Persoalan ”World Class University” Kita
Tata kelola perguruan tinggi kita yang masih menerapkan konsep relasi-kuasa tidak sehat dan meminggirkan profesionalisme menjadi kendala untuk mencapai peringkat perguruan tinggi kelas dunia.
Terpilih mewakili Indonesia oleh Pemerintah Amerika Serikat lewat program Study of the US Institutes (SUSI) for Scholars on US Foreign Policy selama hampir dua bulan (16 Juni-30 Juli 2022) di AS mengharuskan saya dan peserta lainnya mempelajari banyak hal terkait dengan politik luar negeri AS.
Bukan hanya itu, kami juga harus mengunjungi banyak universitas dan college. Kunjungan ke berbagai universitas dan college ini memberikan pemahaman kepada kami bagaimana seharusnya mengelola perguruan tinggi sehingga bisa masuk ke dalam universitas kelas dunia atau World Class University (WCU).
Bukan menjadi rahasia umum bahwa perguruan tinggi di AS mendominasi wacana WCU bersama dengan universitas terkenal lainnya. Misalnya, Universitas Ivy League di AS seperti Harvard, Yale, atau Columbia; Universitas Oxford dan Cambridge di Inggris Raya; dan Universitas Tokyo, secara tradisional telah dihitung di antara kelompok eksklusif universitas elite.
Baca juga: Ihwal PT Berkelas Dunia
Dalam banyak kesempatan, saya bertanya kepada profesor dari berbagai perguruan tinggi di AS mengapa perguruan tinggi di AS begitu mendominasi WCU? Bukan itu saja, saya juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada orang Indonesia yang mengajar di beberapa perguruan tinggi di AS dan juga mahasiswa Indonesia yang belajar di AS.
Jawaban mereka sama: perguruan tinggi di AS menerapkan konsepsi nyata WCU: menyerap dosen dan mahasiswa dari luar negeri, orientasi kepada profesionalisme berbasis penelitian dan pengajaran dengan fasilitas yang terbaik, tidak berorientasi kuasa, serta menggandeng banyak dunia usaha dan masyarakat global.
Jawaban tersebut tentu saja memberikan persfektif kepada kita bagaimana Indonesia bisa menjadi bagian dari WCU? Persiapan apa yang sudah dilakukan dan apa persoalannya? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat sekarang ini Pemerintah Indonesia sedang berusaha agar perguruan tinggi di Indonesia bisa masuk ke dalam WCU.
Capaian World Class University
Para sarjana telah berusaha mendefinisikan apa itu WCU. Beberapa karakteristik WCU diidentifikasi dengan sejumlah fitur, seperti fakultas berkualifikasi tinggi; keunggulan dalam penelitian; pengajaran berkualitas; sumber pendanaan pemerintah dan nonpemerintah yang tinggi; internasionalisasi dan rekrutmen mahasiswa yang sangat berbakat; kebebasan akademik; tata kelola perguruan tinggi otonom yang terdefinisi dengan struktur yang baik; dan fasilitas yang lengkap untuk pengajaran, penelitian, administrasi, dan kehidupan bagi mahasiwa (Jamil Salmi dan Nian Cai Liu, 2011: xxi).
Karakteristik WCU tersebut jelas banyak dijadikan patokan perguruan tinggi di seluruh dunia untuk membuat kebijakan sehingga bisa mencapai WCU. Demikian juga Indonesia yang berusaha melakukan percepatan untuk mencapai WCU.
Indonesia terus melanjutkan proses penguatan daya saing perguruan tinggi dalam kancah persaingan global.
Melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Indonesia terus melanjutkan proses penguatan daya saing perguruan tinggi dalam kancah persaingan global. Hal ini menjadi indikator yang disematkan dalam Rencana Strategis Kemendikbudristek, yaitu dengan meletakkan key performance indicator (KPI) melalui target pencapaian lima perguruan tinggi Indonesia masuk ke dalam top 500 perguruan tinggi terbaik dunia.
Berkat sinergi dan upaya yang berkelanjutan antara Kemendikbudristek dan 16 Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), pada 2022 target Renstra 2020-2024 untuk lima perguruan tinggi masuk dalam top 500 perguruan tinggi terbaik dunia versi QS World University Rankings (WUR) bisa tercapai. Kelima perguruan tinggi unggulan tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dalam empat tahun terkahir peringkatnya terus naik, yaitu di peringkat 231, disusul Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 235, Universitas Indonesia (UI) di peringkat 248, Universitas Airlangga (Unair) di peringkat 369, dan IPB University di peringkat 449.
