Wong cilik Indonesia tidak membutuhkan hafalan dan pengetahuan untuk toleran. Rakyat kecil itu ”cerdas” justru karena ”bodoh” karena tidak mau mempagankan atau mengafirkan orang.
Oleh
JEAN COUTEAU
·4 menit baca
Di Indonesia, akibat agamaisasi pendidikan yang berlangsung sejak Orde Baru, di kalangan terdidik, agama cenderung mengambil bentuk formal, sarat dengan hafalan kitab-kitab suci.
Hal ini, tentu saja, dapat bermuara pada toleransi, tetapi kerap juga pada kebalikannya, menurut mood orang yang bersangkutan atau kadar pengertiannya atas kompleksitas agamanya. Alhasil, toleransi modern cenderung terlahir dari kecanggihan tafsir. ”Orang lain” diterima di dalam keberbedaannya.
Wong cilik Indonesia tidak membutuhkan hafalan dan pengetahuan untuk toleran. Rakyat kecil itu ”cerdas” justru karena ”bodoh” karena tidak mau mempagankan atau mengafirkan orang atas dasar kutipan-kutipan kitab yang keburu-buru ditelan. ”Kebodohan cerdas” ini bersifat cukup umum pada bangsa ini. Misalnya, di pedalaman Bali sulit membuat pak tani menyakini bahwa agama-agama berbeda.
”Semua agama adalah agama air, agama tirta,” pernah berkata ngotot seorang petani ”bodoh” kepada saya. Begitulah: ngotot tidak ada perbedaan karena tidak mau melihat perbedaan yang ada. Itulah tradisi indah.
Tradisi seperti ini tidak hanya ditemui di Bali. Saya menyaksikannya pada kesempatan lawatan ke Yogya baru-baru ini. Di situ memang ada budaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Yang menarik karena tidak mau menghilangkan keadiluhungan masa lalu atas nama tafsir sementara. Tetapi, tak kalah menarik adalah ragam toleransi yang dapat ditemukan di tenggara Yogya, yaitu di Gunung Kidul.
Pada lawatan itu, kami, yaitu saya dan istri, ditampung di rumah teman di jantung daerah berbatu karang yang tandus. Begitu bermukim di tempat itu satu hari, kami diberi tahu ada tempat menarik tidak jauh dari rumah inapan kami: konon tempat persinggahan Sunan Kalijogo, mubalig tersohor pada abad ke-15 yang menyebarkan agama Islam, yang ketika itu masih ajaran baru di Jawa.
Ingin mengetahui apa yang ditinggalkan di petilasan tokoh besar Jawa Islam itu, kami langsung ke tempat yang ditunjuk. Siapa tahu, ada peninggalan historis, pikir saya. Namun, setelah sampai di tempat, tak ada bangunan, tak terlihat ada tanda kehadiran Islam apa pun di situ. Yang ada hanyalah pohon kamboja tua berbongkot bunga-bunga nan angker, dengan landasan bata merah. Lalu, apa terlihat berserakan di situ? Sesajen kering, tepat seperti kerap ditemukan di pura Bali. Mana mungkin tempat ”Islam”, pikirku.
Lalu, saya bertanya-tanya kepada penduduk, dan muncul ceritanya. Di situ kerap diselenggarakan kenduri untuk menjaga keberhasilan panen. Kala itu ada ”orang tua” datang, yang membacakan sesuatu di dalam bahasa ”kuno”. Bukan Arab, tetapi tidak juga dipahami khalayak. Jadi, pasti semacam bahasa Kawi. ”Kalau begitu, bukan tempat Islam?” tanya saya?
”Tetapi, kami memang semua Islam di sini,” jawab mereka serentak. Dan jawaban mereka diperkokoh oleh kehadiran kerumunan perempuan berjilbab di sekitarnya.
”Tempat ini betul-betul tempat Islam,” tambah mereka meyakinkan: ”persinggahan suci Sunan Kalijogo. Beliau dulu konon pernah mampir di sini. Pada waktu itu sudah Maghrib dan jamnya shalat. Maka, beliau meminta air untuk berwudu menjelang sembahyang. Tetapi tak diberikan—memang tidak ada air di situ karena tanah karst tidak bisa menahan air di permukaan—maka beliau langsung pergi meneruskan perjalanannya sampai ke desa di wilayah barat.”
”Dan di sana, apakah ada juga persinggahan Sunan Kalijogo?” tanya saya.
”Ada, tetapi kini sudah lain. Sudah dibangun masjid.”
Luar biasa, kan? Petilasan di atas adalah tempat yang sebenarnya menjalankan ritual pra-Islam, tetapi meskipun demikian, disebut Islam. Karena diimbuhkan nama Sunan Kalijogo. Artinya, kultus yang dilakukan di situ tidak ditolak, tetapi dirangkul. Tidak dibebani istilah seru seperti ”bid’ah”atau serupa. Dianggap bentuk spiritualitas Islam. Tidak dilarang atau bahkan diberantas seperti terlihat di beberapa negara.
Apakah toleransi ”orang bodoh” yang cerdas ini memperlemah posisi agama sendiri? Sebaliknya, di dalam situasi seperti di atas, Islam masuk secara integratif. Buktinya: di tempat petilasan satunya dibangun masjid. Di situ bukan nama saja yang diislamkan, tetapi praktik, atau tepatnya, kode religiusnya.
Semoga Indonesia senantiasa diberkahi oleh ”kebodohan yang cerdas” seperti di atas: senantiasa menekankan persamaan kendati kian dilabrak oleh perbedaan-perbedaan.