Membuat QRIS Semakin Perkasa
QRIS memang hebat. Namun, ada hal fundamental yang bisa dilakukan untuk membuat QRIS lebih perkasa lagi, yaitu dengan tidak menempatkan QRIS sebagai instrumen pembayaran, tetapi hanya sebagai mekanisme pembayaran.
Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia atau ASPI beserta seluruh penyedia jasa sistem pembayaran patut diacungi jempol terkait kiprah membangun QRIS—quick response code Indonesia standard—sebagai salah satu infrastruktur pembayaran ritel nasional. Sejak diluncurkan BI pada Agustus 2019, QRIS berkembang pesat.
Menurut ASPI, per Juni 2022, ada 19 juta merchant QRIS yang per bulan menerima 79 juta transaksi dengan nilai Rp 9,5 triliun. Angka ini cukup signifikan dibandingkan dengan nilai transaksi bulanan kartu debit sebesar Rp 46 triliun, kartu kredit Rp 25 triliun, serta uang elektronik Rp 32 triliun.
Sejak awal BI memang mengarahkan ASPI sebagai lembaga standar yang diberi mandat membuat QRIS agar standar yang dibuat memiliki interoperabilitas dan interkonektivitas tinggi.
Oleh karena itu, QRIS dirancang agar semua issuer (penerbit) uang elektronik dan bank penyelenggara tabungan dapat menggunakan QRIS yang dipasang oleh sembarang acquirer (pihak yang mengakuisisi) merchant. Hal ini dimungkinkan karena jaringan QRIS terkoneksi dengan empat penyelenggara switching nasional, yaitu Rintis, Artajasa, Jalin, dan ALTO.
Secara komersial, BI mengatur biaya merchant discount rate (MDR) QRIS yang dikenakan kepada merchant sebesar 0,7 persen dari nilai pembayaran. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi merchant pilih-pilih instrumen pembayaran dan issuer mana yang akan diterima. Semuanya dikenai biaya yang seragam. Ini kehebatan pengaturan harga ( pricing) QRIS dibandingkan pricing kartu debit.
Pada kartu debit, jika penerbit kartu yang digunakan sama dengan penyedia mesin EDC (electronic data capture/mesin gesek kartu), merchant dikenai 0,15 persen. Jika penerbit kartu debit berbeda dengan penyedia EDC, merchant dikenai biaya lebih mahal, yakni 1 persen. Hal ini mengakibatkan kebanyakan merchant memasang banyak EDC dari berbagai acquirer.
QRIS memang hebat. Namun, ada hal fundamental yang bisa dilakukan untuk membuat QRIS lebih perkasa lagi, yaitu dengan tidak menempatkan QRIS sebagai instrumen pembayaran, tetapi hanya sebagai mekanisme pembayaran.
Sejatinya QRIS bukan instrumen pembayaran, seperti kartu debit, kartu kredit, atau uang elektronik. QRIS juga bukan sumber dana. QRIS hanyalah cara penggunaan instrumen pembayaran seperti halnya mekanisme menggesek, mencolok, atau menempelkan kartu di EDC
Mekanisme pembayaran, bukan instrumen
Saat ini QRIS diposisikan seolah-olah sebagai instrumen pembayaran sehingga aturan yang dikeluarkan juga disusun dengan konsep tersebut. Padahal, sejatinya QRIS bukan instrumen pembayaran seperti kartu debit, kartu kredit, atau uang elektronik.
QRIS juga bukan sumber dana. QRIS hanyalah cara penggunaan instrumen pembayaran seperti halnya mekanisme menggesek, mencolok, atau menempelkan kartu di EDC di toko-toko. Bedanya, QRIS menggunakan kamera untuk memindai kode QR sebagai mekanisme bayar.
Berikut ini beberapa usulan untuk membuat QRIS lebih hebat lagi.
Pertama, standar pricing QRIS seyogianya disesuaikan dengan jenis instrumen pembayarannya. Pricing MDR 0,7 persen cocok untuk kartu debit dan uang elektronik, tetapi tidak cocok untuk kartu kredit. Pricing MDR kartu kredit umumnya berkisar 1,5 persen-2 persen karena melibatkan biaya dana (cost of fund) dan risiko kredit yang harus ditanggung oleh penerbit kartu kredit. Pricing standar 0,7 persen ini menjadi hambatan komersial bagi QRIS untuk digunakan dengan kartu kredit sebagai sumber dana.
