Selama ada regulasi yang solid, terlepas dari apa pun tantangannya, transformasi menuju ekonomi hijau bukanlah sekadar utopia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Gencarnya pembahasan mengenai isu perubahan iklim dalam dekade terakhir membuat terminologi hijau, atau ”green” saat ini mengisi ruang-ruang aktivitas pengelolaan sumber daya. Warna hijau punya keterkaitan erat dengan lingkungan sehingga beragam aktivitas ekonomi yang turut memperhatikan lingkungan disandingkan dengan kata hijau.
Energi hijau adalah sebutan untuk sumber energi yang berasal dari bahan-bahan yang relatif tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Industri hijau merupakan aktivitas produksi yang selaras dengan kelestarian. Sementara ekonomi hijau sendiri merupakan payung yang menaungi semua kegiatan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Berbeda dengan model ekonomi konvensional selama ini yang secara praktik tidak memprioritaskan kelestarian, gagasan ekonomi hijau justru mengedepankan adanya keberlanjutan, tidak hanya dari faktor ekonominya saja, tetapi juga dua faktor lainnya, yakni sosial dan lingkungan.
Di Indonesia, transformasi menuju ekonomi hijau memerlukan pijakan kokoh dalam aspek regulasi untuk memacu segenap potensi yang ada. Regulasi yang suportif akan menghasilkan iklim bisnis yang kondusif. Adanya bermacam daya tarik berinvestasi diyakini mampu mengakselerasi pencapaian transformasi secara bertahap dan terukur.
Berdasarkan kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk mendukung capaian pembangunan emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060, per tahunnya dibutuhkan dana yang setara dengan 6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan acuan PDB 2021 yang sebesar Rp 16.970,8 triliun, setidaknya butuh dana sekitar Rp 1.000 triliun per tahun. Kemampuan APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan itu.
Pemerintah berulang kali menegaskan bahwa pendanaan untuk mengurangi emisi karbon tidak hanya berasal dari kas negara. Apalagi, dua tahun terakhir ini Indonesia dibebani dengan biaya penanganan pandemi yang menguras kocek anggaran. Dibutuhkan sinergi antara swasta dan pemerintah, bahkan bantuan organisasi internasional agar pengembangan ekonomi hijau dapat berjalan secara optimal.
Dengan acuan PDB 2021 yang sebesar Rp 16.970,8 triliun, setidaknya butuh dana sekitar Rp 1.000 triliun per tahun. Kemampuan APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan itu.
Kementerian Keuangan mencatat APBN sepanjang 2016-2022 konsisten mengalokasikan anggaran perubahan iklim rata-rata senilai Rp 96,78 triliun per tahun atau sekitar 4,1 persen dari belanja dalam APBN. Angka tersebut sangat jauh, bahkan tidak mencapai 1 persen dari kebutuhan dana untuk mengejar netralitas emisi karbon setiap tahunnya.
Harga ekonomi hijau sangat tinggi karena hasil yang ingin dicapai dari konsep ini bukan sekadar kelestarian alam, melainkan juga seluruh rantai pasok perekonomian, dari hulu ke hilir. Di luar proses pengelolaan produk, model pembiayaan pun mengacu pada prinsip hijau. Jenis pembiayaan ini punya banyak nama, mulai dari investasi hijau, investasi berdampak, pembiayaan hijau, hingga pembiayaan berkelanjutan.
Semakin menggali konsep ekonomi hijau, maka orang skeptis akan berpikir konsep ini hanya sekadar utopia. Yang jelas untuk mentransformasi utopia menjadi realita, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Untuk mengakselerasi partisipasi swasta, pemerintah memberikan dukungan kebijakan dan kerangka peraturan yang menguntungkan bagi sektor swasta, melalui skema insentif dan disinsentif serta kepercayaan untuk berinvestasi dalam proyek ekonomi hijau.
Regulasi yang hadir belum cukup mengundang minat pengusaha berinvestasi. Adapun dari sisi keuangan, perbankan perlu terlibat lebih masif untuk menopang pelaku usaha menengah. Padahal, pengembangan energi hijau, yang bagian dari transformasi ekonomi ini, misalnya, perlu mendapat sokongan penuh dari industri jasa keuangan. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan ada agar pengembangan energi baru dan terbarukan tidak terhambat.
Dari sisi industri, kesadaran mengurangi emisi dan bertransisi ke ekonomi hijau makin meningkat seiring tuntutan persaingan di rantai pasok global. Permintaan pasar global membuat saat ini perusahaan nasional yang berorientasi ekspor menyadari urgensi dekarbonisasi dan bertransisi ke ekonomi hijau. Pelaku industri yang tidak mengurangi emisi karbon akan sulit bersaing di rantai pasok global.
Memang benar, saat ini pemerintah sudah menerbitkan Indeks Ekonomi Hijau nasional untuk memastikan bahwa proses transisi ekonomi di Tanah Air menuju ekonomi hijau berada di jalur yang tepat. Namun, indeks ini tidak akan berarti tanpa adanya kebijakan yang mengakomodasi transisi hijau di setiap aspek dalam perekonomian nasional.
Selama ada regulasi yang solid, terlepas dari apa pun tantangannya, transformasi menuju ekonomi hijau bukanlah sekadar utopia.