Hitung-hitungan Politik
Hingga kini, ada empat nama yang mencuat sebagai kandidat presiden. Semua partai akan berhitung siapa yang bakal dicalonkan. Meski demikian, arah dukungan Jokowi menjadi salah satu faktor yang menentukan calon presiden.
Hari ini fotonya terpampang di baliho-baliho, berderet di setiap sudut jalan, menampilkan pose dan senyum terbaiknya dengan tulisan: ”Calon Presiden 2024”. Di kota lain, fotonya dipasangkan dengan seseorang sebagai calon wakil presiden. Di bawah foto itu tertulis aneka singkatan nama sebagai jargon.
Media massa pun sudah gaduh memuat nama-nama capres/cawapres disertai sejumlah teori kemungkinan. Tebakan dan aneka analisis politik bertebaran di mana-mana melalui media. Pemilihan presiden/wakil presiden masih dua tahun lagi, tetapi genderangnya ditabuh jauh-jauh hari.
Lain tokoh lain gayanya, tetapi sama juga yang kita tangkap: upaya membentuk citra diri yang merakyat, menggeluti keseharian khalayak, menekuri kegemaran publik. Mereka turun ke sawah, masuk selokan, naik sepeda motor, makan di pinggir jalan, memakai kaus oblong, bersedekah, dan seterusnya.
Hingga kini, ada empat nama yang mencuat sebagai kandidat presiden.
Siapa capres/cawapres?
Hingga kini, ada empat nama yang mencuat sebagai kandidat presiden. Pertama, Puan Maharani, yang bakal dicalonkan oleh PDI-P. Kedua, Prabowo Subianto, yang bakal dinominasikan oleh Partai Gerindra dan PKB. Ketiga, Airlangga Hartarto, yang kemungkinan besar diajukan oleh Koalisi Indonesia Bersatu (Partai Golkar, PAN, dan PPP). Keempat, Anies Baswedan yang bakal diusung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS.
Di antara empat calon tersebut, hanya Anies yang tidak memimpin partai. Nama Ganjar Pranowo sebenarnya juga disebut. Namun, hingga kini, partai yang mencalonkannya belum kunjung datang. Maka, jika konstelasi politik bertahan seperti sekarang ini, memang bisa jadi Ganjar tidak ikut dalam kontestasi.
Yang mengemuka sekarang adalah pasangan Prabowo dengan Muhaimin Iskandar. Duet ini muncul dengan alasan Muhaimin membawa suara PKB untuk menggenapi suara Gerindra sehingga Prabowo bisa maju jadi capres. Selain itu, pemilih kelompok Islam diasumsikan akan dibawa Muhaimin, terutama suara warga Nahdliyin yang menguasai Jawa Timur. Sebuah kalkulasi yang juga cukup menggiurkan.
Didie SW
Puan Maharani diuntungkan oleh perolehan suara PDI-P sehingga tak perlu repot berkalkulasi siapa bakal wakilnya yang bisa membawa suara penggenap untuk mencalonkan diri. Pernah ada bisik-bisik, Puan akan berduet dengan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat.
Kalkulasi ini juga rasional mengingat popularitas Ridwan Kamil belakangan ini sangat meroket di Jawa Barat, provinsi yang paling besar populasinya di Indonesia. Bukankah pemilihan presiden (pilpres) adalah pemilihan dengan sistem one man, one vote?
Ada juga kalangan yang berikhtiar menduetkan Puan dengan Anies. Sebuah duet yang dinilai ideal sebagai duet pelangi yang indah, antara Nasionalis dan Islam.
Pertanyaannya, siapa yang jadi capres dan siapa yang jadi cawapres? Puan tentu tak mau jadi orang nomor dua karena ia memiliki kendaraan yang sudah lengkap. Begitu juga Anies. Dengan popularitas yang tinggi serta kendaraan yang sudah tersedia juga tidak mau jadi nomor dua. Selain itu, jika duet Puan-Anies terjadi, dengan alasan ideologis dan personal, tentu saja PKS dan Partai Demokrat, dan mungkin juga Partai Nasdem, tidak ikut dalam koalisi untuk Puan-Anies.
Kalau keduanya tidak ikut, otomatis polling Airlangga menukik naik dan memberi harapan.
Bagaimana dengan Airlangga Hartarto? Ada kalangan menilai hasil jajak pendapat keterpilihannya memang masih rendah, tetapi persentase tersebut otomatis akan naik jika Ganjar tidak ikut menjadi capres. Apalagi, jika Anies, karena suatu dan lain hal, tidak maju jadi calon. Asumsinya, polling Airlangga belum terkerek ke atas karena terganjal oleh Ganjar dan Anies. Kalau keduanya tidak ikut, otomatis polling Airlangga menukik naik dan memberi harapan. Ya, namanya politik, memang begitu. Antara harapan dan kecemasan acapkali beda-beda tipis.
