Digelarnya pemilu dan pilkada di tahun yang sama akan membuat kerja-kerja penyelenggara pemilu semakin rumit. Konsolidasi internal penyelenggara pemilu diperlukan, paling tidak untuk meminimalisir pelanggaran.
Oleh
HENGKI HAYATULLAH
·4 menit baca
Peluncuran tahapan Pemilu 2024 secara resmi telah digelar pada 14 Juni 2022. Malam itu saya meyaksikan siaran langsung acara tersebut melalui kanal Youtube KPU RI. Sejak peluncuran tahapan tersebut, isu presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan, ataupun penundaan pemilu sudah tidak terdengar lagi.
Pemungutan dan penghitungan suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sedangkan pilkada/pemilihan untuk pemilihan kepala daerah dilaksanakan pada 27 November 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Digelarnya dua pemilihan secara beririsan di tahun yang sama tentu membuat kerja-kerja penyelenggara pemilu semakin rumit. Oleh karena itu, konsolidasi di internal penyelenggara pemilu diperlukan, paling tidak dalam upaya meminimalisir terjadinya pelanggaran.
Pembentukan penyelenggara ad hoc, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), diperkirakan akan berlangsung sejak Oktober 2022 hingga Januari 2023. Salah satu elemen yang paling penting dan strategis dalam mewujudkan pemilu yang bebas dan adil serta berkualitas dan berintegritas adalah penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu ad hoc atau disebut juga panitia pemilihan merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan peserta pemilu sebab bekerja di tingkat bawah, bersifat sementara, sekaligus menjadi ujung tombak dalam melayani, baik pemilih maupun peserta pemilu.
Panitia khusus untuk pemilu ini dianggap sebagai penopang demokrasi. Meski demikian, keberadaan panitia khusus ini berpotensi menjadi penyebab utama dari problematik integritas pemilu karena perannya yang begitu strategis di beberapa tahapan krusial pemilu, seperti pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi tingkat (kecamatan) dilakukan oleh penyelenggara ad hoc.
Malapraktik pemilu
Pemilu seharusnya menjadikan demokrasi bekerja dengan baik. Namun, ternyata, dalam banyak hal, pemilu gagal mewujudkan cita-cita demokrasi itu karena dipengaruhi manipulasi atau malapraktik pemilu ataupun pelanggaran-pelanggaran pemilu.
Birch (2011), dalam bukunya yang berjudul Electoral Malpractice, mendefinisikan malapraktik pemilu sebagai tindakan yang dilakukan oleh kandidat untuk memanipulasi proses dan hasil pemilu dengan melakukan tekanan-tekanan di tingkat penyelenggara pemilu.
Hasil penelitian yang dilakukan Husin et al (2021) menunjukkan bahwa tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara pada Pemilu 2019 merupakan salah satu tahapan yang menjadi titik ”rawan” terjadinya malapraktik dalam pemilu.
Tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara pada Pemilu 2019 merupakan salah satu tahapan yang menjadi titik ”rawan” terjadinya malapraktik dalam pemilu.
Letak aduan berdasarkan tahapan pelaksanaan dalam putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam kurun April-Desember 2019, di tingkat TPS sebanyak 10 aduan (20 persen), tingkat kecamatan 24 aduan (48 persen), tingkat kabupaten/kota 14 aduan (28 persen), dan tingkat provinsi 2 aduan (4 persen). Dari semua tingkatan tersebut, tahapan rekapitulasi yang melibatkan penyelenggara ad hoc di tingkat kecamatan merupakan tahapan paling rawan terjadi malapraktik.
Pelanggaran yang disengaja atau kecurangan terkait erat dengan penyelenggara pemilu yang dipolitisir, yakni peserta bersekongkol dengan penyelenggara pemilu di tingkat bawah (kecamatan) saat melakukan rekapitulasi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, salah satu anggota PPK di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, divonis 4 bulan penjara karena terbukti melakukan tindak pidana pemilu dalam bentuk mengubah hasil pemilu dengan sengaja.
Pelanggaran integritas penyelenggara pemilu ad hoc ini masih menjadi persoalan untuk dievaluasi di tengah teknis tahapan Pemilu 2024 yang begitu kompleks sehingga celah terjadinya malapraktik pemilu semakin terbuka lebar.
Menjaga integritas pemilu
Sardini (2015) mengatakan, ada adagium integritas pemilu, terdiri dari tiga hal yang merupakan syarat utama pemilu berintegritas. Pertama, integritas proses/tahapan pemilu; kedua, integritas hasil-hasil pemilu; ketiga, integritas proses/tahapan tersebut sangat ditentukan oleh integritas penyelenggara pemilunya.
Secara umum, pengertian awal integritas pemilu (electoral integrity) merujuk kepada prinsip-prinsip demokrasi dari kesetaraan politik yang digambarkan pada standar internasional. Berdasarkan Global Commission on Elections, integritas pemilu berarti tidak memihak dan transparan dalam persiapan pengelolaannya melalui siklus pemilu agar pemilu suatu negara di anggap kredibel.
Integritas pemilu berarti tidak memihak dan transparan dalam persiapan pengelolaannya melalui siklus pemilu agar pemilu suatu negara di anggap kredibel.
Dalam menjalankan tugas, penyelenggara pemilu juga harus mendasarkan kerjanya kepada tujuh guiding principles yang dirumuskan oleh The Interntional Institute for Democracy and Electoral Asistance (Internasional IDEA), yakni independen, imparsial, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalisme, dan pelayanan.
Beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara ad hoc pada Pemilu 2019, seperti pencoblosan surat suara sisa, penggelapan gaji KPPS, memihak kepada peserta tertentu/tidak netral, terdaftar sebagai pengurus parpol, ikut kampanye peserta pemilu, dan memanipulasi perolehan suara calon tertentu, akankah terulang kembali pada pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024?
Pelanggaran integritas penyelenggara pemilu ad hoc harus menjadi perhatian semua pihak. Baik tidaknya kinerja dari para penyelenggara pemilu tersebut sangat berdampak kepada penerimaan masyarakat terkait legitimasi pemerintah, sedangkan integritas pemilu berkaitan dengan transisi atau peralihan kekuasaan yang berjalan dengan tertib dan damai.
Pembentukan penyelenggara ad hoc, mulai dari PPK, PPS, PPLN, sampai penyelenggara paling bawah, yakni Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), harus lebih diperketat karena integritas menjadi isu paling krusial bagi penyelenggara pemilu di setiap tingkatan.
Kunci dari perkembangan integritas penyelenggara pemilu ada pada masa perekrutan. Perlu ada revisi regulasi dalam Undang-Undang Pemilu atau peraturan KPU, terutama mengenai persyaratan menjadi anggota penyelenggara pemilu ad hoc.
Hengki Hayatullah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Diponegoro, Konsentrasi Tata Kelola Pemilu