Hampir sebulan sampai pertengahan pekan lalu saya melakukan perjalanan dari Jakarta ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar dua tahun saya jarang bepergian. Saat pandemi tidak lagi seperti sebelumnya, saya memenuhi janji mengunjungi teman-teman, ziarah, dan lain-lain, termasuk mengenalkan novel saya yang baru terbit berjudul Kidung Anjampiani.
Di Studio Mendut, Magelang, tempat sahabat saya, Sutanto, bersama Komunitas Lima Gunung kami menyelenggarakan ruwatan malam 1 Suro. Acara diisi dengan ritual, performance, diskusi.
Pergelaranberupa pengalihan teks (petikan dari novel) menjadi pertunjukan dengan spirit teater rakyat ketoprak. Para seniman/petani serta anak-anak muda yang menangani sound system dan lighting memulai dengan membaca, berdiskusi, menginterpretasikan teks. Semua memegang teks yang telah dicetak, semua membaca.
Dalam hati saya menyebut perjalanan ini sebagai literary trip. Saya bertemu komunitas-komunitas yang masih sudi bahkan gemar membaca buku.
Di Jombang, ada komunitas yang memiliki markas yang menakjubkan, Bait Kata Center. Wadah edukasi dan perpustakaan dengan gedungnya yang modern ini baru saja melengkapi diri dengan pembukaan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Di dinding ruang-ruang kegiatan ditorehkan mural yang menjadi maskot mereka: The Little Prince alias Pangeran Kecil.
The Little Prince adalah novela yang sangat menggugah dan inspiratif karya penulis Perancis, Antoine de Saint-Exupery. Imajinasi anak-anak terbang bebas dalam karya tersebut mengatasi logika dan rasionalitas yang kadang membelenggu orang dewasa. ”Kebetulan saya dan dua kakak saya semasa kecil semua menggemari buku The Little Prince,” kata Aisha Jasmine yang mengurusi pendidikan anak-anak ini. Dia adalah putri bungsu pasangan Iffa Suraiya-Haris Muhtadi, pemilik lembaga dan penggerak komunitas ini.
Petang itu berkumpul para pegiat literasi dari Jombang dan sekitarnya. Ada penulis Binhad Nurrohmat, perupa kontemporer Joni Ramlan yang memiliki studio dan ruang pamer besar di Mojosari, peneliti aliran air bernama Firy, beberapa wartawan, tak ketinggalan para santri. Jombang adalah ”Kota Santri”.
Selama saya di Jombang-Mojokerto teman baru bernama Aji Gangsar yang punya antusiasme terhadap buku dan hasil-hasil penelitian menemani saya jalan-jalan melewati kecamatan-kecamatan yang namanya tercatat dalam karya penting mengenai Majapahit, Desawarnana atau lebih dikenal dengan sebutan Nagarakretagama.
”Menurut hasil sebuah penelitian ibu kota Majapahit terakhir di sini,” katanya ketika kami melewati daerah Bangsal antara Mojokerto-Mojosari.
Daerah itu sangat ramai dilintasi truk dan bus.
”Pasuruan sampai Banyuwangi juga merupakan rute yang dilewati Raja Hayam Wuruk yang perjalanannya dicatat oleh Mpu Prapanca. Jalur Daendels sebagai jalan raya terkenal di Jawa, menurut penelitian, melebarkan jalur yang pernah ditulis dalam Desawarnana tadi,” ia menerangkan.
Selain bertemu para aktivis kantong-kantong budaya di berbagai kota, seperti Joko Koentoro, Sujono, Hudi DW, Haris Kertorahardjo, Hari Atmoko, semuanya di Magelang, Timur Sinar Suprabana dari Semarang, Ismanto, Ribut, dua yang terakhir itu empu penatah batu masing-masing dari lereng Merapi dan Trowulan, saya sempat menyaksikan penampilan Nano Tirto, bankir terkemuka di Jawa Tengah sekaligus pemain saksofon andal. Ia tampil dalam pembukaan Festival Lima Gunung.
Sebelum kembali ke Jakarta, wajib hukumnya nonton konser rock Dream Theater di Solo.
Di luar itu yang tak saya lupakan adalah ketika dalam perjalanan ini saya bertemu selintas dengan seorang perempuan di sebuah hotel di mana kami sama-sama menginap. Saling sapa tatkala sarapan, kami sempat ngobrol sejenak. Mengaku dari Jakarta, tengah berlibur bersama keluarga, ia balik bertanya apa keperluan saya di kota itu.
Saya terangkan bahwa saya penulis, akan meluncurkan buku.
”Masih ada yang membaca buku?” tanyanya.
”Masih,” jawab saya.
”Siapa?”
”Saya sendiri,” jawab saya seraya menambahkan bahwa saya menulis sendiri membaca sendiri.
Dia menatap saya dengan terheran-heran.
Sama seperti saya menatap dia dengan terheran-heran, bahwa ia tidak tahu di luar banjir informasi media digital dari gegap gempita fashion jalanan di Ibu Kota sampai drama kebusukan kekuasaan, pembunuhan, dan kebohongan, banyak kantong literasi di kota-kota dengan para pendukungnya yang cerdas-cerdas dan tetap waras.***