David Reeve menghabiskan dua puluh tahun bergerak melintasi tiga benua, menelusuri potongan-potongan cerita berserakan dan menjalinnya menjadi kisah utuh tentang Onghokham. Hasilnya, buku dengan serangkaian pertanyaan.
Oleh
ANDI ACHDIAN
·8 menit baca
Jika Anda ingin mencari karya biografi memikat yang menampilkan kehidupan seseorang apa adanya, maka To Remain Myself adalah jawaban terbaik. David Reeve telah menghabiskan dua puluh tahun bergerak melintasi tiga benua, menelusuri potongan-potongan cerita berserakan, dan menjalinnya menjadi kisah utuh tentang Onghokham. Hasilnya adalah buku yang mengajak pembaca pada serangkaian pertanyaan, mengapa seseorang memilih kehidupan seperti yang mereka jalani? Bagaimana seseorang menghadapi tragedi dan komedi dalam hidup mereka? Bagaimana kegembiraan dan penyesalan menjadi renungan pada masa akhir kehidupan seseorang?
Berbeda dengan kebanyakan penulisan biografi di Indonesia, buku ini bukan berkisah tentang kejayaan atau sumbangan seseorang untuk masyarakat, bangsa, dan negara (Anda bisa menambahkan daftar panjangnya lagi), Reeve membawa kita pada penyajian mengesankan dari perspektif seorang biasa, tetapi membawa pembaca untuk lebih mengenal lagi bentuk masyarakat Indonesia tempat kita hidup sekarang. Jadi, di samping kehidupan pribadi yang rinci, ada juga gambaran tentang bagaimana sifat dan bentuk masyarakat yang memengaruhi sosok Ong di dalam buku ini.
David Reeve telah menghabiskan dua puluh tahun bergerak melintasi tiga benua, menelusuri potongan-potongan cerita berserakan, dan menjalinnya menjadi kisah utuh tentang Onghokham.
Meski buku ini bercerita tentang kisah orang biasa, tetapi di dalamnya kita mendapatkan berbagai pengalaman luar biasa. Ong adalah intelektual publik, akademisi, gourmet, flâneur, pencinta seni, peminum, dan sekaligus gay yang menjalani hidup apa adanya dalam masyarakat (Orde Baru) dengan moralitas ala Victorian Inggris abad ke-19 di dalam ruang publik. Ia lahir pada 1 Mei 1933 di Surabaya dan meninggal pada 30 Agustus 2007, serta mengarungi hidup dalam enam zaman berbeda, mulai era kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, Revolusi kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan periode Reformasi sekarang ini. Reeve menampilkan keseluruhan cerita itu dengan detail yang memikat tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan Ong seiring zaman yang bergerak.
Apa yang hadir adalah sebuah bentuk kehidupan yang mungkin tidak pernah terbayang dalam imajinasi terliar sekalipun, provokatif dan sekaligus memaksa pembaca tentang mempertanyakan kehidupan diri pribadi sendiri.
Dua bab awal buku ini menampilkan beragam kisah tentang periode awal kehidupan Ong, pergaulannya dengan teman-teman sebaya, kelekatan emosional dengan ibu dan hubungan emosional yang berjarak dengan ayah, termasuk imaji sensualitas kanak-kanak dan remaja. Di sini, lebih dari sekadar menyajikan berbagai aspek kehidupan pribadi, Reeve membawa pembacanya pada pembahasan menarik tentang sifat-sifat unik kehidupan keluarga kelas menengah Tionghoa yang dekat dengan segala sesuatu yang berbau Barat (baca: Belanda) dan gagasan-gagasan liberal.
Buku ini pada akhirnya bukan lagi sekadar sebuah biografi, tetapi juga sebuah potret sejarah sosial kelompok elite kelas menengah perkotaan pada masa kolonial dengan detail yang menarik tentang harapan-harapan yang mereka miliki, prasangka terhadap dunia luar (baca kehidupan penduduk bumiputra), dan aspirasi kemajuan dari dunia Eropa dan Amerika.
