bahasa simbolik, tetapi sebuah aktivitas spiritual untuk meningkatkan penghayatan terhadap hidup. Banyak orang menilai, ia ”pura-pura” tetap miskin dengan secara rutin menyapu halaman museum yang bisa puluhan are luasnya.
”Biarkan saja orang menilai, tetapi menyapu bagi saya seperti membersihkan diri sendiri. Badan kita ini kotor setelah beraktivitas, karena itu perlu mandi raga dan jiwa,” katanya.
Pada saat pandemi Covid-19 mengamuk pertengahan tahun 2021, di mana sebagian besar karyawan Museum ARMA tidak bekerja, Gung Rai bergeming dari pagi ke pagi. Pekerjaan pertamanya menyapu halaman museum sampai ke sudut-sudut terjauh.
”Bayangkan, mana ada di dunia ini pemilik museum seni rupa kontemporer terbesar di Indonesia membersihkan sendiri halamannya. Ini bukan soal rajin atau tidak rajin, tetapi soal-soal jauh yang menyangkut spirit hidup,” ujar penyair Warih Wisatsana, yang juga turut menyimak UVJF.
Sejak awal UVJF digagas oleh Anom Darsana dan Yuri Mahatma tahun 2013, Gung Rai telah menawarkan tempatnya sebagai situs perhelatan musik dunia itu. Ia melihat UVJF punya spirit yang sama dengan eksistensi ARMA dan Ubud sebagai entitas kultural. UVJF mengusung jazz ”natural”, jazz yang diharapkan benar-benar menyuarakan ekspresi hati sebagaimana dahulu diciptakan pada awal tahun 1800-an di Amerika. Meskipun tidak harus mengacu pada akar-akar musiknya yang berasal dari Afrika. Di festival ini ditampilkan juga jazz fusion seperti yang dipergelarkan oleh Balawan & Batuan Ethnic Fusion serta Tohpati Bertiga. Tetapi, sebagian besar musik yang dihadirkan di sini sebagaimana dimainkan oleh Bernard Van Rossum Quartet dari Belanda, di mana jazz mengalir seturut ”gerakan” alam.
Ubud, kata peneliti kebudayaan asal Perancis, Jean Couteau, adalah sebuah spirit. Kalau dicari dalam kata lokalnya, tambah Jean, Ubud bisa berasal mula dari kata ubad. ”Ubad itu artinya obat, tidak harus bermakna obat medis, tetapi bisa jadi termasuk dalam pengertian healing sebagaimana dihayati sekarang ini,” katanya.
Meskipun Jean tetap bercuriga bahwa jangan-jangan eksistensi Ubud sebagai entitas healing dibentuk oleh kolonialisme di masa lalu. Kalau itu yang terjadi, maka Ubud tak lebih dari perwujudan pandangan Edward Said tentang orientalisme. Desa internasional itu hanyalah konstruksi pemikiran Barat terhadap Timur. Dalam soal ini, Timur tidak dilihat sebagaimana kenyataan dirinya, tetapi mengorbitkan relasi kuasa Barat terhadap Timur, di mana Barat adalah tuan dan Timur hanyalah ”yang terjajah”.
Baca juga : Pulang Kampung ke Ubud
Maka itu, dalam kacamata Jean, menjadi sangat beralasan jika di Ubud banyak sekali guru spiritual dari Barat yang membuka praktik pengajaran meditasi, yoga, dan pengobatan ”tradisional”. ”Karena memang pasarnya ada di sana, dibawa oleh dunia pariwisata,” katanya.
Bahkan termasuk di ARMA sendiri, beberapa kali telah digelar apa yang disebut sebagai Bali Spirit Festival, sebuah festival yang boleh dikata menjadi kepanjangan tangan gerakan new age, yang mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. New age menembus batas-batas institusi serta dogma yang melekat pada banyak agama. Begitu juga dengan Bali Spirit Festival, sebagaimana yang dihelat selama bertahun-tahun di Ubud.
Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa Ubud nyaris akrab dengan perhelatan-perhelatan serupa? Dan sebagian besar pelakunya adalah kaum ekspatriat atau para wisatawan asing dari Ubud dan daerah-daerah wisata, seperti Sanur, Canggu, Kuta, dan Nusa Dua?
Jika merunut sejarah, spiritualitas yang dipancarkan Ubud tidak melulu dibawa dan berkembang karena adanya pergerakan orang Barat, tetapi juga mencuat dari kedalaman kebudayaan Bali. Praktik upacara yang dimotori oleh para bangsawan di Puri Ubud adalah patron kebudayaan yang tak bisa disisihkan. Hadir atau tidak hadirnya orang asing di sini, Puri Ubud selalu menjadi episentrum penyelenggaraan upacara-upacara berskala besar dan massal.
