Gempuran Gaya dari ”Haradukuh”
Dukuh Atas adalah sebuah bukti nyata bahwa di era digital ini semua kalangan ingin eksis mengekspresikan diri lewat ”fashion”, diakui dan dilihat oleh khalayak ramai untuk kemudian hasilnya dipamerkan di media sosial.

-
Jakarta yang semakin genit berbenah diri ini memang merupakan kota trendsetter untuk berbagai industri kreatif, terutama fashion. Yes, siapa yang tak ingin tampil hits atau istilahnya make it in Jakarta’? Apalagi sekarang kita lihat banyak yang berfoto-foto di ruang publik yang memang disediakan untuk eksis. Semuanya demi tampilan OOTD (outfit of the day) di media sosial.
Bagi individu yang lahir, besar, sekolah, bekerja, dan berkeluarga di Jakarta, termasuk saya, mungkin tidak terlalu mengerti dengan keinginan untuk make it in Jakarta ini.
Kita bisa tanpa beban alias effortless mencapai dan melakukan apa yang kita inginkan karena memiliki karakter percaya diri yang kebanyakan hanya dimiliki oleh seseorang yang berasal dari kota metropolitan. Termasuk dengan pemilihan pakaian untuk diri sendiri. Istilahnya, anak Jakarta beda deh gaya fashion-nya dengan anak dari kota lain, selalu terdepan.
Namun, dalam dua bulan terakhir kita yang merasa sudah keren ini harus menerima kenyataan ada sekelompok orang dari luar Jakarta yang viral wara wiri di media sosial karena gaya berpakaian mereka.
Bagi orang-orang dari luar Jakarta, kadang kita sebutnya orang daerah, bisa eksis di kota ini ternyata merupakan sebuah prestasi. Nama Jeje, Bonge, dan Kurma jadi masuk telinga warga Jakarta. Meskipun di awal kita mengernyitkan dahi saat menyebutkannya, tapi harus diakui nama-nama itu sangat komersial dan mudah diingat. Bahkan akibat dari keviralan ini, salah satu dari mereka langsung diajak oleh sebuah mal ternama untuk ikut dalam peragaan busana. Luar biasa, kan?
Tapi mengapa Dukuh Atas sebagai tempat eksistensi? Jawabannya sangat sederhanya, karena akses mudah menuju ke sana. Stasiun Sudirman merupakan commuter line yang sempurna untuk mereka yang datang tak hanya dari Citayam, tapi juga Bojonggede, Bogor, dan lainnya.
Area ini dalam beberapa tahun terakhir juga terbukti menjadi melting pot pelaku ekonomi kreatif (ekraf) diawali dengan keberadaan Terowongan Kendal yang menjadi cool dan instagramable. Suasana di sana pun tidak intimidating bagi yang datang, humble dan merakyat.
Puluhan tahun sudah bekerja di industri fashion Tanah Air, membuat ”mata” dan setiap sel yang ada di raga saya ini sangat sensitif dengan taste berpakaian seseorang. Saya datang ke Dukuh Atas untuk melihat langsung dan ngobrol dengan beberapa remaja bahkan ada yang dari Indramayu. Bayangkan, pulang sekolah mereka langsung mengganti baju seragam, dandan, lalu naik kereta sekitar 2 jam untuk ke area ini. Ada yang bersama teman-teman, ditemani tetangga atau juga keluarganya.