Dengan latar belakang seperti itu, Ong mendapatkan kualitas pendidikan terbaik sejak kanak-kanak, mulai dari pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) sampai sekolah menengah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya dengan mayoritas murid berkebangsaan Eropa. Ironisnya, ia tumbuh menjadi anak pemalu, sering mengalami berbagai perundungan rekan-rekan sebayanya berkebangsaan Eropa dan Indo-Eropa, dan menjadi dekat dengan pembantu seorang perempuan Jawa yang memberikan banyak pengaruh, termasuk gaya bicara bahasa Belanda yang medok dengan aksen Jawa.
Dua bab awal buku ini juga menampilkan sejumlah drama menarik terkait kehidupan pribadi Ong dan lingkungan keluarganya. Pendudukan Jepang dan Revolusi yang menjadi antitesa terhadap kemapanan kolonial memengaruhi irama hidup keluarga. Lingkungan yang sebelumnya berjarak dengan dunia pribumi, dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia yang jauh itu pada akhirnya menjadi kekuatan dominan yang memengaruhi hidup mereka.
Melalui metode penelitian sejarah yang diterapkannya, Reeve memberikan kita kedalaman penggalian informasi yang berhasil mengenalkan pembaca tentang latar kehidupan masyarakat kolonial latar keluasan lingkungan sosial budaya, perubahan-perubahan yang terjadi, dan bagaimana perubahan itu dialami. Ia menggali sumber dengan ketekunan tanpa batas, dari keluarga, sahabat, dan guru semasa sekolah di HBS, termasuk catatan-catatan dalam surat dan dokumen yang mereka tinggalkan. Sebuah capaian ini layak dipuji.
Reeve menguraikan berbagai aspek yang menunjukkan upaya Ong keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas.
Berbeda dengan pengalaman keluarga, dunia yang baru muncul itu menjadi magnet yang membawa Ong dalam pengalaman hidup baru ketika mulai tumbuh dewasa. Ia menjadi lebih Indonesia dari kebanyakan orang Indonesia sekalipun. Kisah ini dituangkan dalam bab-bab selanjutnya buku ini, lebih menarik dan lebih banyak drama di dalamnya. Reeve menguraikan berbagai aspek yang menunjukkan upaya Ong keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas. Masa-masa kuliah di UI semakin membuka pandangan yang jauh lebih luas tentang kehidupan masyarakat Indonesia dibanding anggota keluarga lainnya.
Ada empat bab yang secara rinci menguraikan perkembangan pengalaman dan pandangan hidup Ong dalam menghadapi hal-hal baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, mulai dari pengalaman sejak meninggalkan Surabaya dan tinggal di Bandung kemudian Jakarta, lalu pengalaman tinggal di Filipina, dan kemudian Amerika ketika Ong menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Yale.
Pergolakan untuk menjadi diri sendiri tampil dengan memikat di dalam bagian ini. Reeve menampilkan gambaran manusiawi tentang alur kehidupan yang sering kali bergerak di luar kehendak pribadi, tetapi Ong harus tetap melaluinya, mulai dari pengalaman Ong dipenjara pada masa awal konsolidasi rezim Orde Baru, kebingungan pribadi tentang orientasi seksualnya, dan sebaliknya pembebasan diri ketika Ong mendapatkan kesadaran penuh tentang orientasi itu. Jejak judul buku To Remain Myself mendapatkan gema yang kuat pada bagian ini.
Setelah menempuh studi hukum—seperti harapan keluarga—Ong memutuskan mengambil studi sejarah. Kajian sejarah memberinya kesempatan mengenal lebih dalam jiwa masyarakat sekitarnya, mulai dari pembahasan tentang seni, kehidupan petani di perdesaan (menjadi skripsi dan kemudian tema disertasinya), juga bentuk budaya yang menjadi ciri mentalitas politik masyarakat Indonesia. Reeve memaparkan pada bagian ini bagaimana Ong mulai melepaskan diri dari ikatan lama, dan menilai dengan kritis posisi masyarakat Tionghoa secara umum yang seakan-akan terkungkung dalam dunia sempit mereka, dan sama sekali tidak mau tahu tentang kehidupan yang terjadi di luar dunia mereka. Sudah barang tentu ada konteks khusus membentuk sikap ini.
