Pemuda, Vokasi, dan Industrialisasi Pedesaan
Berdasarkan tiga pesan penting seputar pembangunan pedesaan dan struktur demografi tampak adanya kebutuhan instrumen berupa pendidikan vokasi yang mampu mempertautkan potensi kaum muda dengan industrialisasi pedesaan.
Dua puluh tahun ke depan, bencana baru akan melanda Indonesia apabila masalah pengangguran dan kemiskinan pemuda tidak teratasi.
Kelompok produktif ini akan bertransformasi menjadi pseudo group yang mudah dikendalikan pihak luar untuk kepentingan pragmatis. Meski pendidikan cukup, kaum muda ini tidak serta-merta memiliki keahlian dan keterampilan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pribadi dan keluarganya.
Menggunakan Data Desa Presisi (DDP) 2022 di 6 pulau, 7 provinsi, 12 kabupaten, dan 42 desa, populasi kelompok muda (16-30 tahun) sebanyak 31,20 persen atau lebih banyak dari kelompok umur 31-45 tahun (30,90 persen); sebanyak 24,57 persen dari kelompok umur 46-60 tahun; dan 13,34 persen kelompok umur di atas 61 tahun.
DDP (2022) juga menyebutkan kelompok muda ini memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Akan tetapi, mereka yang menganggur (9,66 persen) dan kondisi miskin (14,16 persen) cukup banyak. Artinya pendidikan yang cukup baik tidak menjamin seorang pemuda memperoleh pekerjaan dan sejahtera.
Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi? Lalu apa potensi yang dapat digali untuk menggerakkan pemuda itu? Apa instrumen yang bisa digunakan untuk menghalau kepentingan pragmatis dari pihak luar terhadap kaum muda?
Meski pendidikan cukup, kaum muda ini tidak serta-merta memiliki keahlian dan keterampilan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pribadi dan keluarganya.
Generasi yang hilang
Sosiolog pedesaan kebangsaan Belanda, Ben White (2019), memperingatkan, negara berpenghasilan rendah dan menengah (termasuk Indonesia) akan mengalami fenomena pemiskinan pemuda. Populasi kaum muda miskin ini, menurut Ben White, banyak ditemukan di pedesaan. Adapun faktor penyebab kemiskinan kaum muda adalah akses lahan yang sempit sebagai petani, minimnya keterlibatan kaum muda dalam dialog kebijakan pertanian, dan keengganan pemuda terlibat di dalam organisasi atau gerakan sosial pedesaan.
Kondisi inilah yang mendorong kaum muda desa memilih migrasi keluar dari desanya. Alhasil terjadi lost generation. Lost generation yang dimaksud di sini ialah keadaan di mana kaum muda desa memilih meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian yang dianggap tak menarik dan memberikan harapan untuk bisa sejahtera (Vellema, 2011).
Akibat lost generation, tenaga kerja pertanian di pedesaan didominasi lapisan petani berumur di atas 45 tahun yang tak produktif. Dari catatan penulis, kaum muda Indonesia banyak meninggalkan sektor pertanian karena sosialisasi orangtua dan teman sejawat yang menganggap sektor ini tidak menguntungkan (Ningsih dan Sjaf, 2015). Hal yang sama terjadi bagi kaum muda di negeri India, lebih memilih bekerja di sektor industri daripada menjadi petani. Demikian pun kaum muda di Benua Afrika, mereka yang berpendidikan tinggi tidak memilih untuk bertani.
Kondisi lost generation ini paradoks dengan situasi pedesaan Indonesia yang ada saat ini, yang menggambarkan besarnya perputaran uang di desa. Studi Sjaf dkk merujuk DDP (2022) menunjukkan hal ini—di mana pasar konsumsi pangan dilihat dari perputaran uang untuk memenuhi konsumsi 45 komoditas pertanian di pedesaan Jawa mencapai Rp 3 miliar-Rp 5 miliar per desa per bulan. Sementara untuk pedesaan di luar Jawa berkisar Rp 300 juta-Rp 3 miliar per bulan.
Dengan jumlah desa di Pulau Jawa sebanyak 32,14 persen dari total desa, minimal perputaran uang untuk memenuhi pasar konsumsi pangan sebesar Rp 80,47 triliun per bulan (Rp 965,64 triliun per tahun).
Sementara untuk Pulau Sumatera, perputaran uang minimal Rp 7,66 triliun per bulan (Rp 92,03 triliun per tahun) dan di pulau bagian timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) perputaran uang minimal Rp 9,32 triliun per bulan (Rp 111,85 triliun per tahun). Artinya perputaran uang untuk memenuhi 45 komoditas pertanian yang dikonsumsi orang Indonesia mencapai angka yang sangat fantastis, yaitu sebesar Rp 1.169,53 triliun per tahun. Angka ini setengah dari pendapatan negara 2022 sebesar Rp 2.266,2 triliun.
Mencermati angka pasar konsumsi pangan yang fantastis di atas, penulis memberikan tiga catatan kritis.
Pertama, kehadiran dan potensi kaum muda belum dioptimalkan menggarap potensi pasar konsumsi pangan di pedesaan. Fakta ini dapat dilihat dari asumsi kaum muda yang menganggap bahwa sektor pertanian sebagai sektor yang tidak menguntungkan. Kedua, orientasi pendidikan kaum muda tidak terkanalisasi dengan baik untuk menggarap potensi ekonomi dari sektor pertanian. Dan ketiga, pembangunan pedesaan kita masih jauh dari arus utama (mainstream) industrialisasi pedesaan. Lalu, apa solusi dari ketiga catatan kritis ini?
