Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang
Sejak pembahasan PP Ekraf dilaksanakan, masalah paling alot adalah penilaian aset KI yang layak dijadikan obyek jaminan utang. Harus diakui, komersialisasi KI memang belum dimanfaatkan masyarakat secara optimal.
Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekraf), pembahasan mengenai Kekayaan Intelektual (KI) di media massa terus bergulir.
Topik pembahasan semakin hangat, terlebih setelah dikaitkan dengan adanya kemungkinan konten YouTube digunakan sebagai jaminan utang. Dalam ulasan di beberapa media, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian memberikan tanggapan akan mengkaji kelayakan konten YouTube sebagai jaminan utang
Menanggapi hal ini, OJK melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengonfirmasi setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang harus diperhatikan terkait hal ini. Pertama, masalah valuasi KI. Kedua, ketersediaan secondary market. Ketiga, appraisal untuk likuidasi HKI. Keempat, infrastruktur hukum eksekusi HKI (Kompas.com, 23 Juli 2022).
Sebelum mengelaborasi lebih jauh, penggunaan terminologi hak kekayaan intelektual (HKI) dan KI dalam tulisan ini digunakan bersamaan karena sebagian referensi yang dirujuk masih menggunakan terminologi yang berbeda dengan PP Ekraf yang menggunakan singkatan KI secara konsisten. Penulis mengikuti masih adanya perbedaan pendapat dari para ahli dalam hal ini, tetapi dalam tulisan ini, lebih menyesuaikan pada PP Ekraf.
Topik pembahasan semakin hangat, terlebih setelah dikaitkan dengan adanya kemungkinan konten Youtube digunakan sebagai jaminan utang.
Aset KI bernilai ekonomi
Sejak pembahasan PP Ekraf dilaksanakan, baik dalam forum diskusi kelompok terpumpun (DKT) maupun dalam pembahasan rapat panitia antarkementerian, boleh disebut pembahasan paling alot adalah penilaian aset KI yang layak dijadikan obyek jaminan utang.
Alotnya pembahasan terhadap hal ini dapat dipahami karena bagi lembaga keuangan sebagai pemberi kredit, sangat penting memastikan KI yang dijadikan obyek jaminan dapat dieksekusi apabila suatu saat penerima kredit gagal bayar atau wanprestasi.
Atas dasar inilah, Pasal 7 PP Ekraf menetapkan bahwa selain memiliki surat pencatatan atau sertifikasi KI, untuk bisa mengajukan skema pembiayaan berbasis KI pelaku ekraf harus pula mengajukan proposal pembiayaan; memiliki usaha ekonomi kreatif; dan memiliki perikatan terkait KI ekonomi kreatif.
Ditegaskan pula bahwa dalam pelaksanaan skema pembiayaan berbasis KI, lembaga keuangan bank dan nonbank menggunakan KI sebagai obyek jaminan utang. Bukan hanya dalam bentuk jaminan fidusia atas KI, melainkan juga harus mengikutkan kontrak dalam kegiatan ekraf dan/atau hak tagih dalam kegiatan ekraf.
Dalam kaitan dengan KI yang dijadikan obyek jaminan, PP Ekraf menetapkan bahwa KI harus sudah tercatat atau terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Terkait pencatatan KI yang diwajibkan dalam PP Ekraf, memang agak berbeda dengan ketentuan pencatatan terhadap hak cipta, yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh UU Hak Cipta. Pencatatan hak cipta, tidak seperti pendaftaran KI lainnya (contoh paten, merek, desain industri) yang menggunakan pendaftaran sebagai alas hak. Namun, karena ini terkait pembiayaan ekonomi kreatif, maka di dalam PP Ekraf, pencatatan KI jadi salah satu syarat yang harus dipenuhi.
Selain syarat harus tercatat dan terdaftar di instansi berwenang, syarat lain yang tidak kalah penting adalah aset yang dijadikan sebagai obyek jaminan adalah KI yang sudah dikelola baik secara sendiri atau dialihkan kepada pihak lain. Kepastian bernilai ekonomi di sini sangat penting karena sebagai jaminan pembiayaan, tentu saja tidak cukup dalam bentuk kepemilikan sertifikat saja, tetapi KI harus bernilai ekonomi.
Penggunaan frasa aset KI bernilai ekonomi dalam subjudul ini boleh jadi memang kurang pas karena pada hakikatnya KI yang dilindungi mengandung hak moral dan hak ekonomi. Namun, fakta menunjukkan bahwa proses pendaftaran atau pencatatan KI banyak dilakukan semata-mata bertujuan membatasi pemanfaatan KI oleh pihak lain, bukan untuk mengoptimalkan nilai ekonominya.
