Berdasarkan Pasal 85 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2021, data registrasi kendaraan bermotor akan dihapus permanen jika pemilik menunggak pajaknya hingga dua tahun. Hal ini upaya meningkatkan kepatuhan wajib PKB.
Oleh
HARYO KUNCORO
·4 menit baca
Implementasi Pasal 85 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2021 tampaknya kian serius. Berdasarkan regulasi ini, data registrasi kendaraan bermotor akan dihapus secara permanen jika pemilik menunggak pajaknya hingga dua tahun.
Ketentuan yang merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan itu niscaya membawa implikasi pada penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB). Obyek pajak lama yang semestinya masih bisa digarap dan menjadi sumber potensial pemasukan dengan sendirinya akan hilang.
Potensi hilangnya sumber PKB selama ini disiasati dengan pemberlakuan kebijakan pemutihan pajak terutang dan/atau pembebasan sanksi/denda PKB di beberapa provinsi. Strategi pemutihan memang bisa menaikkan penerimaan. Wajib PKB memanfaatkan pemutihan guna menyelesaikan kewajibannya.
Namun, di balik kebijakan pengampunan itu juga terkandung efek bumerang. Skema pemutihan pada dasarnya bisa menciptakan perilaku sembrono (moral hazard). Wajib pajak daerah hanya akan patuh dengan menunggu skema pengampunan berikutnya. Kejadian ini agaknya berulang di setiap tahun dan di setiap daerah.
Tunggakan PKB lima tahun terakhir angkanya fantastis.
Tesis di atas sepertinya mendekati kenyataan. Tunggakan PKB lima tahun terakhir angkanya fantastis. Hingga Desember 2021 terdapat 40 juta (39 persen) dari 103 juta kendaraan yang tercatat di Kantor Bersama Samsat belum melunasi kewajiban pembayaran pajaknya.
Jika ditelusur per wilayahnya, tunggakan terbesar ada di Jawa. Jawa Barat Rp 18 triliun, disusul Jawa Timur Rp 16 triliun, Jawa Tengah Rp 13 triliun, dan DKI Jakarta Rp 9 triliun. Seandainya mereka mendaftar ulang, ada potensi penerimaan PKB sekitar Rp 100 triliun.
Di satu sisi, tingginya tunggakan PKB menunjukkan kinerja pemungutan pajak daerah belum optimal. Rasio perpajakan daerah masih berkutat di kisaran 1,2-1,4 persen. Ini rasio total penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik bruto. Angka itu jauh lebih rendah dari negara berkembang sepantaran (peer).
Padahal, PKB merupakan sumber andalan bagi penerimaan pajak pemerintah daerah provinsi yang kemudian dibagihasilkan dengan pemerintah daerah kota/kabupaten. Selama lima tahun terakhir, kontribusi PKB mencapai 26 persen dari total penerimaan pajak daerah di seluruh Indonesia.
PKB diharapkan juga bisa jadi penyangga di kala UU Hubungan Keuangan Pusat Daerah (HKPD) telah menyederhanakan beberapa pajak daerah dan retribusi daerah. Simplifikasi pajak dan retribusi ini menyebabkan pemerintah daerah kehilangan sumber pendapatan.
Oleh karena itu, PKB diharapkan jadi salah satu tumpuan pemda di saat penerimaan dana alokasi umum (DAU) dari pusat mengalami ketidakpastian. UU HKPD juga menghapus ketentuan 26 persen dari penerimaan dalam negeri harus dialokasikan dalam bentuk DAU.
Namun, harapan pemda atas kenaikan penerimaan dari PKB tampaknya jauh panggang dari api. Skema opsen (perluasan pungutan) tarif PKB tak signifikan menambah penerimaan, sedangkan penghapusan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) tidak berkontribusi nyata terhadap pendapatan.
Di sisi lain, tingginya tunggakan PKB juga jadi cerminan tak sinkronnya koordinasi antarregulator. PKB adalah satu-satunya pajak daerah yang melibatkan banyak pihak. Di situ ada kepolisian, dinas perhubungan, pemda, dinas pendapatan daerah (provinsi, kota/kabupaten), Jasa Raharja, para wajib PKB.
Setiap instansi, uniknya, memiliki data berbeda. Sistem pangkalan data yang belum terintegrasi menyebabkan perbedaan jumlah kendaraan. Data per 31 Desember 2021 milik Polri mencatat 148 juta kendaraan, Kemendagri mencatat 112 juta, sementara Jasa Raharja ”hanya” 103 juta kendaraan.
Terlepas dari data mana yang diacu, angka ini menyiratkan besarnya potensi penerimaan PKB.
Kesadaran wajib pajak
Terlepas dari data mana yang diacu, angka ini menyiratkan besarnya potensi penerimaan PKB. PKB per definisi adalah pajak daerah. Pajak daerah mengacu pada obyek pajak yang tak mudah bergerak. Artinya, registrasi kendaraan bermotor merujuk ke kepemilikan yang berbasis pada domisili sesuai KTP. Wajib PKB tak bisa membayar kewajiban pajaknya ke pemerintah daerah lain.
Dengan demikian, secara teoretis, PKB merupakan sumber penerimaan yang ada dalam jangkauan pemda yang bersangkutan. Jelasnya, tak bakalan ada penghindaran (avoidance) atau penggelapan (evasion) PKB.
Penghindaran atau penggelapan hanya terjadi semata-mata karena ketidakpatuhan si wajib PKB itu sendiri. Alhasil, implementasi peraturan di atas merupakan upaya alternatif untuk meningkatkan kepatuhan wajib PKB. Skema hukuman (punishment) berupa penghapusan registrasi sekaligus mendorong penerimaan daerah.
Implementasi peraturan itu semestinya menjadi momentum untuk koordinasi di antara beberapa instansi tadi. Integrasi sistem data, misalnya, akan mempermudah setiap instansi menyiapkan langkah yang lebih antisipatif alih-alih kebijakan parsial atas dasar tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Implementasi aturan itu diharapkan juga menjadi wahana pembangkitan kesadaran wajib PKB. Tunggakan PKB sudah dengan sendirinya menunjukkan sikap ”dikotomi” wajib PKB antara kepemilikan kendaraan dan kewajiban pembayaran PKB sebagai konsekuensi fiskal yang harus mereka tanggung.
Cerita dikotomi agaknya juga berlaku pada lingkup sosial. Mereka mampu membeli kendaraan, tetapi ”tidak mampu” menyediakan garasi untuk kepentingan kendaraannya itu. Alhasil, mereka ”mengandangkan” kendaraannya di trotoar atau di jalan umum depan rumah yang menyerobot hak pengguna lain. Apakah kasus seperti ini juga perlu pemutihan atau penghapusan registrasi PKB?
Haryo Kuncoro Guru Besar FE UNJ, Direktur Riset SEEBI Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat