Otopsi Ulang dan Kredibilitas Penyidikan
Walau KUHAP tak menentukan otopsi dilakukan di instansi tertentu, baru sekitar 20 tahun ini Polri membuat kebijakan otopsi dilakukan di RS Polri. Citra dan kredibilitas Polri dipertaruhkan terkait masalah imparsialitas.
Isu otopsi ulang terkait kasus kematian Brigadir J meluas di masyarakat. Meski demikian, pemahaman tentang makna otopsi ulang belum terlalu dikenal sehingga menimbulkan banyak spekulasi dan narasi beragam.
Dalam suatu peristiwa pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, penyidik akan meminta ahli kedokteran forensik melakukan otopsi. Hasil otopsi dituangkan dalam surat keterangan ahli yang disebut visum et repertum, yang menyimpulkan jenis kekerasan, sebab kematian, dan cara kematian korban.
Keterangan ahli memiliki posisi strategis karena bisa menentukan arah penyidikan, arah tuntutan jaksa, dan keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonis. KUHAP menentukan fungsi keterangan ahli adalah untuk membuat terang suatu perkara dengan dua syarat utama, yaitu kualitas dan kredibilitas.
Kualitas keterangan ahli ditentukan kemampuan kognitif dokter forensik dan kepatuhannya mengikuti standar profesi.
Kualitas keterangan ahli ditentukan kemampuan kognitif dokter forensik dan kepatuhannya mengikuti standar profesi. Seorang dokter forensik tak hanya harus menguasai patofisiologi penyakit dan biomekanika kecederaan, tetapi juga kritis dalam menentukan hubungan kausalitas antara kecederaan yang terjadi pada tubuh dan kematian korban.
Kompetensi dokter forensik diperoleh melalui pendidikan spesialisasi berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah (scientific). Dengan melibatkan dokter forensik dalam penyidikan, penyidik telah melakukan scientific crime investigation.
Kredibilitas keterangan ahli sangat diperlukan sistem peradilan karena akan menentukan apakah dalam perkara tertentu suatu keterangan ahli dapat diterima (admissible) untuk dijadikan alat bukti sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP.
Kredibilitas keterangan ahli ditentukan imparsialitas (ketidakberpihakan) dokter forensik yang melakukan otopsi. Nalar publik (common sense) tetap melihat tindakan otopsi dapat saja bias walau dokter telah disumpah. Asumsi bias dalam nalar publik akan mengganggu kepercayaan pada penyidikan dan menimbulkan ketidakpercayaan (public distrust).
Imparsialitas dokter forensik untuk mencegah ketidakpercayaan publik ditentukan integritas dokter forensik dan detachment (keberjarakan). Pendidikan kedokteran forensik senantiasa menekankan integritas pada para calon dokter forensik dan prinsip imparsialitas dalam sidang pengadilan.
Namun, kualitas dan integritas saja tak cukup mencegah public distrust, dokter forensik harus tampil dan tampak detach (berjarak) dengan segala faktor yang berpotensi mengganggu imparsialitas.
Jika dalam hukum dikenal prinsip the law must be fair and seem to be fair (hukum itu harus adil dan tampak adil), maka dalam penyidikan dikenal prinsip the investigation must be impartial and look impartial (penyidikan harus imparsial dan tampak imparsial).
Dokter forensik yang berada di institusi kepolisian memiliki problematik serius dalam masalah keberjarakan ini karena mereka attach (melekat) dengan penyidikan sehingga tak tampak imparsial. Hal inilah yang bisa mendorong masyarakat meminta dilakukan otopsi ulang, dan bukan karena kualitas otopsinya.
Imparsialitas dokter forensik untuk mencegah ketidakpercayaan publik ditentukan integritas dokter forensik dan detachment (keberjarakan).
Konsep otopsi ulang memiliki makna reexamination (memeriksa kembali), reconsideration (mempertimbangkan kembali), reevaluation (mengevaluasi kembali), dan reassessment (menilai kembali).
Perihal otopsi ulang ini KUHAP Pasal 180 (4) mengatur dengan rumusan ”.... dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personel yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu...”. Rumusan ini bisa diartikan ada masalah pada kualitas dan/atau imparsialitas pada dokter forensiknya dan/atau instansi tempat dilakukan otopsi awal.
