Permasalahan Permenkominfo No 5/2020 menunjukkan tumpang tindih kebijakan digital di beragam kementerian dan lembaga di Indonesia. Perlu dialog, kerja sama, dan konvergensi tata kelola terkait isu digital antar- K/L.
Oleh
SHERLY HARISTYA
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Aturan registrasi bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat mengundang perdebatan publik dan polemik. Muncul trending topic #BlokirKominfo di media sosial dan petisi online yang memprotes peraturan Kominfo tersebut.
Beragam kelompok masyarakat sipil yang bergerak di isu digital terus mengumpulkan data terkait dampak yang dirasakan masyarakat dari aturan registrasi dan pemblokiran PSE yang belum mendaftar. Beberapa di antaranya pembungkaman kebebasan berekspresi dan privasi masyarakat, terganggunya akses masyarakat untuk bermain gim daring(online), dan bahkan menganggu akses masyarakat bertransaksi secara daring serta ekonomi digital di Indonesia.
Tanpa mengecilkan kesulitan yang dialami oleh beragam pihak yang terdampak oleh Permenkominfo No 5/2020, artikel ini bertujuan melihat sisi lain dan pelajaran yang bisa diambil dari permasalahan ini. Pertama, mengenai tantangan dan kebutuhan di dalam menghadirkan peraturan yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan kebebasan berekspresi dan kepentingan publik di Indonesia. Kedua, tantangan dan kebutuhan di dalam berdialog dan berkoordinasi agar Indonesia memiliki tata kelola digital yang terkonvergensi lintas kementerian dan lembaga (K/L).
Lawrence Lessig, profesor di bidang hukum dan kepemimpinan di Harvard Law School, menyajikan suatu kerangka berpikir yang bisa membantu kita memahami kompleksitas dan interaksi dari pihak-pihak yang bisa memengaruhi/meregulasi internet dan kehidupan kita. Beliau menyatakan bahwa ada empat elemen yang bisa mengatur Internet, yaitu laws, social norms, markets, dan architecture.
Secara singkat, yang dimaksud dengan laws adalah hukum dan regulasi dari pemerintah serta standar-standar yang berlaku di level internasional. Social norms bisa terlihat dalam bentuk ekspekstasi, dorongan, atau bahkan cibiran yang diberikan oleh masyarakat. Markets ialah harga dan ketersediaan dari suatu produk digital. Sementara architecture ialah bagaimana teknologi digital (seperti melalui pemrosesan data pribadi dan algoritma dari perusahaan teknologi digital) membentuk perilaku penggunanya.
Semua elemen di atas saling berinteraksi di dalam memengaruhi pengaturan internet dan membentuk perilaku dan kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana empat elemen tersebut memengaruhi kebebasan berekspresi dan keamanan publik di Indonesia?
Dinamika dari elemen-elemen di atas dapat terlihat di dalam Pemilu 2019. Di tengah begitu berlimpahnya konten abu-abu yang beredar di media sosial di Indonesia (social norms dan market), pada waktu itu Indonesia tidak siap dengan regulasi yang rigid guna menangani amplifikasi dan dampak dari konten problematik tersebut (laws). Sementara itu, perusahaan-perusahaan media sosial global pun tidak sepenuhnya mengerti atau bahkan tidak sigap di dalam memoderasi konten problematik yang teramplifikasi di Indonesia (architecture).
Perwakilan media sosial di Indonesia enggan menurunkan konten yang berada di area abu-abu seperti itu atas alasan melindungi kebebasan berekspresi.
Riset yang dilakukan Oxford Internet Institute (OII) di 2020 dan 2019 menunjukkan bahwa hari-hari tersebut semakin banyak konten problematik di Indonesia yang diproduksi oleh buzzer dan akun-akun otomatis untuk memanipulasi lanskap informasi daring guna kepentingan pihak-pihak tertentu.
Mereka dengan amat hati-hati berusaha membuat konten yang seakan-akan mempromosikan demokrasi, kebebasan berekspresi, dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tetapi sebenarnya efeknya memojokkan grup yang berseberangan dan memelihara polarisasi di tengah masyarakat (Sastramidjaja, Berenschot, Wijayanto, dan Fahmi, 2021).
Tegangan dan polarisasi di tengah masyarakat yang tidak terselesaikan semenjak Pemilu 2012 terus berlangsung lewat sirkulasi disinformasi terkait sentimen anti-China dan antikomunis di Pemilu 2019. Riset ”Content Moderation and Local Stakeholders in Indonesia” yang penulis lakukan bersama dengan organisasi kebebasan berekspresi Article 19 dan UNESCO menemukan bahwa perwakilan media sosial di Indonesia enggan menurunkan konten yang berada di area abu-abu seperti itu atas alasan melindungi kebebasan berekspresi. Akan tetapi, akhirnya sejarah mencatat bahwa Pemilu 2019 berakhir dengan kerusuhan yang dipicu oleh disinformasi dan sentimen anti-China.