Baca juga: Manifestasi Revitalisasi Pendidikan Vokasi
Tiga pesan pertanian dan vokasi
Di pengujung Juni 2022, penulis menghadiri pertemuan yang diinisiasi Bank Indonesia untuk mendiskusikan kondisi ekonomi Indonesia. Pertemuan yang mengumpulkan para akademisi dan peneliti ini mengingatkan penulis pada medio 2007 ketika bertemu dengan Prof Sajogyo (Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia) dan bertanya tentang sejumlah hal seputar pembangunan pedesaan. Akhir dari pertemuan tersebut, almarhum mengatakan, ”Indonesia dapat bangkit ekonominya dan bisa menjadi negara maju apabila mengenal dengan benar potensi pedesaan.”
Pernyataan yang sarat makna ini memberikan tiga pesan penting untuk mengenal dengan benar obyek ataupun subyek sektor pertanian.
Pertama, struktur Indonesia terdiri atas desa-desa yang tipologi sumber nafkah masyarakatnya bergantung pada pertanian. Sebanyak 73,14 persen dari total desa adalah desa pertanian.
Fakta ini menunjukkan bahwa bangunan struktur ekonomi Indonesia adalah ekonomi pedesaan berbasis pertanian yang mampu menciptakan pemerataan pembangunan. Dengan demikian, kesejatian pembangunan Indonesia adalah pembangunan pertanian.
Simaklah dengan baik bagaimana sektor ini kembali menunjukkan ketangguhannya saat dunia dan Indonesia terpapar wabah Covid-19? Hanya sektor pertanian yang mampu memberikan angka pertumbuhan ekonomi yang positif dibandingkan dengan sektor lain.
Kedua, sumber daya utama penggerak pembangunan pertanian adalah kaum muda di pedesaan. Sekadar mengingatkan kembali ramalan Prof Sajogyo tentang golongan muda desa yang terus bertambah disertai perbaikan akses pendidikan tinggi. Dengan demikian, ke depan dibutuhkan pendidikan vokasi pertanian untuk mempersiapkan kaum muda desa yang memiliki ketangguhan, keterampilan, dan keahlian yang spesifik.
Merefleksikan situasi hari ini, apa yang disampaikan Prof Sajogyo benar terjadi. Perlahan dan pasti Indonesia memasuki bonus demografi, di mana populasi angka usia produktifnya akan lebih banyak dibandingkan dengan angka usia nonproduktif.
Ketiga, pembangunan pertanian berbasis industrialisasi pedesaan. Makna industrialisasi pedesaan bukan membangun pabrik dan mendatangkan investasi masuk desa untuk mengeksploitasi potensi sumber daya pertanian.
Makna industrialisasi pedesaan adalah memberikan nilai tambah (added value) terhadap komoditas agromaritim sehingga desa dan warganya sejahtera. Keterbatasan akses lahan, teknologi, dan modal bukan hambatan sebagai penggerak industrialisasi pedesaan.
Sebaliknya, prinsip industrialisasi pedesaan bekerja melalui pengonsolidasian dan pengorganisasian kaum muda desa ke dalam satuan skala usaha ekonomi pertanian yang menguntungkan. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan membutuhkan aksi pemberdayaan yang didukung dengan teknologi inklusif. Bukan sebaliknya, membuka investasi masuk desa tanpa adanya kontrol dan partisipasi dari desa dan warganya.
Makna industrialisasi pedesaan adalah memberikan nilai tambah ( added value) terhadap komoditas agromaritim sehingga desa dan warganya sejahtera.
Dari tiga pesan di atas, penulis menggarisbawahi tentang kebutuhan instrumen yang mampu mempertautkan potensi kaum muda dengan industrialisasi pedesaan. Adapun instrumen yang dimaksud ialah pendidikan vokasi yang berorientasi transformasi sumber daya pemuda di pedesaan.
Dengan mempertimbangkan struktur demografi dan ekonomi, serta potensi pasar konsumsi pangan yang fantastis di pedesaan, seyogianya pendidikan vokasi fokus mempersiapkan tenaga kerja dari kaum muda sehingga anak-anak muda Indonesia menjadi tenaga kerja yang andal dan terampil mengawal pembangunan pertanian berbasis industrialisasi pedesaan.
Pendidikan vokasi harus fokus menyusun kurikulum yang memberikan pemahaman holistik dan terampil kepada kaum muda tentang proses yang terjadi di hulu, budidaya, dan hilir di sektor pertanian. Kurikulum vokasi juga harus mampu mencetak anak-anak muda Indonesia memproduksi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan warga desa.
Demikian halnya penguasaan praktik digitalisasi teknis, sosial, dan ekonomi harus ditekuni dengan serius. Sebab, era digital merupakan keniscayaan pembangunan masa depan. Tak lupa kurikulum tentang manajemen partisipatif investasi masuk desa dibutuhkan agar industrialisasi pedesaan tetap berpihak kepada kesejahteraan desa dan warganya.
Akhirnya, melalui vokasi (baik jalur formal maupun informal), mitigasi bencana pengangguran dan kemiskinan yang dihadapi kaum muda Indonesia dapat teratasi. Dengan demikian, tidak ada lagi pseudo group yang mudah dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis. Semoga!
Sofyan Sjaf Sosiolog Pedesaan IPB University.