Dalam periode ini pula segala sesuatu tentang Indonesia membentuk pemikiran Ong pada periode ini, meski dalam karya sarjana penuhnya di jurusan sejarah FSUI ia kembali membahas kehidupan orang-orang Belanda memasuki akhir periode Perang Dunia II. Membaca buku ini, Ong menyajikan betapa sempit dan bodohnya penguasa kolonial menghadapi perang yang menghampiri Hindia Belanda saat itu. Tema ini kemudian terbit dalam karya Runtuhnya Hindia-Belanda, yang secara tidak langsung juga menjadi simbol runtuhnya dunia masa lalu yang pernah membentuk hidupnya sendiri.
Akan tetapi, Indonesia yang dibayangkan juga dalam kenyataan tidak selalu indah bagi kehidupan Ong. Perubahan politik dengan kemunculan Orde Baru membuyarkan mimpi lamanya. Ia pun sempat mendekam di penjara Orde Baru atas tuduhan memberikan informasi bagi lahirnya Cornell Paper yang menelanjangi rezim yang baru muncul pada awal 1966 itu. Pengalaman itu menjadi latar dalam sejumlah tulisan Ong tentang watak kekuasaan Orde Baru yang baginya tidak lebih dari sekadar karikatur penguasa kolonial. Setelah bebas dari penjara, Ong memutuskan untuk mengambil studi lanjutan di Universitas Yale, Amerika Serikat.
Dalam periode Amerika Serikat itu sebuah transformasi baru terjadi. Reeve dengan mengagumkan memberikan beragam detail pengalaman hidup di Amerika yang pernuh warna. Kita mendapatkannya melalui serangkaian cerita-cerita menarik kencan-kencan buta di bar, kafe, dan kehidupan kampus di Amerika dengan latar Perang Vietnam dan kehadiran generasi bunga dengan segala nilai-nilai yang mereka usung. Amerika menjadi tempat yang melahirkan sosok Ong sebagai intelektual publik yang matang, termasuk pilihan-pilihan hidup yang diyakini sampai akhir hidupnya.
Tiga bab terakhir adalah perjalanan karier Ong sebagai sejarawan yang sering menjadi pusat perbincangan, terutama bagi kalangan muda di Indonesia. Pemikiran Ong menjadi oase kehausan intelektual karena ia menampilkan ”sesuatu yang lain” yang tidak terkungkung dalam formalisme seperti layaknya seorang akademisi. Ia menyampaikan kemarahan pribadi terhadap otoritarianisme dan militerisme yang menjadikan Ong sebagai perwakilan intelektual publik yang suaranya mendapat gaung di benak para aktivis demokrasi di Indonesia di bawah rezim Orde Baru.
Sayangnya, pemikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia masih berserak-serak. Sepanjang masa hidupnya, ia tidak sempat menyusun karya tulis lengkap yang dapat dianggap menjadi bentuk pemikiran matangnya sebagai seorang intelektual. Ia juga berjarak dengan formalisme dan birokrasi dunia akademis di Indonesia, dan lebih menyukai hidup sebagai seorang intelektual publik dengan dialog intelektual yang jauh lebih menantang dibanding sekedar karir. Akibatnya, meski karya-karya dan pendapatnya sering menjadi rujukan sarjana asing tentang Indonesia, ia tidak pernah mendapat gelar professor dan pensiun sebagai pegawai negeri golongan III. Bagaimanapun ia tidak menyesalinya.
Sebuah karya yang baik tentang kehidupan orang biasa dengan kisah luar biasa.
Keberhasilan buku ini adalah penggalian informasi yang luar biasa kaya tentang kehidupan pribadi dan kaitannya dengan latar sosial dan budaya masyarakat tempat sosok yang dibahas menjalani kehidupannya. Ia menjadi sebuah jendela terbuka—dan bahkan sangat intim—tentang kehidupan seorang intelektual dan pencinta kehidupan. Sebuah karya yang baik tentang kehidupan orang biasa dengan kisah luar biasa. Saya membayangkan tentu akan sangat menyenangkan apabila sempat membaca buku ini sebelum mengenal Ong secara pribadi.