Regulasi konten daring di Indonesia juga tidak siap di dalam menangani fenomena penyebaran disinformasi seperti ini. Pasal 27-29 dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendefinisikan kategori konten yang dilarang secara terlalu luas. Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Transaksi dan Sistem Elektronik dan Permenkominfo No 5/2020 adalah usaha lebih lanjut dari Kemkominfo untuk meregulasi konten daring.
MARINA EKATARI
Pemerintah terus berupaya memberantas konten perjudian atau situs judi daring atau online. Sebanyak 15 situs judi online sempat mendaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Akan tetapi, regulasi-regulasi tersebut tetap hadir dengan definisi konten daring problematik yang terlalu luas dan tidak ada prosedur detail guna penanganan konten-konten yang dianggap bermasalah tersebut. Kelompok masyarakat sipil menggarisbawahi bahwa pengaturan luas seperti ini dapat mencederai kebebasan berekspresi.
Selain peraturan pendaftaran PSE, ada pula beragam pasal lain di Permenkominfo No 5/2020 yang juga dianggap sebagai praktik otoritarinisme digital Pemerintah Indonesia guna membungkam opini yang berseberangan. Pasal 9 ayat 3 mengatur PSE harus memastikan bahwa sistem elektronik mereka tidak mengandung informasi atau dokumen elektronik yang dilarang atau memfasilitasi penyebaran konten yang dilarang tersebut.
Kelompok masyarakat sipil menggarisbawahi bahwa pengaturan luas seperti ini dapat mencederai kebebasan berekspresi.
Akan tetapi, pasal tersebut tanpa transparansi proses moderasi konten yang dilakukan media sosial sebenarnya adalah pedang bermata dua bagi Indonesia. Sebagai contoh, perwakilan Komnas Perempuan mengungkapkan kepada penulis di dalam suatu kesempatan wawancara bahwa materi edukasi antikekerasan yang disiarkan langsung oleh organisasi tersebut ke satu media dihapus oleh platform tersebut. Mereka menduga bahwa sistem moderasi konten otomatis dari media sosial terkait ”berpikir” bahwa video tersebut mempromosikan kekerasan.
Konvergensi tata kelola internet
Permasalahan Permenkominfo No 5/2020 ini lebih lanjut menunjukkan tumpang tindih kebijakan digital di beragam K/L di Indonesia. Permenkominfo No 5/2020 ternyata juga memengaruhi regulasi platform digital yang dilakukan oleh kementerian lain. Platform gaming Steam yang terkena blokir akibat belum mendaftar kepada Kominfo, sebelumnya ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak pada November 2020 menjadi salah satu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa digital yang dijualnya kepada pelanggan di Indonesia.
Realitas di atas menegaskan kebutuhan bagi beragam K/L di Indonesia untuk melakukan dialog, kerja sama, dan konvergensi tata kelola terkait isu digital yang dilakukan tiap-tiap institusi.
Khususnya terkait konten daring, beragam K/L seharusnya bisa berkoordinasi dan berdialog dengan masyarakat luas mengenai bagaimana menarik garis batas antara melindungi kebebasan berekspresi, tanpa kebablasan kebebasan tersebut bisa membahayakan kepentingan publik. Hal ini mengingat konten problematik di media sosial itu amat banyak, mulai dari isu terkait demokrasi, kesehatan, lingkungan, pelindungan anak dan perempuan, konten terkait terorisme, dan beragam bidang kehidupan lainnya. Tidak mungkin Kominfo atau satu institusi mana pun mampu mengerti semua permasalahan di kehidupan di Indonesia.
Kebutuhan koordinasi dan konvergensi tata kelola digital juga nyata di isu pelindungan data pribadi (PDP) yang adalah tulang punggung untuk Indonesia mencapai pertumbuhan inovasi dan ekonomi digital yang berkesinambungan. Studi yang dilakukan penulis bersama dengan Yayasan Tifa di tahun ini juga sudah memperingatkan Indonesia untuk siap dengan model dialog dan koordinasi antara otorita PDP dan beragam K/L menjelang pengesahan Undang-Undang PDP.
Pemerintah Indonesia harus meningkatkan kapasitasnya di dalam meregulasi TIK secara holistis. Hal ini agar Indonesia dapat mewujudkan ekosistem yang kondusif guna pertumbuhan ekonomi dan inovasi digital yang aman dan berkesinambungan bagi masyarakat Indonesia.
Sherly Haristya, Peneliti Independen Isu Tata Kelola Internet, Moderasi Konten, dan Pelindungan Data Pribadi.