Adapun perguruan tinggi lainnya juga menunjukkan pencapaian yang lebih baik dari tahun sebelumnya, yaitu Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di rentang 701-751, Universitas Padjadjaran (Unpad) di rentang 751-800, Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Brawijaya (Unibraw) di rentang 801-1.000, Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Sebelas Maret (UNS) di rentang 1.001-1.200, serta Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Andalas (Unand) di rentang 1.201+.
Baca juga: Meningkatkan Peringkat Perguruan Tinggi Kita
Sebagai bentuk dukungan dan komitmen berkelanjutan pemerintah, pada 2022 program pengembangan WCU di perguruan tinggi akan diperkuat oleh pendanaan dari Pemanfaatan Dana Abadi Perguruan Tinggi (DAPT). Ini sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 111 tentang Dana Abadi Pendidikan.
Pendanaan ini diproyeksikan dapat digunakan untuk tahun jamak (multiyears) sehingga dapat memfasilitasi pendanaan program pengembangan WCU dengan lebih fleksibel. Dengan demikian, diharapkan PT yang mendapat alokasi pendanaan DAPT tersebut dapat mewujudkan pencapaian reputasi dan rekognisi sebagai WCU yang lebih baik (http://dikti.go.id/).
Persoalan utama
Merujuk pada data di atas, ada perkembangan capaian WCU perguruan tinggi di Indonesia. Demikian juga usaha dari perguruan tinggi dan dukungan yang besar dari pemerintah kepada perguruan tinggi untuk mencapai WCU. Saya yakin jika itu dilakukan dengan semangat dan kesungguhan, banyak perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam WCU dan sekaligus naik posisinya.
Persoalannya, kita tidak benar-benar mau melakukannya untuk mencapai WCU. Ada kendala klasik yang terus menghantui dan diterapkan di banyak perguruan tinggi di Indonesia.
Birokrasi perguruan tinggi kita belum transparan. Penerapannya masih berbasis relasi-kuasa.
Persoalan itu meliputi tata kelola perguruan tinggi kita masih menerapkan konsep relasi-kuasa yang tidak sehat dan meminggirkan profesionalisme. Staf akademik atau dosen-dosen yang tidak memiliki relasi-kuasa dengan pimpinan perguruan tinggi padahal mereka punya kapabilitas yang sangat baik dan jaringan luar negeri yang hebat tidak termanfaatkan dengan baik dan malah disingkirkan.
Mereka dianggap menjadi ”lawan” bagi pimpinan perguruan tinggi hanya karena dalam pemilihan rektor misalnya, mereka berlawanan. Karena itu, yang direkrut untuk mengisi jabatan mulai dari program studi, laboratorium, dekanat, sampai rektorat tidak memiliki kapabilitas, jaringan luar negeri dan bahkan pengalaman mengelola bidang akademik.
Di sisi lain, birokrasi perguruan tinggi kita belum transparan. Penerapannya masih berbasis relasi-kuasa. Siapa yang dekat kekuasaan mudah terfasilitasi. Bagi yang tidak, akan berbelit-belit. Ini bisa kita lihat dari kenaikan pangkat dosen terutama menuju lektor kepala dan profesor, padahal ini poin penting juga untuk WCU. Keadaan ini membuat perguruan tinggi ”lari di tempat” dan terkooptasi oleh kepentingan relasi kuasa.
Baca juga: Perguruan Tinggi Indonesia Terus Mengejar Peringkat Dunia
Penutup
World Class University merupakan sebuah keinginan besar bangsa Indonesia yang masih terbelenggu oleh tindakannya sendiri: terjebak pada relasi-kuasa yang tidak sehat dan bukan pada profesionalisme. Sementara di berbagai negara lain, mereka sudah meninggalkan hal tersebut dan bergerak dalam kompetisi global untuk WCU. Jika keadaan ini terus dipertahankan, WCU hanya mimpi di siang bolong.
Warjio, Alumnus SUSI for Scholar on USA Foreign Policy 2022; Dosen Ilmu Politik FISIP USU