Mengatasi Kemiskinan Perdesaan
Bantuan sosial atau BLT tidak bisa menjadi tumpuan pengurangan angka kemiskinan perdesaan. Produktivitas pertanian perlu dijaga. Realokasi kebijakan pupuk perlu dilakukan, terutama dari sisi wilayah dan jenis tanaman.
Penurunan kemiskinan perdesaan terus berlanjut, terkatrol oleh puncak panen serta guyuran bantuan langsung tunai (BLT) desa.
Sayangnya, capaian ini diperlambat oleh peningkatan harga komoditas pangan yang dikonsumsi penduduk miskin. Padahal, pertanian terus tumbuh positif selama pandemi meski bertalian erat dengan kantong kemiskinan dan volatilitas harga pangan.
Saat ini kinerja pertanian dibayangi oleh pembatasan ekspor pupuk oleh beberapa negara produsen pupuk akibat ketidakpastian global. Sebagai importir neto pupuk, pemerintah perlu upaya baru dalam menjaga stabilitas harga pangan. Tantangannya, bagaimana mengatasi kemiskinan di tengah gejolak harga pangan sekaligus menjaga produktivitas pertanian secara bersamaan.
Meski kemiskinan perdesaan berkurang, penurunannya mengalami perlambatan.
Kemiskinan perdesaan
Meski kemiskinan perdesaan berkurang, penurunannya mengalami perlambatan. Pada Maret 2022, BPS mencatat tingkat kemiskinan perdesaan 12,29 persen atau lebih rendah 0,31 poin persen dari sebelum pandemi, yakni 12,6 persen pada September 2019.
Meskipun dikatrol percepatan BLT desa dan puncak panen pada Maret 2022, angkanya hanya turun 0,24 poin dari September 2021. Padahal, jika dibandingkan dengan periode Maret-September 2021, turun lebih dalam sebesar 0,43 poin.
Desa berbasis pertanian pangan semakin kehilangan kontrol atas dorongan pendapatan. Padahal, Maret 2022 merupakan puncak panen raya padi, dengan produksi meningkat 5.021.490 ton ketimbang September 2021. Sayangnya, membaiknya nilai tukar petani (NTP) pada Maret 2022 sebesar 109,29 tidak dinikmati oleh pertanian tanaman pangan.
NTP tanaman pangan justru turun 1,19 poin menjadi 99,23 atau di bawah 100. Dengan kata lain, apa yang dibayar petani untuk produksi jauh lebih besar dari apa yang diterimanya.
Padahal, ada 38 juta orang (29,23 persen) yang menggantungkan hidup pada lapangan usaha pertanian, dan penyerapan tenaga kerja sektor ini mencapai 1,86 juta orang (year on year) pada Februari 2022.
Di samping itu, untuk menjaga penduduk miskin tak terperosok lebih dalam, BLT desa telah menjadi bantalan. Menurut Kemenkeu, hingga Maret 2022, realisasi anggaran perlindungan sosial untuk BLT desa mencapai Rp 3,1 triliun. Amanah Perpres No 104/2021, sebanyak 40 persen dana desa (DD) 2022 digunakan untuk program perlindungan sosial berupa BLT desa dan program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20 persen.
Pada 2022, total BLT desa hampir sama dengan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH). Jika total DD 2022 sebesar Rp 68 triliun, untuk BLT desa minimal mencapai Rp 27,2 triliun, sementara anggaran PKH sendiri sebesar Rp 28,7 triliun. Sayangnya, meski ada guyuran dana, kinerja pengurangan kemiskinan 2022 mengalami perlambatan karena konsumsi penduduk miskin tertahan lonjakan harga pangan.
Lonjakan harga pangan
Lonjakan harga pangan berdampak negatif terhadap daya beli dan kesejahteraan. Simulasi Bank Dunia pada publikasi Indonesia Economic Prospects (Juni 2022) menemukan bahwa kenaikan harga secara terus-menerus dapat meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,2 poin persen atau setara 435.000 orang jatuh ke dalam kemiskinan. Guncangan harga mampu menurunkan daya beli hingga 0,6 persen dari tingkat konsumsi awal. Kelompok 40 persen termiskin akan mengalami kerugian daya beli lima kali lebih besar ketimbang kelompok 10 persen terkaya, terutama karena gejolak harga pangan.
BPS mencatat, ada fluktuasi harga pangan yang dikonsumsi penduduk miskin sepanjang September 2021-Maret 2022. Pada periode ini, harga beras mengalami peningkatan 1,13 persen. Meski pemerintah sudah tiga tahun tidak melakukan impor, beras sebagai komoditas pokok memiliki andil tertinggi terhadap garis kemiskinan.
Beberapa peningkatan harga juga terpantau, antara lain harga rokok kretek filter naik 4,19 persen, telur ayam ras naik cukup tinggi sebesar 31,55 persen, minyak goreng curah naik 10,34 persen, daging ayam ras naik 7,31 persen, dan bawang putih naik 7,70 persen. Peningkatan harga telur ayam ras dan daging ayam ras dibayangi harga pakan ternak, di mana bahan baku sebagian impor.
Perlu diwaspadai juga sejumlah pembatasan ekspor, seperti yang dilaporkan International Food Policy Research Institute (IFPRI) tahun 2022.
Pertama, konsumsi daging sapi dibayangi pembatasan ekspor oleh tiga negara eksportir, yaitu Kirgistan, Argentina, dan Turki. Kedua, untuk makanan dari kedelai juga ada pembatasan ekspor oleh Argentina dan Ghana. Ketiga, untuk harga bahan makanan dari gandum, seperti mi instan, roti, kue basah, dan kue kering/biskuit, ada pembatasan ekspor oleh delapan negara, yaitu Rusia, India, Serbia, Mesir, Afghanistan, Kazakhstan, Kirgistan, dan Kosovo.
Keempat , komoditas gula dibayangi pembatasan oleh delapan negara, yaitu Rusia, India, Kazakhstan, Kirgistan, Kosovo, Pakistan, Aljazair, dan Lebanon.
Selain itu, desa menjadi bagian dari pangsa pasar global, yaitu lokasi konsumen akhir pupuk. Pada Mei 2022, impor pupuk mencapai 554 juta ton dengan nilai ekspor 273,02 juta dollar AS atau setara Rp 3,95 triliun. IFPRI mencatat masih berlangsungnya pembatasan ekspor pupuk oleh beberapa negara, yaitu Rusia, China, Ukraina, Vietnam, dan Kirgistan. Rusia dan China adalah pemasok pupuk utama Indonesia.
Realokasi kebijakan pupuk
Demi menjaga produktivitas pertanian, realokasi kebijakan pupuk perlu dilakukan, terutama dari sisi wilayah dan jenis tanaman. Dari sisi wilayah, perlu realokasi ulang subsidi pupuk antara Jawa dan luar Jawa. Tujuannya untuk mendorong produktivitas pertanian di luar Jawa karena produktivitas pertanian di Jawa sudah optimal.
Sementara dari sisi jenis tanaman, subsidi pupuk juga perlu diarahkan pada komoditas strategis. Produktivitas pertanian yang perlu dijaga, seperti pada Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, kakao, tebu rakyat, dan bawang putih.
Akhirnya, pengurangan angka kemiskinan perdesaan tidak bisa hanya bertumpu pada bantuan sosial serta produktivitas pertanian karena pergerakan harga pangan di luar kendali petani. Membaiknya angka kemiskinan perdesaan akibat bantalan kebijakan peredam hanya akan terjaga jika pendapatan petani tak tergerus inflasi.
Udin Suchaini, Pemerhati Pembangunan Desa, Bekerja di BPS