Anak-anak muda berada di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Sabtu (30/7/2022). Dukuh Atas yang dibangun sebagai kawasan terintegrasi dengan konektivitas publik kini memunculkan fenomena fashion jalanan yang dijuluki Citayam Fashion Week.
Jujur, saya cukup terkesan dengan pilihan benda fashion dan padu padan kasualpara remaja laki-laki dan perempuan yang nongkrong di situ. Meskipun di antara pengunjung yang tersebar di jalanan itu, ada juga beberapa kelompok usia lebih tua yang sepertinya ikut-ikutan tidak ingin FOMO (fear of missing out, istilah anak sekarang) dengan konten viral ini yang ingin mencuri perhatian paparazzi dengan berpakaian tradisional lengkap dengan material brokat dan songket.
Melihat gaya ready to wear para remaja di situ sebenarnya merupakan angin segar di antara tampilan gaya berpakaian orang-orang yang saya jumpai di mal atau tempat lain di kota ini, yang kebanyakan masih wajib mengenakan sesuatu yang bermerek mahal.
Saya berpapasan dengan perempuan yang memadukan kaus oversized dengan bandana motif paisley berukuran segi empat yang diikat di leher serta celana denim model palazzo lebar. Ada juga yang memakai cropped top dipasangkan dengan bomber jacket dan rok selutut. Di sudut lain ada remaja laki-laki yang menyematkan rantai di kantong celana pendeknya dengan kaus kaki yang ditarik ke atas. Sepatu kebanyakan sneakers, bukan yang bermerek terkenal mahal, melainkan desain dan warna yang dipilih menarik dan menyatu dengan total look.
Di pojok lain ada yang mengenakan kaus dan celana jins biasa, tapi di tangan kanannya pakai fingerlessglove berbahan wol dengan tambahkan rangkaian gelang manik-manik. Sangat kreatif.
Ada juga yang pakai kaus polos dengan kemeja flanel sebagai luaran dipadankan dengan topi cap dan kalung panjang dengan pendant dirancang menyerupai sebuah jari jempol yang putus lengkap dengan tetesan cat merah seolah menyerupai darah! Agak horror, sih, ya, tapi itulah bagian dari ekspresi diri berpakaian.
Saat ditanya apakah mereka tidak kepanasan mengenakan jaket atau sweater yang material sebenarnya dirancang untuk melindungi kulit dari cuaca dingin di negara empat musim? Jawabannya, ”Ya, panas, sih, Kak. Tapi gak apa-apa, aku suka.” Oke deh....
Rambut juga ditata dengan menarik sesuai usia yang kebanyakan di usia sekolah menengah hingga universitas awal. Ada yang dicat tiga warna sehingga menjadi stand out di crowd dan ada juga yang memilih potongan-potongan pendek. Kacamata hitam dengan frame aneka warna seolah menjadi pelengkap wajib yang membikin keseluruhan penampilan jadi totalitas.
Inspirasi styling mereka ambil dari mana-mana. Ada yang dari pemain bola, ada yang dari tokoh tenar di daerahnya, bahkan ada yang menyebut inspirasi berasal dari diri sendiri. Jawaban yang cukup pede (percaya diri) mengingat mereka tidak ada latar belakang fashion sama sekali.
Yang sangat menarik, hampir semua menjelaskan bahwa benda-benda fashion tersebut dibeli di pasar! Saya pikir beli di pasar Senen Jakarta yang memang terkenal untuk mencari pakaian bekas dan kadang saya juga senang kunjungi untuk mencari inspirasi. Eh, ternyata tidak. Ini beneran di pasar lokal di daerah mereka tinggal.
Betapa cerdas untuk memiliki kemampuan memadupadankan benda fashion yang dibeli dengan harga murah menjadi sebuah tampilan sehari-hari yang tidak membosankan. Sebuah trik yang mungkin bagi kebanyakan orang Jakarta juga tidak ahli.
Apa yang kita lihat di Dukuh Atas adalah sebuah bukti nyata bahwa di era digital ini semua kalangan ingin eksis mengekspresikan diri lewat fashion , diakui dan dilihat oleh khalayak ramai untuk kemudian hasilnya dipamerkan di media sosial. That’s all..
Sehingga, demi kewarasan kita bersama tolong jangan semua keriaan yang berhubungan dengan fashion disebut fashion week,lho ya. Fashion week adalah ajang tahunan dengan jadwal kalender bulan yang pasti, yang awalnya berasal dari empat kota mode dunia (New York, London, Milan, Paris). Diperuntukkan bagi para desainer dan rumah mode yang berbisnis di kota tersebut, dalam rangka mengeluarkan koleksi terbarunya kepada media, buyers dan retailers. Jadi apa yang ada di Dukuh Atas jelas bukan sebuah fashion week.

Aksi melompat diperagakan anak-anak muda yang sedang membuat konten di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Sabtu (30/7/2022). Dukuh Atas yang dibangun sebagai kawasan terintegrasi dengan konektivitas publik kini memunculkan fenomena fashion jalanan yang dijuluki Citayam Fashion Week.
Sebenarnya Pemprov DKI bisa langsung menjadikan keviralan ini permanen karena sebenarnya bagus juga untuk pariwisata, Kampanyekan saja area ini sebagai hub khusus untuk mereka yang ingin bergaya nyeleneh. Terbuka bagi semua lapisan masyarakat dari daerah mana pun bisa eksis di sini meskipun sebaiknya dilakukan di akhir pekan saja. Sebab gerah juga lama-lama warga Jakarta yang setiap hari harus menyetir ke arah Thamrin jadi terhambat.
Jakarta lewat Dukuh Atas bisa seperti di kota-kota keren dunia yang memiliki area spesifik mengekspresikan diri lewat fashion macam Carnaby Street di London atau Harajuku di Tokyo. Sehingga kalau besok-besok di Dukuh Atas kita menyaksikan ada yang pakai rok bervolume superlebar inspirasi dari ondel-ondel warna mentereng dipadankan dengan headpiece sunting dari Jawa, ya, kita bisa maklum.
Pertanyaan selanjutnya, apakah eksistensi anak-anak yang demenfashion ini bisa dipindahkan ke area lain di Jakarta? Mungkin saja, asal area itu tetap sesuai dengan kemampuan gaya hidup mereka. Akses mudah dan murah, serta energi yang ada di area itu bukan fake. Ingat saja bahwa kelompok orisinal yang mengawali kehebohan ini adalah mereka yang membeli pakaian di pasar.
Khairiyyah Sari
Konsultan Mode, Mantan Editor Mode