Bahkan jauh sebelum itu, beberapa referensi menyebut kehadiran Rsi Markandya dari Majapahit pada abad ke-7 Masehi. Dalam perjalanan menuju kaki Gunung Agung untuk menyebarkan agama Hindu, banyak pengikutnya sakit. Ketika melakukan upacara dan pelukatan (pembersihan diri) di Tukad Campuhan Ubud para pengikut Markandya secara ”ajaib” sembuh. Sampai kini di Tukad Campuhan Ubud terdapat pancuran pelukatan bagi orang-orang yang merasa cuntaka (kotor atau cemar).
Baca juga : Ubud Lebih dari Sekadar ”Healing”
Sejarah Ubud yang kokoh itu kemudian berpadu dengan kondisi alamnya yang mempertemukan antara gunung, lembah, dan sawah telah membuatnya jadi menarik. Aktivitas kultural dan kondisi alam serta kehadiran orang-orang Barat telah membuat Ubud menjadi situs penting untuk menampung gelegak kerinduan terhadap hal-hal yang berbau spirit. Orang-orang Barat, seperti Rudolf Bonnet dan Walter Spies, kemudian disusul oleh Antonio Blanco, Arie Smit, serta banyak lagi para seniman lain, telah menjadi agen-agen penting bagi eksistensi Ubud di mata dunia.
Bonnet, meski meninggal di Belanda, mewasiatkan agar abu dirinya ditebar di lautan Bali. Tuan Semit, begitu Arie Smit dipanggil oleh para muridnya, bahkan memilih menjadi warga negara Indonesia agar ia bisa menetap di Ubud.
”Ubud itu ubad buat saya. Di sini tak hanya tenang, tetapi sawah-sawah memberi saya energi untuk bekerja. Umur saya bisa panjang karena tinggal di Ubud,” kata Arie Smit suatu hari kepadaku. Pada usia menjelang 100 tahun, Smit masih mengenali suaraku.
”Kamu dulu yang wawancara saya waktu masih kuat berlari-lari, kan, ya?” tanya Arie Smit dalam logat Belanda yang kental.
”Benar Pak Arie.”
”Anak gadismu sudah besar?”
”Sedang menyelesaikan kuliah di Jakarta.”
”Jangan kasih jadi seniman.”
”Mengapa?”
”Nanti kesepian seperti saya, ha-ha-ha….”
Sewaktu Angelina Arcana, putriku, belum berusia lima tahun, Arie Smit pernah menggendongnya di tepi kolam renang Villa Sanggingan milik Sutedja Neka, di mana Arie Smit menetap.
Sebagai orang tua, yang matanya sudah tidak lagi bisa melihat, ingatannya masih sangat tajam. Ia bahkan bisa merinci pengembaraannya di Bali dengan mengunjungi desa-desa di bagian utara untuk mengejar cahaya matahari.
Ujung-ujungnya selalu, ia ingin menghabiskan hari-hari akhirnya di Ubud. Sejarah panjang spiritualitas Ubud dalam 20 tahun terakhir telah mengilhami banyak jaringan hotel internasional untuk ”menjual” kelas-kelas meditasi, healing, dan yoga. Tentu saja peluang itu ditangkap oleh orang-orang gelisah seperti Elizabeth Gilbert yang kemudian menulis buku Eat Pray Love atau ekspatriat seperti Jannet De Neffe untuk menghelat Ubud Writers and Readers Festival serta Ubud Food Festival saban tahun.
Baca juga : Hari Baik untuk Kembali ke Ubud
Sebagai orang yang asli Ubud, meski melihat begitu banyak perubahan di sekitarnya, Gung Rai tetap merasa bahwa desanya telah memberi begitu banyak kepada orang-orang Ubud. Hidupnya yang pahit sebagai pedagang acung telah memberinya pengalaman dan pengetahuan yang justru semakin mengokohkan kecintaannya kepada kampung halaman. Sebagai balasan, ia secara rutin melakukan aktivitas sederhana: menyapu halaman setiap pagi, dari hari ke hari.
Pohon-pohon, katanya, sangat tahu berterima kasih, karena mereka mengokohkan akar-akarnya dan merindangkan daun-daunnya untuk menciptakan keteduhan dalam kehidupan manusia. Sawah-sawah yang tersisa tetap memberi manfaat berupa padi-padi yang subur dan menghasilkan biji yang berguna bagi kehidupan. Begitulah sejatinya mekanisme kerja alam kebatinan Ubud dalam memberi kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan kepada siapa saja yang datang kepadanya.