Mengembangkan Ekosistem Industri Pertahanan Indonesia
Guna memiliki ekosistem industri pertahanan yang sehat selain memperhatikan kesiapan industri nasional, juga bagaimana memilih program offset atau alih teknologi terbaik yang dapat diterima oleh perusahaan domestik.
Akhir Juni 2022 lalu, galangan kapal nasional, PT PAL Indonesia, mengumumkan bahwa perusahaan tersebut telah dipilih Departemen Pertahanan Nasional Filipina untuk memproduksi dua kapal perang jenis landing platform dock (LPD) yang akan digunakan oleh Angkatan Bersenjata Filipina.
Kesepakatan ini merupakan kedua kalinya Manila memesan LPD dari Indonesia. Sebelumnya PT PAL telah menyerahkan dua LPD kepada Angkatan Laut Filipina pada 2016 dan 2017.
Selain itu, pada 1 Juli, Pemerintah Indonesia juga mengumumkan bahwa PT PAL akan menandatangani kontrak dengan Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) untuk memasok setidaknya satu LPD.
Alih teknologi
Menariknya, keberhasilan PT PAL memproduksi dan memasarkan kapal jenis LPD berawal dari paket offset atau alih teknologi hampir dua dekade lalu atau tepatnya pada 2004 ketika Pemerintah Indonesia membeli empat LPD kelas Makassar dari galangan kapal Korea Selatan, Dae Sun Shipbuilding and Engineering.
Kontrak tersebut mencakup izin produksi, di mana kapal ketiga dan keempat akan dibangun oleh PT PAL dengan bantuan dan supervisi Dae Sun, yakni KRI Banjarmasin-592 dan KRI Banda Aceh-593, yang masing-masing mulai beroperasi pada 2009 dan 2011.
Baca juga: Angkatan Laut Filipina Beli Dua Kapal Perang PT PAL
Dari kesepakatan antara PT PAL dan Dae Sun tersebut, galangan kapal Indonesia dapat dinilai berhasil memanfaatkan program alih teknologi (transfer of technology/ToT) untuk membangun dan mengekspor kapal perang buatan dalam negeri.
Meskipun LPD bukanlah kapal perang yang kompleks, baik dari segi pembuatan maupun spesifikasi, seperti fregat atau kapal selam, kemampuan industri pertahanan nasional dalam menyerap teknologi dari kerja sama pembelian dan pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) tersebut perlu diapresiasi.
Hal itu karena skema ini telah berhasil meningkatkan kapasitas dan kapabilitas industri strategis Indonesia.
PT PAL sendiri bukanlah satu-satunya badan usaha milik negara (BUMN) yang dapat mendukung pemerintah guna mencapai target kemandirian industri pertahanan.
Misalnya, melalui kemitraannya dengan Airbus yang dimulai pada akhir tahun 1970-an, PT Dirgantara Indonesia (DI) telah mampu memproduksi berbagai bagian pesawat, seperti sayap luar, stabilisator horizontal, sirip vertikal, flap, dan pintu, untuk perusahaan Eropa tersebut.
Perusahaan yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, ini bahkan telah berhasil memproduksi dan mengekspor pesawat angkut taktis jenis CN235 dengan tingkat komponen lokal (TKDN) 42,56 persen hingga saat ini.
Pencapaian PT PAL dan PT DI menunjukkan bahwa offset atau alih teknologi merupakan sebuah investasi yang dapat menguntungkan industri strategis Indonesia meskipun implementasinya membutuhkan waktu dan upaya agar bisa mencapai hasil yang ditargetkan.
Kemandirian Indonesia
Belajar dari kesuksesan LPD dan CN235, program offset atau alih teknologi sebaiknya tak dilihat sebagai satu-satunya kunci untuk mencapai kemandirian sektor industri pertahanan.
Guna memiliki ekosistem industri pertahanan yang sehat, ada hal yang perlu diperhatikan selain kesiapan industri nasional, yaitu bagaimana memilih program offset atau alih teknologi terbaik yang dapat diterima perusahaan domestik.
Sebagai contoh dalam kesepakatan pengadaan kapal selam kelas Scorpene, offset atau alih teknologi yang ditawarkan kepada Indonesia adalah kesempatan PT PAL membangun secara domestik kapal selam tersebut di Surabaya.
Pada gilirannya, kesempatan ini dapat membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kemampuan produksi PT PAL untuk membangun kapal selam secara mandiri, serta secara umum meningkatkan kapasitas galangannya. Dengan nilai ini, PT PAL memiliki potensi besar untuk menjadi sentra produksi kapal selam di kawasan dan satu-satunya perusahaan yang mampu membangun kapal selam di Asia Tenggara.