Walaupun otopsi ulang dilakukan oleh personel yang berbeda dengan melibatkan instansi lain, dokter forensik yang melakukan otopsi ulang tetap harus dikredensial kompetensi dan imparsialitasnya. KUHAP tak mengatur sistem voir dire yang menginvestigasi lebih dalam untuk memastikan kompetensi dan imparsialitas ahli.
Dalam hal otopsi ulang didasari masalah detachment, kita dapat membedakannya menjadi hierarchical detachment (keberjarakan hierarkis) dan functional detachment (keberjarakan fungsional). Keberjarakan hierarkis terjadi apabila ada hubungan kepangkatan di mana pangkat yang lebih rendah harus patuh terhadap pangkat yang lebih tinggi.
Didie SW
Dalam sistem kemiliteran atau semimiliter, kepatuhan ini dilaksanakan dengan ketat, dikawal sanksi disiplin bagi pelanggarnya. Walau seorang dokter forensik tetap memiliki integritas, bayang-bayang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh atasan dokter forensik tak mungkin hilang dari benak publik. Masyarakat akan memiliki persepsi berbeda jika dokter forensik itu bebas (detached) dari sistem hierarki di tempat otopsi.
Keberjarakan fungsional terjadi apabila ahli berada dalam satu posisi dengan penyidik.
Dalam proses peradilan pidana, sesuai dengan fungsinya, penyidik berada pada posisi diametral (berseberangan) dengan tersangka, sedangkan ahli (dokter forensik) berada pada posisi impartial (berada di tengah). Jika dokter forensik berada satu atap dengan penyidik, sangat wajar apabila publik, terutama para pihak yang beperkara, memiliki bermacam-macam spekulasi yang menghilangkan kepercayaan terhadap proses peradilan.
Problematik keberjarakan
Walaupun seolah tampak sepele, isu hierarchical dan functional detachment ini sangat berpotensi menjadi batu sandungan dan penyulit dalam proses penyidikan dan persidangan. Citra dan kredibilitas institusi penyidikan, penuntutan, dan hakim dipertaruhkan. Problematik detachment dapat berpotensi dilakukan otopsi secara tak saintifik sehingga mengganggu kualitas keterangan ahli walau sebenarnya dokter forensiknya memiliki integritas dan kompetensi yang baik.
Baca juga: Transparansi Polri Dinanti dalam Pengungkapan Kasus Brigadir J
Problematik detachment bisa mengganggu proses persidangan melalui dua modalitas, secara material maupun formal. Secara material, para pihak dalam persidangan tak menyadari adanya masalah (kurangnya) kualitas keterangan ahli akibat problematik detachment.
Hal ini mengakibatkan kasus yang sebenarnya sederhana menjadi sulit dibuktikan karena berkurangnya atau terdistorsinya data dan informasi kasus. Terjadi kesenjangan dan lompatan-lompatan logika kausalitas (hubungan sebab-akibat) antara perbuatan terdakwa dan kematian korban.
Kedua, secara formal pihak terdakwa senantiasa berhak meminta dilakukan otopsi ulang karena otopsi dan pemeriksaan forensik tidak look impartial. Kedua hal ini dapat mempersulit jaksa dalam persidangan, dan mempersulit hakim dalam menjatuhkan vonis.
Otopsi dan otopsi ulang
Walau KUHAP tak menentukan otopsi dilakukan di instansi tertentu, baru sekitar 20 tahun belakangan ini Polri membuat kebijakan otopsi dilakukan di RS Polri. Penyidik mengalihkan sebagian besar permintaan otopsi dari RS pemerintah ke RS Polri. Hanya sebagian kecil otopsi dilakukan di RS non-Polri, itu pun hanya kasus kematian tunawisma yang tak dikenal.
Selama puluhan tahun sebelum tahun 2000, otopsi dilakukan di berbagai rumah sakit di Indonesia. Saat itu ekshumasi dan otopsi ulang dilakukan penulis karena alasan kualitas: jenazah sudah dikuburkan sebelum diotopsi atau otopsi yang kurang memenuhi standar.
Tak pernah dilakukan otopsi ulang karena alasan imparsialitas karena otopsi tak dilakukan di RS Polri. Pertanyaannya, sampai kapan kebijakan otopsi dilakukan di RS Polri ini akan dipertahankan karena masyarakat sudah semakin kritis.
Herkutanto, Guru Besar dan Praktisi Kedokteran Forensik dan Medikolegal UI