Pelindungan Pekerja Migran Indonesia: Menggantang Asap
Moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia hanya semacam obat pereda nyeri terhadap permasalahan pekerja, tidak mengobati penyakit utamanya. Moratorium harus diikuti langkah konkret untuk melindungi pekerja migran.
Oleh
SALI SUSIANA
·4 menit baca
Membaca berita dicabutnya moratorium pekerja migran Indonesia ke Malaysia (diberlakukan per 13 Juli 2022) dan penempatan pekerja migran ke negara itu akan kembali dibuka per 1 Agustus 2022 (Kompas, 1 Agustus 2022) memunculkan perasaan waswas dan pesimistis. Bukan rahasia lagi jika hingga kini permasalahan terkait pekerja migran Indonesia masih terus muncul, mulai dari gaji, pemutusan hubungan kerja, hingga kekerasan seksual, bahkan pembunuhan.
Permasalahan pekerja migran Indonesia tidak hanya menjadi urusan pemerintah, tetapi juga DPR. Selain pelaksanaan fungsi legislasi melalui revisi undang-undang tentang pelindungan pekerja migran Indonesia, fungsi pengawasan dilakukan dengan membentuk Tim Pengawas Penanganan Pekerja Migran Indonesia sejak 2010. Pembentukan tim ini dipicu banyaknya pekerja migran yang telantar di bawah Jembatan Kandara, Jeddah, dan Sareh Mansur, Mekkah, Arab Saudi.
Tahun berikutnya (2011), pemerintah melakukan moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke beberapa negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Larangan ini hanya berlaku untuk pekerja sektor informal seperti pekerja rumah tangga.
Tahun 2015 kembali diterbitkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Ada 19 negara yang disebut dalam peraturan tersebut, yaitu Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Jordania. Sama dengan sebelumnya, moratorium ini juga berlaku untuk pengiriman pekerja migran Indonesia di sektor informal. Lalu bagaimana dengan Malaysia?
Permasalahan pekerja Indonesia di Malaysia
Belum lama ini Koalisi Buruh Migran Berdaulat, gerakan masyarakat sipil yang peduli dengan isu pemenuhan dan pelindungan hak-hak buruh migran Indonesia, menyatakan, selama tahun 2017 hingga 2022 ada 149 pekerja migran yang meninggal dalam tahanan Imigrasi Malaysia. Temuan ini seolah melengkapi banyaknya kasus yang menimpa pekerja migran yang bekerja di negara itu.
Berbeda dengan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi, moratorium ke Malaysia sudah dilakukan pada Juni 2009 dan pengiriman pekerja ke negara itu baru dimulai lagi pada Desember 2011. Meskipun demikian, menurut pendapat penulis, moratorium hanyalah semacam obat pereda nyeri terhadap permasalahan pekerja migran Indonesia, hanya obat sementara tetapi tidak mengobati penyakit utamanya.
Moratorium hanyalah semacam obat pereda nyeri terhadap permasalahan pekerja migran Indonesia, hanya obat sementara tetapi tidak mengobati penyakit utamanya.
Dari hasil kunjungan lapangan di Malaysia yang dilakukan oleh Tim Pengawas DPR tahun 2017, antara lain ditemukan bahwa pekerja migran yang paling banyak menghadapi masalah adalah pekerja sektor domestik, pekerja nonprosedural/tidak melalui jalur resmi, dan adanya kecurangan yang dilakukan oleh agen di Malaysia yang melakukan pemotongan gaji. Pada saat itu, Dubes RI untuk Malaysia sudah mengusulkan diberlakukannya moratorium, terutama untuk pekerja migran sektor domestik, untuk mencegah terjadinya berbagai permasalahan pekerja migran Indonesia, terutama pekerja migran ilegal/nonprosedural.
Namun, moratorium yang telah lama diusulkan itu baru dilakukan lima tahun kemudian. Ironisnya, ketika baru berlaku 18 hari, tiba-tiba moratorium dicabut kembali. Ada apa di balik pencabutan ini, memunculkan tanda tanya. Apakah waktu yang sangat singkat ini telah cukup dimanfaatkan untuk membenahi semua pengiriman pekerja migran ke negara tersebut dan menjamin bahwa ke depan pelindungan pekerja migran Indonesia di negara jiran ini lebih baik?
Efektifkan pengawasan
Pemerintah melalui Menaker menjanjikan bahwa pencabutan moratorium ini akan diikuti langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan implementasi yang menyeluruh, khususnya penerapan one channel system (OCS) sebagai satu-satunya mekanisme perekrutan dan penempatan pekerja migran Indonesia di Malaysia dengan mengintegrasikan sistem daring (online) yang dikelola Perwakilan Indonesia di Malaysia dan Departemen Imigrasi Malaysia. Selain itu, akan ada proyek percontohan (pilot project) selama tiga bulan sebelum sistem OCS diberlakukan sepenuhnya, untuk memastikan kelancaran aplikasi sistem terintegrasi.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana memastikan bahwa OCS akan dapat berjalan sesuai harapan dan memberikan pelindungan maksimal bagi pekerja migran Indonesia? Menurut Scott (1996), sebuah sistem terdiri dari input, processing, dan output. Agar sebuah sistem berjalan sesuai yang diinginkan, ketiga unsur tersebut harus berfungsi optimal.
Dalam konteks penempatan pekerja migran Indonesia, input tersebut adalah data tentang pekerja. Hingga kini, masalah data belum terselesaikan sepenuhnya. Masih ada pekerja migran Indonesia yang berangkat dengan memalsukan umur, alamat, bahkan KTP. Bagaimana mungkin akan diperoleh output yang maksimal jika input-nya saja sudah tidak valid.
Hal yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap sistem ini. Apakah kedua negara memiliki posisi yang setara untuk melakukan pengawasan? Bagaimana pula dengan DPR? Apa yang dapat dilakukan lembaga legislatif untuk mengawasi penerapan OCS ini?
Peran dari civil society tentu juga diperlukan. Tampaknya pengawasan dari semua pihak menjadi kata kunci agar OCS ini dapat berjalan maksimal sehingga pelindungan terhadap pekerja migran Indonesia, khususnya yang bekerja di Malaysia, tidak sekadar menjadi sebuah upaya menggantang asap.
Sali Susiana, Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR; Anggota Tim Pendamping Tim Pengawas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia DPR Tahun 2022