Serupa PT PAL, hal yang sama dapat dikatakan untuk PT DI yang akan mendapatkan keuntungan dari program pengadaan pesawat Airbus A400M dan pesawat tempur Rafale oleh Kementerian Pertahanan RI.
Selain itu, ada pula penandatanganan nota kesepahaman antara PT Len dan Thales untuk memproduksi dan memasok radar ground controlled interception (GCI) guna memenuhi kebutuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Meskipun omnibus law memberikan peluang, peran BUMS dan BUMN pertahanan patut menjadi pertimbangan utama dari pemerintah selain kualitas dan efisiensi program offset atau alih teknologi.
Keterlibatan swasta
Melalui kontrak-kontrak tersebut, perusahaan pertahanan nasional lainnya diharapkan mampu mengambil pelajaran dalam hal penyerapan dan pemanfaatan offset atau alih teknologi yang diperoleh dari kerja sama dengan mitra atau pemasok asing.
Sebagai salah satu kunci untuk mendukung pertumbuhan industri pertahanan dan menggapai kemandirian, offset dan alih teknologi menjadi hal yang diandalkan perusahaan-perusahaan dalam negeri, termasuk Pemerintah Indonesia.
Namun, hubungan antara badan usaha milik swasta (BUMS) dan BUMN merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan oleh para pengambil keputusan dalam skema ini mengingat kuat tidaknya pertahanan Indonesia juga akan ditentukan oleh hubungan di antara dua entitas ini.
Selain Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2012, pemerintah juga telah berupaya memperkuat dasar hukum yang ada untuk mendukung sektor industri pertahanan melalui UU Cipta Kerja atau omnibus law.
Regulasi tersebut kemudian menjadi dasar penting keterlibatan dan manfaat yang dapat diperoleh sektor swasta dalam belanja alutsista.
Meskipun masih dalam tahap revisi, pengesahan omnibus law membuka babak baru bagi sektor pertahanan Indonesia karena memberikan peluang bagi BUMS untuk bersaing menjadi lead integrator alutsista, di samping perubahan-perubahan lain, seperti kepemilikan modal dan aktivitas produksi.
Lebih jauh lagi, selain mengizinkan pembentukan joint venture, yang juga perlu dipantau secara ketat oleh pemerintah demi berbagai kepentingan, pasal-pasal terkait Industri pertahanan dalam Omnibus Law juga sebenarnya membantu aktor-aktor swasta agar dapat memperoleh, mengembangkan, dan menguasai teknologi-teknologi kunci.
Di sisi lain, para pengambil keputusan juga perlu menimbang dan mengawasi pihak-pihak swasta yang terlibat di dalamnya. Contoh yang bisa diambil PT Infoglobal Teknologi Semesta.
Keberhasilan perusahaan tersebut dalam membuat dan mengembangkan produknya serta menjadi bagian dari konsorsium radar nasional yang dipimpin oleh PT Len Industri menunjukkan kematangan industrinya.
Walau demikian, kisah sukses dan pengalaman PT Infoglobal Teknologi Semesta tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk semua BUMS; setiap perusahaan memiliki tantangan, tujuan, dan kekuatannya masing-masing. Mengingat ini, potensi kemitraan publik-swasta (KPS) di sektor swasta perlu dinilai secara cermat oleh semua pihak terkait.
Meskipun omnibus law memberikan peluang, peran BUMS dan BUMN pertahanan patut menjadi pertimbangan utama dari pemerintah, selain kualitas dan efisiensi program offset atau alih teknologi. Berkat dukungan kuat pemerintah, BUMN memiliki potensi, kematangan industri, dan kapasitas yang lebih mumpuni untuk mendukung pengembangan industri strategis dalam negeri.
Mengingat ini, potensi kemitraan publik-swasta (KPS) di sektor swasta perlu dinilai secara cermat oleh semua pihak terkait.
Saat KPS menjadi salah satu faktor yang dibutuhkan untuk menopang pertahanan negara, mekanisme ini juga dapat dilihat sebagai upaya mempersempit kesenjangan kapasitas antara BUMN dan BUMS nasional, khususnya dalam sektor industri pertahanan.
Selain itu, aktor kunci lainnya yang juga memiliki peran penting dalam sektor industri pertahanan Indonesia ialah DEFEND ID. Saat DEFEND ID akan memainkan peran strategis dalam mempertimbangkan skema KPS dan konsorsium yang akan melibatkan BUMS, holding pertahanan tersebut juga membutuhkan dukungan kuat dari pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan Kementerian Pertahanan.
Anastasia Febiola, Research Analyst dan Head of Defence di PT Semar Sentinel Indonesia