Kewirausahaan Berbasis Komunitas untuk Citayam Fashion Week
Sebenarnya Citayam Fashion Week dapat dikelola menjadi kewirausahaan berbasis komunitas dengan bantuan pemerintah dan keterlibatan para pemangku kepentingan untuk mendukung Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan.
Oleh
DANTHY MARGARETH
·5 menit baca
Di awal kemunculannya, Citayam Fashion Week kerap mendapat cibiran karena lahir dari para remaja ”SCBD” (istilah pelesetan untuk Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok) yang senang berpenampilan nyentrik dan berlenggak-lenggok di atas zebra cross kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Aksi ini dianggap merusak pemandangan dan menurunkan kasta area bisnis Sudirman yang high class menjadi tak berkelas.
Namun siapa sangka, Citayam Fashion Week (CFW) justru viral di media sosial dan mencuri perhatian publik. Mulai dari artis, selebgram, model profesional, gubernur, hingga para petinggi Bank Investasi Eropa ikut penasaran dan turut menjajal zebra cross Dukuh Atas yang menjadi ”panggung” peragaan busana CFW, dengan memakai kostum andalan masing-masing.
CFW sukses menjadi antitesis citra fashion week dan kawasan Sudirman yang selama ini eksklusif menjadi inklusif. Tua, muda, kaya, dan miskin menikmatinya bersama-sama di ruang ketiga Jakarta yang menerima keberagaman dan perbedaan.
Alih-alih membubarkan kegiatan tersebut, sudah saatnya pemerintah turun tangan merancang sebuah roadmap untuk membantu mengelola CFW. Pasalnya kehadiran CFW bak pisau bermata dua. Ada dampak buruk yang timbul jika tidak dikelola.
Pertama, menjadi peluang bagi para pihak yang memiliki kapital besar untuk menguasai dan meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Kedua, sebagai ajang kampanye terselubung nilai-nilai yang bertentangan dengan agama dan moral bangsa. Ketiga, mengganggu ketertiban umum. Keempat, lingkungan tercemar karena sampah. Kelima, munculnya persoalan-persoalan sosial baru, seperti peningkatan angka remaja putus sekolah karena mereka lebih senang berada di CFW dan ingin sukses seperti beberapa remaja yang menjadi ikon CFW.
Namun di balik sisi suram tersebut, CFW juga menyimpan segudang potensi. CFW menggerakkan roda ekonomi kreatif dan UMKM.
Namun di balik sisi suram tersebut, CFW juga menyimpan segudang potensi. CFW menggerakkan roda ekonomi kreatif dan UMKM. Mulai dari pedagang minuman bersepeda ”starling” (“Starbucks” keliling), penjaja makanan kaki lima, pelaku industri fashion, hingga kreator kontenmeraup rezeki karena CFW telah menciptakan pasar baru.
CFW juga telah mengangkat produk-produk fashion lokal dan berpeluang menjadi poros baru fashion Indonesia yang lahir dari street style komunitas suburban. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bahkan mengatakan, CFW dapat dijadikan destinasi urban tourism di Jakarta (Kompas TV, 17/7/2022).
Kewirausahaan berbasis komunitas
Salah satu wujud pengelolaan CFW yang dapat dilakukan adalah melalui pembentukan kewirausahaan berbasis komunitas (community based enterprise). Executive Director at Center for Entrepreneurship, Change, and Third Sector (CECT) sekaligus Founder MM Sustainability Trisakti Maria R Nindita Radyati PhD pada laman MM Sustainability menjelaskan community enterprise adalah lembaga wirausaha yang dimiliki oleh komunitas tertentu, yang didirikan dengan tujuan menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi sehingga kepemilikannya pada anggota dan oleh anggota, jadi mempunyai prinsip koperasi.
Lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Sustainable Business dan Corporate Social Responsibility (2015), Maria mengemukakan bahwa community enterprise merupakan wujud dari creating sustainable livelihood, yakni menciptakan mata pencarian yang berkelanjutan. Masyarakat dibantu dan didampingi untuk menyelesaikan persoalan sosial melalui kegiatan bisnis dan menjadikan masyarakat sebagai pemilik bisnis.
Dalam kaitannya dengan CFW, perlu dibentuk sebuah organisasi yang dimiliki oleh komunitas remaja ”SCBD”.
Dalam kaitannya dengan CFW, perlu dibentuk sebuah organisasi yang dimiliki oleh komunitas remaja SCBD. Tujuannya untuk mengakomodasi kreativitas dan potensi yang mereka miliki, lalu dibina dan dikelola menjadi kegiatan bisnis yang dapat dinikmati oleh seluruh anggotanya. Kegiatan bisnis ini dirancang tidak bersifat sesaat (hanya menghasilkan uang pada saat viral) dan menjadi mata pencarian yang berkelanjutan. Tentu output kegiatan diharapkan mampu mengatasi persoalan sosial ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik.
Pembentukan community based enterprise ini nanti dapat menjadi showcase yang menginspirasi daerah-daerah lain dalam mengatasi permasalahan serupa dan menjadi inisiasi yang selaras dengan program Pemerintah Indonesia ”Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan” (SDGs).
Mengutip laman SDGs Indonesia, SDGs adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan, yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan (no one left behind).
Keterlibatan pemangku kepentingan
Ada pihak yang berpendapat sebaiknya negara dan orang-orang di luar CFW jangan terlalu ikut campur karena dikhawatirkan akan menyebabkan CFW ini mati muda. Menurut penulis, justru sebaliknya. Jika CFW ingin diwadahi dalam suatu community based enterprise, pemerintah justru memiliki peran penting dan strategis.
Mengapa? Karena fenomena CFW ini lahir di ruang publik dan fasilitas umum di mana pemerintah memegang kendali atasnya dan mempunyai otoritas untuk mengembangkannya. Sementara para remaja SCBD yang masih relatif muda ini memiliki berbagai keterbatasan. Mereka hanya bermodalkan semangat berkreativitas dan mimpi untuk menjadi sukses tanpa dibekali dukungan dana, perangkat, pengetahuan, dan jaringan yang memadai.
Sebaliknya, pemerintah memiliki kekuatan dari hulu ke hilir untuk menggerakkan sektor-sektor terkait sebagai pemangku kepentingan untuk membantu mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut. Misalnya untuk masalah pembiayaan dan pembinaan, pemerintah dapat bersinergi dengan sektor swasta dan BUMN melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Pemerintah juga dapat berkolaborasi dengan kalangan akademisi dan organisasi nirlaba guna melakukan kajian, perumusan, dan pelaksanaan konsep program community based enterprise yang tepat.
Secara sederhana pada konteks CFW, pemerintah beserta dengan komunitas remaja SCBD dan para pemangku kepentingan dapat dianalogikan sebagai sebuah hubungan keluarga. Pemerintah berperan sebagai orangtua yang membimbing dan mendukung kreativitas anak-anaknya. Sementara para pemangku kepentingan berperan sebagai kakak yang membantu mewujudkan cita-cita adik mereka (komunitas SCBD). Ketiganya bahu-membahu mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Danthy Margareth, Praktisi Sustainable Communication; Alumnus MM-Sustainability Universitas Trisakti
BIODATA PENULIS
Nama : Danthy Margareth
Lahir : Jakarta, 22 Maret
e-mail : margarethdanthy@gmail.com
Pekerjaan : Praktisi Sustainable Communication dan Penulis Lepas
Pendidikan : S-1 Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi