Riset dunia Oxford Economics menunjukkan risiko stagflasi Indonesia relatif rendah dibandingkan Filipina, China, India, Malaysia, Brasil, Polandia, dan Turki.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Stagflasi mengancam ekonomi global. Meski risiko Indonesia mengalami stagflasi di 2022 dinilai rendah, kita tetap perlu waspada dan mengantisipasi kondisi terburuk di 2023.
Sampai saat ini, semua pihak, termasuk Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas, masih meyakini kecil peluang Indonesia mengalami resesi atau stagflasi. Roda perekonomian relatif bergerak kencang, ditopang antara lain ekspor komoditas yang harganya melonjak di pasar global.
Perbaikan ekonomi domestik masih berlanjut, tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) masih tumbuh 15,4 persen (yoy), Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur tetap ekspansif dan menguat di level 51,3 pada Juli 2022. Kinerja sektor jasa dan intermediasi lembaga jasa keuangan pun terus meningkat. Demikian pula kinerja fiskal membaik.
Riset dunia Oxford Economics menunjukkan risiko stagflasi Indonesia relatif rendah dibandingkan Filipina, China, India, Malaysia, Brasil, Polandia, dan Turki. Survei Bloomberg menempatkan Indonesia di peringkat ke-14 dari 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi, dengan risiko resesi hanya 3 persen.
Kita mengapresiasi kerja keras pemerintah dan otoritas moneter/keuangan dalam menavigasi ekonomi domestik agar tetap berdaya tahan, lewat bauran dan berbagai instrumen kebijakan, di tengah situasi sulit global yang membuat banyak negara maju goyah dan negara berkembang bertumbangan.
Namun, dengan perkembangan dan dinamika riil global yang terus memburuk dengan cepat, kita diingatkan untuk tetap waspada, tak cepat berpuas diri. Sejumlah kalangan melihat risiko stagflasi masih mengancam Indonesia di 2023.
Risiko yang dihadapi Indonesia terutama adalah jika perekonomian-perekonomian terbesar dunia terus memburuk. AS secara teknis sudah mengalami resesi, dengan pertumbuhan negatif dua triwulan terakhir berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi China praktis berhenti akibat kebijakan Covid-zero policy. Kondisi Uni Eropa juga tak lebih baik.
Terpuruknya perekonomian besar membuat risiko resesi/stagflasi global kian di depan mata. Melemahnya ekonomi global, terutama China, mengurangi permintaan akan barang ekspor dari Indonesia seperti komoditas dan energi, sebagai penopang utama resiliensi ekonomi Indonesia sejauh ini.
Di luar ekspor, lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti investasi masih positif. Namun, kenaikan suku bunga yang lebih cepat di AS untuk meredam inflasi dapat memukul Indonesia lewat eksodus modal dan tekanan nilai tukar yang bisa mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan.
Melemahnya ekonomi global, terutama China, mengurangi permintaan akan barang ekspor dari Indonesia, seperti komoditas dan energi, sebagai penopang utama resiliensi ekonomi Indonesia sejauh ini.
Tak kalah penting, daya beli masyarakat juga mulai tergerus dengan terus merangkak naiknya inflasi. Berdasarkan data BI, konsumsi dan investasi menyumbang 84,09 persen pertumbuhan PDB kuartal I (konsumsi 53,65 persen), dan ekspor 23,10 persen.
Menghadapi hard landing ekonomi global yang dapat berdampak katastropik, respons dan prioritas kebijakan untuk meredam dampak dari berbagai kemungkinan saluran transmisi menjadi penting. Termasuk desakan agar ruang fiskal bisa dimanfaatkan untuk mendorong daya beli masyarakat. Pemerintah telah menjanjikan APBN akan terus berperan sebagai shock absorber demi menjaga momentum pertumbuhan dan melindungi kelompok rentan.