Sayup-sayup terdengar, Airlangga akan berduet dengan Erick Thohir, tokoh muda yang memiliki logistik yang bisa mendorong lajunya kendaraan. Saya pernah dengar, Presiden Jokowi, mulanya, menjagokan duet Ganjar dan Erick. Namun, konstelasi perpolitikan, terutama kendaraan yang hendak dipakai, belum menunjukkan gelagat yang memberi optimisme.
Presiden Jokowi akhirnya realistis. Masalahnya, pada umumnya elite dan kader-kader PDI-P tetap menjagokan Puan sebagai calon yang mewakili partai mereka. Bukan orang lain. Bisa saja memang terjadi, Airlangga akan berduet dengan Erick, apalagi belakangan ini mobilitas Erick ke Nahdlatul Ulama (NU) cukup signifikan untuk memberi ruang harapan.
Namun, perlu dihitung matang-matang, siapa nyana pada momen kritis dan menentukan, PAN justru mendesak mencalonkan ketua umumnya menjadi pendamping Airlangga. Pada saat desakan itu muncul, karena batas waktu pencalonan kian mepet, Airlangga tidak memiliki pilihan kecuali harus mengikuti keinginan PAN.
Didie SW
Hal lain yang patut diagendakan Airlangga adalah menjaga komitmen dan kohesi PPP dengan dirinya. Sangat dimungkinkan, dalam keadaan kritis dari segi waktu pencalonan, PPP keluar dari koalisi karena khawatir jika bertahan di koalisi Golkar, suara PPP kian tergerus jika PPP tak ikut gerbong Anies. Banyak kalangan menganggap Anies memiliki akar di kalangan pemilih Islam.
Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat suara PPP pada pemilu terakhir kian terseok, dan berada dalam wilayah kritis untuk tidak memenuhi threshold ke depan. Dasar pemikiran yang sama bisa juga terjadi dan dipakai PAN untuk keluar dari koalisi.
Merebut suara di Jawa
Hingga kini, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) banyak disebut sebagai calon pendamping Anies. Pilihan ini disertai alasan, Partai Demokrat yang dipimpin AHY merupakan salah satu tulang punggung pencalonan Anies ke depan. Simbol nasionalisme juga tersampir di pundak AHY sehingga pasangan Anies-AHY bisa juga dianggap simbol pelangi indah.
Pernah juga, secara tidak terbuka, nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa disebut layak mendampingi Anies. Pasalnya, untuk meminimalkan stigma Islam kanan terhadap diri Anies, diperlukan seorang tokoh militer sebagai penawar.
Baca juga: Koalisi Gerindra dan PKB
Belakangan, nama Khofifah Indar Parawangsa, Gubernur Jawa Timur, juga muncul sebagai salah satu nama untuk mendampingi Anies. Alasannya, Khofifah memiliki pengalaman pemerintahan yang sudah mumpuni, baik di tingkat nasional maupun provinsi. Selain itu, jika Muhaimin jadi mendampingi Prabowo, pengaruh Muhaimin untuk meraup suara Nahdliyin di Jawa Timur bisa disaingi oleh Khofifah.
Alur pikir ini ditopang fakta bahwa ketika Khofifah mencalonkan diri sebagai gubernur di Jawa Timur, ia tidak dicalonkan oleh PKB yang dipimpin Muhaimin. Khofifah memenangi pertarungan tersebut. Terlepas dari itu, suara Jawa Timur adalah suara terbanyak kedua setelah Jawa Barat.
Kubu Anies juga harus menghitung bahwa suara Jawa Tengah kemungkinan besar diambil Puan dan sebagian Jawa Barat juga bisa diraupnya kalau jadi berpasangan dengan Ridwan Kamil. Anies memang bisa juga meraup suara di Jawa Barat dengan PKS, tetapi perlu merebut suara di Jawa Timur.
Orang pun berkeyakinan Khofifah bisa dipakai untuk tujuan itu. Pada akhirnya, semua tergantung pada negosiasi dan persetujuan partai-partai pendukungnya kelak. Lantas, siapa gerangan yang bakal muncul sebagai pemenang? Arah dukungan Jokowi akan menjadi salah satu faktor yang menentukan. Wallahu alam bissawab.
Hamid Awaludin,Mantan Menteri Hukum dan HAM RI.