Di luar kartu kredit masih ada jenis transaksi lain, seperti buy now pay later (BNPL) yang seharusnya juga bisa memanfaatkan QRIS, tentunya dengan skema pricing yang sesuai. Jika kita bisa mengubah paradigma QRIS menjadi mekanisme bayar, penggunaan QRIS akan bisa meluas tanpa harus terkekang oleh kebijakan pricing yang kurang sesuai.
Baca juga: Memeratakan Sistem Pembayaran Ritel sebagai Infrastruktur Digital Nasional
Kedua, limit transaksi QRIS idealnya dibuat dinamis. Saat ini, untuk memitigasi penyalahgunaan, BI membatasi transaksi QRIS maksimum Rp 20 juta. Idealnya limit ini disesuaikan dengan jenis dan risiko transaksi. Misalnya untuk transaksi menggunakan QRIS statis dengan memindai stiker QRIS dan memasukkan nilai transaksi secara manual, dibatasi dengan limit lebih rendah.
Namun, untuk QRIS dinamis yang ditampilkan di layar EDC, karena relatif lebih aman, limit tersebut bisa sampai Rp 20 juta atau lebih. Untuk transaksi transfer dana, misalnya, bisa dibuat lebih tinggi dari Rp 20 juta. Dengan limit yang dinamis, tetapi tetap terjaga risikonya, QRIS akan lebih baik memenuhi berbagai kebutuhan pengguna yang beragam.
Dengan limit yang dinamis, tetapi tetap terjaga risikonya, QRIS akan lebih baik memenuhi berbagai kebutuhan pengguna yang beragam.
Ketiga, pembagian MDR di antara para pelaku QRIS sebaiknya memberikan insentif kepada pihak acquirer untuk memperluas jaringan penerimaan. Saat ini untuk transaksi off-us di mana acquirer dan issuer QRIS berasal dari pihak berbeda, kedua belah pihak mendapatkan pembagian MDR yang lebih kurang sama.
Skema ini berbeda dengan skema tarik tunai di ATM. Di situ, sebagian besar pendapatan dinikmati acquirer sebagai pemilik ATM. Acquirer QRIS mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar untuk mengakuisisi dan merawat merchant. Pembagian pendapatan yang lebih besar untuk pihak acquirer akan memberi insentif kepada mereka agar mau berinvestasi lebih besar untuk memperluas jaringan penerimaan QRIS.
Baca juga: Memprediksi Dampak "Metaverse"
Keempat, mempercepat perluasan interkoneksi internasional menggunakan jaringan prinsipal global. Saat ini jaringan QRIS sudah terhubung dengan jaringan QR payment di Thailand dan sedang uji coba dengan jaringan QR Malaysia.
Jika kita bepergian ke negara-negara tersebut, kita dapat melakukan pembayaran dengan memindai QR standar domestik mereka seperti layaknya di Indonesia. Sebaliknya, turis-turis dari negara-negara tersebut juga dapat menggunakan instrumen pembayaran mereka di merchant QRIS.
Kerja sama bilateral bagus karena bisa diatur dengan lebih detail dan spesifik antarkedua negara. Namun, prosesnya lama karena harus dilakukan satu per satu. Seandainya dibuka kesempatan bagi jaringan internasional, seperti Visa, Mastercard, JCB, atau Union Pay, untuk menjadi switching tentu akan mempercepat proses interkoneksi QRIS secara global. Dengan demikian, kartu debit, kartu kredit, dan uang elektronik yang diterbitkan di Indonesia dapat dipakai di negara lain menggunakan QR setempat.
Di lapangan masih ada beberapa bank dan penerbit uang elektronik yang memasang QR non-QRIS.
Di luar hal-hal iru, di lapangan masih ada beberapa bank dan penerbit uang elektronik yang memasang QR non-QRIS. Hal ini mereka lakukan agar merchant lebih memilih menggunakan aplikasi dan instrumen mereka sebagai alat bayar. Merchant diuntungkan karena dengan QR non-QRIS tersebut, mereka membayar MDR yang lebih kecil atau gratis. Namun, ini bertentangan dengan semangat standardisasi, interoperabilitas, dan interkonetivitas QRIS. Hal ini seyogianya segera ditertibkan oleh BI.
QRIS memang merupakan pencapaian luar biasa dari BI, ASPI, dan seluruh pelaku industri pembayaran. Semoga QRIS bisa menjadi lebih hebat lagi.
*Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society