Harimau merupakan salah satu warisan sejarah dan budaya. Kisah tentang harimau sebenarnya adalah refleksi hubungan kita dengan lingkungan, kebudayaan, dan semesta kehidupan yang lebih luas.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Pada 29 Juli 2010 diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Harimau Internasional di St Petersburg, Rusia. KTT ini melibatkan 13 negara yang memiliki habitat harimau terbanyak, yakni Rusia, India, Nepal, Bhutan, China, Bangladesh, Vietnam, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Indonesia, dan Malaysia.
KTT tersebut membahas ancaman punahnya populasi harimau dari 100.000 ekor pada tahun 1913 menjadi 3.274 pada 2013, hingga 3.000 ekor pada tahun 2014 (tigerday.org, 2014). KTT ini menghasilkan niatan untuk melipatgandakan populasi harimau hingga lebih dari 6.600 ekor pada tahun 2022 ini, bertepatan dengan Tahun Harimau dalam penanggalan China.
Budaya
Harimau (Pantera tigris) adalah ikon Asia. Fosil harimau tertua yang ditemukan di Jawa (Sangiran dan Ngandong), Sumatera, dan China membuktikan keberadaannya hingga pertengahan era Pleistocen. Harimau merupakan salah satu warisan sejarah dan budaya.
Masyarakat kita mengidentikkan harimau dengan kekuatan dan kekuasaan. Kesan ini dikuatkan dengan orientasi wujud dalam bentuknya yang selama ini dikenal sebagai raja hutan. Sebagai penguasa hutan, ia terkenal garang, gagah perkasa, dan tak pernah kalah melawan musuhnya.
Dengan kualitas tersebut, harimau mempunyai kedudukan penting dalam budaya masyarakat kita. Sebagian masyarakat memandangnya sebagai sosok yang ditakuti sekaligus dihormati. Harimau di Sumatera, Jawa, dan Bali kerap diasosiasikan sebagai leluhur, dengan penyebutannya sebagai menak di Sunda, simbah (Jawa), dan datuk (Sumatera).
Dalam budaya Minang, tradisi silek banyak mengadopsi gerak harimau. Di Sunda, sebagian masyarakat mengaitkannya dengan Siliwangi, raja sakti, adil, dan bijaksana, yang dipercaya pada waktu tertentu menjelma menjadi harimau, memberi petuah bagi anak-cucunya dalam menempuh kehidupan. Logika budaya semacam ini merupakan cara manusia memahami sejarah dan memaknai lingkungannya.
Seperti falsafah alam takambang jadi guru atau jagat gedhe lan alit, mengartikan keselarasan hidup manusia dengan alam, seperti hutan seisinya. Kearifan lokal ini menjadi sumber ilmu pengetahuan dan nilai-nilai bagi manusia, sekaligus konservasi alami harimau. Maka, jika harimau di hutan punah, berarti lenyap pula tradisi/budaya luhur yang menghargai lingkungan.
Namun, laju zaman memengaruhi pandangan masyarakat. Politik etis yang diterapkan pemerintah kolonial membuat hutan-hutan dibabat untuk pembukaan lahan pertanian dan permukiman. Harimau diburu dan dibunuh demi imbalan uang yang dihadiahkan pemerintah (Belanda).
Maka, jika harimau di hutan punah, berarti lenyap pula tradisi/budaya luhur yang menghargai lingkungan.
Identifikasi simbolik juga terkandung dalam budaya rampogan, pertunjukan duel harimau melawan kerbau dan penombakan harimau di sebuah tanah lapang.
Robert Wessing dalam ”A Tiger in the Heart: The Javanese Rampok Macan” di jurnal terbitan Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde (KITLV) 148 (1992) nomor 2 menyebut, orang Jawa mengidentifikasi harimau sebagai simbol niat jahat dan nafsu buruk, penanda bencana dan pengganggu keselarasan sehingga harus disingkirkan. Sementara kerbau dianggap sebagai pengusir kejahatan, pemurni harmoni, dan kendaraan manusia di akhirat.
Pertarungan antara kerbau dan harimau adalah pertarungan antara keselarasan dan kekacauan, antara orang Jawa versus Belanda (Hanggoro, 2012). Harimau memiliki banyak makna dalam semesta semiotika budaya kita.
Eksploitasi
Pada perkembangannya, eksploitasi yang dilakukan manusia makin masif merusak ekosistem. Hitungan luas hutan gundul menggunakan deret ukur, bukan deret hitung. Padahal, untuk mampu bertahan hidup, harimau membutuhkan kawasan hutan luas sebagai habitatnya.
Faktor lain ialah perburuan liar harimau untuk dijual di pasar gelap. Bagian tubuhnya berharga sangat tinggi, mulai daging, tulang, taring, kuku, kulit, hingga penis. Beberapa pengobatan tradisional meyakini mujarabnya bagian tertentu tubuh harimau mampu menyembuhkan penyakit. Hobi mengoleksi benda-benda yang terbuat dari bagian tubuh harimau juga menjadi faktor punahnya harimau.
Hasrat eksploitasi manusia untuk menguasai, membangun, meraih banyak hal di dunia telah mengesampingkan kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.
Hal-hal itu menjadi pendorong punahnya harimau bali (Panthera tigris balica) pada tahun 1940-an, disusul harimau jawa (Panthera tigris sondaica) 30 tahun kemudian. Di Indonesia kini hanya ada kurang dari 600 spesies harimau sumatera yang terancam punah.
Hasrat eksploitasi manusia untuk menguasai, membangun, meraih banyak hal di dunia telah mengesampingkan kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. Kondisi semacam ini pula yang sebenarnya menjadi akar konflik antara manusia dan hewan, seperti yang belakangan makin kerap terjadi.
Padahal, jika harimau tidak lagi ada di dunia, ketidakseimbangan ekosistem akan terjadi. Dan ekosistem yang tidak seimbang akan berdampak buruk bagi dunia, termasuk kehidupan manusia (bahkan dalam lingkup global), seperti ketimpangan populasi dan kelangkaan pangan. Harimau tidak hanya melindungi hutan dengan menjaga integritas ekologis, tetapi juga membawa tingkat perlindungan dan investasi tertinggi ke suatu wilayah (Nancy, 2019).
Kisah tentang harimau sebenarnya adalah refleksi hubungan kita dengan lingkungan, kebudayaan, dan semesta kehidupan yang lebih luas. Seperti pada pertunjukan wayang kulit, kita mengenal kayon yang menggambarkan isi alam semesta: pohonan rindang dengan cabang yang merangkul, burung merak di antara harimau, banteng dan kera, juga gapura dengan tempat kunci berbentuk teratai. Simbol kualitas hidup secara horizontal dan vertikal.
Manusia, harimau, dan lainnya adalah bagian alam semesta. Sebuah harmoni, bukan perselisihan dan pembunuhan sesama penghuni semesta. Manusia sebagai homo sapiens sebaiknya berpikir dan berusaha menata melalui kebijakan berbasis ekologis yang melestarikan, bukan melenyapkan. Dengannya, peringatan Hari Harimau Sedunia setiap tanggal 29 Juli menjadi berarti.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek.