”Dunia belum pernah menghadapi krisis energi sedalam dan sekompleks ini. Ini belum kondisi terburuk, dan ini akan berdampak ke seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif EIA, Fatih Birol, di forum energi global di Sydney.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Badan Energi Internasional (EIA) mengingatkan, dunia harus bersiap-siap menghadapi situasi krisis energi global yang jauh lebih buruk daripada yang ada sekarang.
”Dunia belum pernah menghadapi krisis energi sedalam dan sekompleks ini. Ini belum kondisi terburuk, dan ini akan berdampak ke seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif EIA, Fatih Birol, di forum energi global di Sydney, Australia.
EIA mengingatkan, kondisi ”sangat-sangat buruk” terutama akan dihadapi Eropa pada musim dingin mendatang, saat kebutuhan energi untuk pemanas melonjak. Semumlah skenario disiapkan negara-negara di kawasan ini, mulai dari penjatahan listrik, penghentian operasi industri, hingga pemadaman.
Tak menutup kemungkinan dislokasi ekonomi masif terjadi akibat krisis energi ini. Aksi protes dan gejolak sosial juga sudah terjadi di sejumlah negara di Eropa, dipicu lonjakan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh rumah tangga akibat kenaikan harga-harga. Sejumlah negara, seperti Jerman, mulai menyiapkan paket bantuan bagi warganya.
Krisis energi global saat ini dipicu oleh baik dari sisi supply maupun demand. Dari sisi suplai, disrupsi terutama dipicu perang Rusia-Ukraina dan sanksi global terhadap Rusia. Dari sisi demand, suhu lebih tinggi di Eropa dan Asia membuat permintaan energi juga meningkat. Harga gas dan listrik global naik ke level tertinggi, serta memaksa banyak negara beralih dari gas ke minyak bumi, bahkan batubara. Pada gilirannya, hal ini dapat kembali memicu spiral kenaikan harga energi.
Seperti dikatakan Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, embargo Rusia sama sekali tak berpengaruh ke Rusia karena perdagangan dengan friendly states, seperti China dan India, justru melonjak. Sebaliknya, Eropa dalam kesulitan besar secara ekonomi dan politik karenanya. Empat pemimpin negara bahkan jatuh, yakni di Inggris, Bulgaria, Italia, dan Estonia.
Situasi yang kita hadapi di Indonesia memang tak separah di Eropa. Namun, akibat lonjakan harga energi global, subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah—untuk menahan harga BBM subsidi, elpiji 3 kilogram, dan tarif listrik di bawah 3.000 VA—membengkak hingga Rp 578,1 triliun. Kenaikan harga kemungkinan tak terhindarkan jika harga minyak mentah terus melonjak di pasar dunia. Semakin kuat desakan untuk memperbaiki skema subsidi agar lebih tepat sasaran.
Belum ada tanda-tanda perang Rusia-Ukraina—yang ikut menyeret dunia pasca-pandemi dalam resesi/stagflasi—segera berakhir. Sekjen PBB mengecam kalangan korporasi migas dunia yang mengambil keuntungan, dengan laba di atas 100 miliar dollar AS, di tengah krisis energi global yang mengancam kelangsungan hidup ratusan juta penduduk dunia.
Krisis energi juga memaksa banyak negara kembali ke energi fosil, di tengah tuntutan komitmen pengurangan karbon sesuai Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Yang paling dicemaskan, krisis ini menuntun ke situasi di mana hanya negara yang mampu membayar harga tertinggi bisa mengakses energi. Sisi positifnya, seperti krisis minyak tahun 1970-an, krisis kali ini diharapkan bisa menjadi pemicu percepatan transisi ke energi bersih.