Hak Konstitusional Pemilu Penyandang Disabilitas
Menjelang Pemilu 2024, kondisi penyandang disabilitas hanya menjadi obyek pengumpul suara (”vote getter”), masih sulit untuk mendapatkan akses keadilan sebagai pemilih mandiri atau kandidat peserta pemilu.

Ilustrasi
Jangan pernah meremehkan kaum disabilitas. Pada perhelatan ASEAN Para Games 2022 di Surakarta yang ditutup pada 6 Agustus lalu, Indonesia kembali menjadi juara umum. Indonesia meraih 427 medali (176 medali emas, 141 medali perak, dan 110 medali perunggu).
Kita berhasil mempertahankan juara bertahan setelah terakhir di Malaysia, 2017. Pelaksanaan ASEAN Para Games di Filipina 2020 dibatalkan karena pandemi Covid-19.
Dibandingkan dengan prestasi atlet normal, atlet cacat fisik atau difabel (beberapa kondisi juga didefinisikan dengan cerebral palsy) lebih memberikan keharuman pada pergelaran internasional. Prestasi atlet disabilitas Indonesia hampir mendekati Thailand. Indonesia telah tiga kali menjuarai ASEAN Para Games, Thailand enam kali.
Lihat foto cerita: Pesan Kesetaraan dari ASEAN Para Games
Hak konstitusional
Demikianlah atlet penyandang disabilitas atau kaum difabel yang telah mengharumkan bangsa. Pada penyelenggaraan kejuaraan tingkat Asia Tenggara itu juga menggunakan tagline yang menyentuh kemanusiaan kita: striving equality, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan dan kesederajatan dengan komunitas normal lainnya.
Kenyataannya, sebagian besar komunitas cacat belum memiliki derajat kesetaraan itu. Padahal, menurut konstitusi UUD Pasal 28 I Ayat (2), ”Setiap orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif itu.”
Hal itu kembali ditegaskan pada Pasal 28 H Ayat (2), ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Ketentuan khusus tentang disabilitas juga telah diafirmasi di dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 dan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Dua aturan yang lahir pascareformasi itu meneguhkan bahwa perlakuan diskriminatif, terutama yang mudah dirasakan bagi komunitas yang dilemahkan secara sosial-politik-ekonomi-kultural, tidak layak dilanjutkan di negeri Pancasila ini. Hal itu biasa mendera komunitas minoritas agama dan adat, perempuan, miskin-anak yatim, dan penyandang disabilitas. Terminologi Islam mengelompokkan mereka sebagai musthad’afin yang harus dilindungi, seperti tertera di dalam hadis Nabi Muhammad SAW.

Penyandang disabilitas melakukan simulasi memasukkan surat suara dalam sosialisasi pemilu oleh KPU Banyumas, Rabu (20/2/2019), di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Di Banyumas ada 3.486 penyandang disabilitas dan membutuhkan TPS yang ramah difabel.
Meskipun komunitas difabel ini minoritas secara kuantitas, mereka bisa menjadi pembeda dari sisi elektoral. Jumlah kelompok disabilitas di Indonesia menurut Survei Ekonomi-Sosial Nasional (Susenas) tahun 2019 mencapai 26 juta jiwa atau 9,6 persen penduduk. Jika dikonversi dengan jumlah kursi DPR Pemilu 2019 ”partai difabel” ini melebihi kursi parpol yang lolos parliamentary threshold, seperti Partai Demokrat (9,39 persen), PKS (8,7 persen), PAN (7,65 persen), dan PPP (3,30 persen).
Menjelang Pemilu 2024, kondisi penyandang disabilitas hanya menjadi obyek pengumpul suara (vote getter), masih sulit untuk mendapatkan akses keadilan sebagai pemilih mandiri atau kandidat peserta pemilu (access to electoral justice). Mereka hanya menjadi obyek mobilisasi, bahkan tak jarang dimanipulasi demi kepentingan agregasi elektoral.
Lihat Galeri Foto: Mengenalkan Pemilu kepada Disabilitas
Realitas itu yang penulis tangkap ketika mengisi dua kali kegiatan Sosialisasi dan Pendampingan Pengawasan Pemilu yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas yang dilaksanakan Panwaslih Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara beberapa waktu lalu.
Padahal, untuk komunitas cacat fisik yang tidak termasuk tuna grahita, masih memiliki akses, bukan hanya sebagai pemilih, melainkan juga jadi kandidat. Pada Pemilu 2019 tercatat ada 40 caleg yang berlatar belakang disabilitas. Di Aceh ada seorang perempuan cacat fisik yang menjadi komisioner Panwaslih; sebuah oase menyejukkan di tengah narasi diskriminatif dari bumi Nanggroe Syariat.

Titik krusial pelanggaran
Seperti telah maklum, Pemilu 2024 telah mendapatkan kepastian dari pemerintah melalui penetapan jadwal tahapan yang dimulai pada 14 Juni 2022. Proses pendaftaran partai politik pun telah berjalan per 1 Agustus. Tahapan krusial ke depan adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih yang akan berlangsung sejak 14 Oktober 2022 hingga 21 Juni 2023.
Lamanya proses pemutakhiraan dan penyusunan daftar pemilih ini berangkat dari pengalaman bahwa selama ini daftar pemilih tetap (DPT) kerap tidak tepat, tetap, dan pasti. Hal ini bisa menjadi titik distorsi dan eksploitasi data pemilih terutama dari kalangan disabilitas yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Diakui atau tidak, komunitas disabilitas termasuk kurang mendapatkan akses literasi pemilu yang memadai untuk memenuhi hak-hak kewarganegaraan mereka.
Diakui atau tidak, komunitas disabilitas termasuk kurang mendapatkan akses literasi pemilu yang memadai untuk memenuhi hak-hak kewarganegaraan mereka.
Meskipun UU Pemilu memberikan begitu banyak sanksi pidana, dalam praktiknya belum cukup efektif. Contoh, Pasal 488 tentang pemberian keterangan tidak benar terkait data diri daftar pemilih akan diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Namun, nyatanya pasal tersebut tidak mudah dijalankan. Pertama, kesalahan memang terjadi karena data langsung diisi petugas tanpa persetujuan. Kedua, komunitas disabilitas yang disurvei/pencocokan dan penelitian (coklit) tidak diberikan waktu yang cukup untuk memverifikasi identitasnya.
Jadilah ”manipulasi” data ini terjadi secara ”alamiah”. Akan menjadi tidak adil jika hukum dipaksakan untuk menegakkan pasal tindak pidana pemilu.
Demikian pula kasus politik uang. Pasal 515 UU Pemilu menyebutkan ancaman hukumannya maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 36 juta, bisa terdampak kepada komunitas disabilitas juga, oleh sebab ketidaktahuan mereka menjadi agen penyebar amplop. Ketika penulis melakukan sosialisasi, banyak yang tidak paham bahwa kegiatan membagi dan menerima amplop masa pemilu sebagai pelanggaran pidana.
Baca Juga: Tantangan dan Modal Menghadirkan Pemilu Berkualitas pada 2024
Upaya bawaslu untuk membesarkan hati pada penyandang disabilitas, seperti pernyataan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, bahwa tidak tertutup kemungkinan penyelenggara pemilu dari penyandang disabilitas hanya berhenti sebagai doa-doa pelipur lara. Bawaslu mau tidak mau harus mempersiapkan fasilitas dan sarana yang memungkinkan mereka terpilih dengan segala keterbatasannya.
Besarnya kuota penyelenggara termasuk di bidang pengawas pemilu yang perlu dipersiapkan, baik dari kelembagaan permanen atau ad hoc bisa menjadi kesempatan baik untuk menyetarakan komunitas disabilitas dengan yang normal.
Apakah itu mungkin? Mungkin saja jika pihak Bawaslu berpikir progresif dan responsif dengan dinamika yang bergerak di depan mata, bahwa kesetaraan memang harus dimulai dari kesempatan sebagai penyelenggara sebelum naik kelas sebagai peserta pemilu.
Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh; Tim Pemeriksa Daerah DKPP Aceh dari Unsur Masyarakat

Teuku Kemal Fasya