Sejumlah perusahaan ramai-ramai mendaftarkan merek Citayam Fashion Week ke Kementerian Hukum dan HAM, Kamis (21 Juli 2022). Sehari sebelumnya, Rabu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan turut serta berjalan di atas zebra cross sebagai arena catwalk layaknya dalam acara fashion. Fenomena itu merupakan buntut dari gelar acara pameran pakaian bernama Citayam Fashion Week di perlintasan penyeberangan, kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Ini menjadi demam publik karena ditengarai telah merambah ke kota-kota besar lain di Indonesia dengan cara meniru peragaan busana di jalan umum. Ada apa? Bagaimana mestinya pemerintah menyikapi? Apa relevansi dalam pengembangan nilai masyarakat?
Ruang transaksional
Dalam konteks pragmatis, kegiatan tersebut mau tak mau menjadi bagian dari komunikasi publik. Secara sederhana, dinding di pinggir jalan, trotoar, atau zebra cross adalah ruang komunikasi dari pelaku kepada masyarakat. Selama ini, penguasaan ruang publik dilakukan oleh para perusahaan yang memperkenalkan produknya melalui baliho, pamflet, dan teknik marketing lain. Pesannya adalah hadiah yang besar, uang muka ringan, cicilan yang rendah, serta diskon besar-besaran dari sebuah pameran komoditas.
Fakta tersebut menunjukkan, akses masyarakat di ruang publik itu tidak lebih dari tindak transaksional. Itulah logika yang terjadi ketika seorang selebritas bernama Baim Wong dan Indigo Aditya Nugroho buru-buru mendaftarkan merek dagang Citayam Fashion Week ke pemerintah. Mereka menilai hal itu membawa iklim positif dalam dunia fashion di Indonesia. Dari nilai estetis menjadi nilai jual.
Sebagai ruang komunikasi, pada sisi lain, pesan-pesannya tidak selalu tersampaikan secara positif. Contoh komunikasi yang tidak ditanggapi positif adalah sebuah mural di dinding terowongan inspeksi Jalan Tol Kunciran-Bandara Soekarno-Hatta di Batuceper, Tangerang, Banten, Agustus 2021. Mural tersebut bergambar wajah Presiden Joko Widodo dengan tulisan ”404 Not Foud” di kedua matanya. Gambar itu dianggap sebagai kritik terhadap kepemimpinan Joko Widodo beberapa waktu lalu. Setelah dihapus oleh aparat karena dinilai tidak etis, modus kreativitas itu kemudian diakomodasi oleh polisi dengan cara memberikan ruang kreativitas mural di tempat lain.
Dalam konteks estetik, fenomena budaya populer di ruang publik akan muncul secara spontan, random, asimetris dengan strategi budaya kanon. Mereka mengusik kemapanan sebuah institusi ekonomi dan sosial, kejumudan berpikir, dan rutinitas.
”Mengupas kulit salak”
Bila direfleksikan di dalam wacana semiotik, sekurang-kurangnya ada tiga pesan penting.
Pertama, peristiwa populer itu membawa emosi publik pada nilai-nilai kebaruan, sensasi, dan hiburan. Hal itu biasa terjadi pada kasus-kasus lain yang mengatasnamakan ”benar-benar nyata”, seperti gaya berbahasa remaja Jakarta Selatan yang tampak ”keinggris-inggrisan”, selebritas yang tidak bisa mengupas kulit salak hingga fenomena pamer harta benda yang dilakukan oleh para selebritas melalui media audio visual.
Kedua, estetika jalanan ini menjadi kritik terhadap tata nilai yang sudah jenuh. Bila melihat isinya, sebetulnya kegiatan tersebut sebagai bagian dari respons kreatif atas rutinitas kegiatan di bidang fashion. Mereka melakukan plesetan atas acara Paris Fashion Week sebagai representasi acara fashion tingkat dunia. Jika acara di Paris itu diisi oleh para model dan desainer ternama, di Dukuh Atas diisi oleh para remaja yang datang dengan pakaian yang fashionable, kasual, dan trendy sebagai ungkapan street fashion. Busananya seperti kemeja flanel oversize, sneaker warna-warni, celana model 90an, sweater sport, hingga asesoris dan jaket kulit. Artinya untuk berbusana trendy tidak harus berada di acara pementasan yang megah di dalam gedung.
Ketiga, hadirnya pejabat merupakan legitimasi atas kegiatan masyarakat. Di luar asumsi politik, perhatian pejabat pemerintah memberi pengakuan tentang hadirnya fenomena baru atas nama kreativitas anak-anak muda. Dalam sejarah kesenian, kita mengenal Andy Warhol yang membawa barang-barang ”sampah” menjadi bagian pamerah estetika seni rupa. Botol minuman bersoda, kaleng sup, serta gambar sensasional Marylyn Monroe. Dia menawarkan dua hal, yakni estetika kitsch dan camp. Kitsch adalah ”estetika sampah” alias karya murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan camp adalah upaya meniru dari model yang sudah ada menjadi karya rendahan.
Pada masa kini, plesetan untuk kata ”buronan” dalam fashion telah menjadi tulisan ”buronan mertua” di punggung kaus. Demikian pula kaus tentang nama lembaga keamanan di Amerika telah menjadi tren penjualan kaus hitam di pinggir jalan. Percepatan perubahan budaya pop membawa nilai-nilai sensasional yang tak terduga dan asimetris dengan strategi budaya kanon yang dikembangkan.
Oleh Karena itu, pemerintah tidak perlu menjadi latah dengan sensasi tersebut karena esok atau lusa, kejutan-kejutan baru akan datang dari tempat yang tidak pernah kita duga. Kecuali jika kelatahan itu ada maksud lain.
(Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Bidang filsafat di Universitas Negeri Jakarta)