Publik merasakan ada penurunan kinerja MK. MK tak lagi gerak cepat membantu penyelesaian problem kebangsaan. MK terkesan berjalan di belakang dinamika politik yang diorkestrasi oligarki.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Tiap dua minggu saya bersepeda menuju Kota Tua. Dalam perjalanan ke sana, saya mampir mengamati tongkrongan Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat. Bercorak Yunani dan Romawi kuno dengan sembilan pilar gedung begitu berwibawa. Putusan penting yang menentukan arah republik pernah lahir dari gedung itu.
Gedung dirancang sebagai ”Rumah Konstitusi”. Sembilan pilar Gedung Mahkamah melambangkan hakim konstitusi yang menurut Satjipto Rahardjo ibarat ”idu geni” atau lidah api. Sekali putusan diucapkan, semua anak bangsa harus tunduk. Putusannya final dan mengikat.
Gagasan perlunya Mahkamah Konstitusi dipikirkan Hans Kelsen, pakar hukum Austria (1881-1973). Kelsen membayangkan perlu ada lembaga yang menguji konstitusionalitas undang-undang atas UUD. Di Indonesia, gagasan MK pernah disampaikan Mohammad Yamin dalam sidang Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Berdirinya MK tak bisa dilepaskan dari tanda tangan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Hari ini sembilan belas tahun lalu, 13 Agustus 2003, Presiden Megawati menandatangani UU Mahkamah Konstitusi. Kehadiran MK memberikan ruang kepada warga negara menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap konstitusi.
Ketua MK pertama adalah Jimly Asshiddiqie, seorang ahli hukum tata negara. Di bawah Jimly, MK mengeluarkan putusan yang progresif. Pada Februari 2004, MK membuat terobosan politik luar biasa. Dalam arsip berita Kompas, 25 Februari 2004, tertulis judul: "Putusan MK: Eks PKI Bisa Jadi Caleg”. Putusan ini memberikan kelegaan dipulihkannya kembali hak dasar warga negara.
Dalam wawancara dengan Vincentia Hanny di Kompas, 28 Februari 2004, Jimly Asshiddiqie menolak mengomentari putusan MK soal hak eks PKI jadi caleg. Namun, dalam bagian lain, Jimly mengatakan, ”Hukum itu adalah solusi, bukan malapetaka, nightmare kalau begitu. Hukum membantu kita mencapai tujuan mulia, bukan menimbulkan kekacauan.”
Era Jimly berganti dengan Mahfud MD. Hingga tahun 2022 sudah ada enam Ketua MK. Jimly Asshiddiqie (2003-2009), Mahfud MD (2009-2013), Akil Mochtar (5 April 2013-5 Oktober 2013), Hamdan Zoelva (2013-2015), Arief Hidayat (2015-2017), dan Anwar Usman (2018-sekarang).
Hukum itu adalah solusi, bukan malapetaka, nightmare kalau begitu. Hukum membantu kita mencapai tujuan mulia, bukan menimbulkan kekacauan
Pada era Mahfud, MK responsif menyelesaikan permasalahan konstitusional yang dihadapi masyarakat. Pada saat warga negara berteriak tak bisa mencoblos karena tidak mendapat surat undangan untuk memilih, MK memutuskan, persyaratan memilih cukup dengan menggunakan KTP.
Ketika terjadi konflik Polri dan KPK yang berujung kriminalisasi pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tahun 2009, MK mengeluarkan putusan berani dan revolusioner. MK memutus KPK diminta menyerahkan hasil rekaman sadapan kepada MK dan kemudian MK memutarnya dalam persidangan terbuka. Lewat pemutaran rekaman hasil sadapan itulah, terbuka kepada publik, terjadinya kriminalisasi pimpinan KPK. Kepercayaan publik pun meningkat kepada MK.
Namun, MK pernah mengalami sejarah kelam. Pada tahun 2013, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK karena memperdagangkan perkara sengketa pilkada. Gedung yang berwibawa itu mulai keropos terserang korupsi. Menyusul kemudian, hakim konstitusi Patrialis Akbar juga ditangkap KPK. Pada saat itulah, kepercayaan publik kepada MK merosot ke titik nadir.
Publik merasakan ada penurunan kinerja MK. MK tak lagi gerak cepat membantu penyelesaian problem kebangsaan. MK terkesan berjalan di belakang dinamika politik yang diorkestrasi oligarki. Sebut saja, soal pembentukan daerah otonomi baru di Papua. Pimpinan DPR dan Majelis Rakyat Papua ”bersepakat” pengesahan tiga RUU Daerah Otonomi Baru di Papua ditunda sampai ada putusan uji materi UU Otonomi Khusus Papua. Namun, nyatanya, DPR dan pemerintah tetap mengesahkan tiga UU pembentukan tiga provinsi baru di Papua tanpa menunggu putusan uji materi UU Otonomi Khusus Papua. Bahkan, uji materi UU Otsus Papua juga belum diputus.
Citra MK kian meredup menyusul ”gratifikasi politik” DPR dan pemerintah melalui revisi UU MK yang memberikan hadiah kepada hakim MK, 28 September 2020. Usia hakim konstitusi diperpanjang menjadi 70 tahun atau periodisasi jabatannya bisa menjadi 15 tahun. Putusan itu juga menciptakan gejolak internal di tubuh MK.
Revisi UU MK mensyaratkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri dari satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota Komisi Yudisial, dan satu orang ahli hukum. Itu perintah undang-undang. Namun, MK menolak kehadiran anggota Komisi Yudisial menjadi anggota Majelis Kehormatan. MK merasa punya kewenangan memilih siapa yang berhak mengawasi lembaga itu.
Hampir dua tahun UU MK hasil revisi berjalan, ketika hak perpanjangan hakim konstitusi sudah dinikmati, MK belum membentuk Majelis Kehormatan. ”Belum selesai,” kata seorang hakim konstitusi.
Entah kapan Majelis Kehormatan akan terbentuk. Sebuah kekuasaan tanpa pengawasan, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan. Itu yang terjadi kepada Akil dan Patrialis. Kini, peluang konflik kepentingan terbuka dan benderang. Tapi, MK tetap tenang-tenang saja.
Saya tercenung di depan gedung mahkamah yang berwibawa, tetapi terasa mulai kehilangan marwah. Jangan sampai kewibawaan itu pudar karena sikap dan perilaku penghuninya. Selamat ulang tahun ke-19 Mahkamah Konstitusi.