Selain syarat harus tercatat dan terdaftar di instansi berwenang, syarat lain yang tidak kalah penting adalah aset yang dijadikan sebagai obyek jaminan adalah KI yang sudah dikelola, baik secara sendiri maupun dialihkan kepada pihak lain.
Dalam praktik penilaian aset, dikenal beberapa pendekatan dalam penilaian KI, antara lain pendekatan biaya, pendekatan pasar, dan pendekatan pendapatan. Untuk mengantisipasi perkembangan dalam penilaian KI di masa mendatang, PP Ekraf menambahkan pendekatan penilaian lainnya sesuai standar penilaian yang berlaku.
Penilaian atau valuasi terhadap suatu obyek jaminan sangat tergantung pada keyakinan penilai karena masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal tertentu, misalnya penilaian bisa menggunakan pendekatan pasar, tapi untuk hal yang lain, justru lebih tepat menggunakan pendekatan penilaian yang lain.
Penentuan KI yang bernilai hanya dapat ditentukan oleh orang atau kelompok orang yang mempunyai kompetensi dalam melakukan penilaian dan juga harus memiliki izin sebagai penilai publik di Kementerian Keuangan. Dalam PP Ekraf, ditetapkan bahwa penilai KI juga harus terdaftar di Kementerian Parekraf/Badan Parekraf.
Selain penilai KI, PP Ekraf juga membuka kemungkinan penilaian KI dilakukan oleh panel penilai, yaitu sekelompok orang yang ditunjuk lembaga keuangan. Perbedaannya dengan penilai KI terletak pada pembentukannya.
Penilai KI merupakan bagian dari profesi penilai publik yang keberadaannya tidak terkait langsung atau bukan dibentuk oleh lembaga keuangan. Sementara, panel penilai merupakan komite kredit yang melakukan penilaian aset sebelum lembaga keuangan memutuskan dan memastikan pemberian kredit/pembiayaan.
Perlu ditekankan di sini, mengingat KI sebagai aset tidak berwujud (intangible) yang memang memiliki kerumitan tersendiri dalam penilaiannya—tidak seperti penilaian aset yang berwujud (tangible aset), misalnya properti—maka dalam PP Ekraf kompetensi di bidang KI sangat dibutuhkan. Ini untuk memastikan hasil penilaian yang dilakukan penilai KI kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga bisa meyakinkan lembaga keuangan untuk menerimanya sebagai obyek jaminan.
Saat ini di Indonesia sudah ada lembaga yang diakui pemerintah untuk melakukan penilaian terhadap aset yang akan dijadikan jaminan. Sudah pula ada Asosiasi Profesi Penilai yang kita kenal dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Asosiasi ini terdaftar dan berada dalam pembinaan Kementerian Keuangan. MAPPI melakukan penilaian terhadap aset berdasarkan Standar Penilaian Indonesia yang diterbitkan MAPPI.
Dalam SPI, disebutkan secara garis besar penilaian dibagi menjadi dua bagian: penilaian aset properti dan penilaian aset bisnis. Penilaian KI dimasukkan dalam kategori atau bagian penilaian aset bisnis.
Dalam perkembangannya, SPI yang diterbitkan MAPPI telah mengalami beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan kemajuan dalam penilaian aset secara nasional dan internasional. Dalam kesempatan berdiskusi dengan pengurus dan anggota MAPPI, diakui bahwa penilaian aset KI masih jarang dilakukan karena permintaan dari lembaga keuangan terhadap hal tersebut juga sangat minim.
Baca juga: Penggunaan HKI sebagai Jaminan Kredit Bank Butuh Regulasi Tambahan
Babak baru pemanfaatan KI
Harus diakui, komersialisasi KI memang belum dimanfaatkan secara optimal di kalangan masyarakat kita. Penulisan buku, misalnya, sering kali dilakukan lebih pada kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi. Perlindungan terhadap KI lainnya (paten, merek, desain industri) juga tidak jauh berbeda.
Singkatnya, saat ini masyarakat kita masih cenderung lebih mengutamakan perlindungan atas hak moral dibandingkan hak ekonomi, Padahal pemanfaatan KI merupakan hasil dari proses kreativitas dan inovasi sumber daya manusia (SDM) yang makin meningkat penguasaannya di bidang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi.
Oleh karena itu, sebagai salah satu negara maju, pemanfaatan KI yang lebih signifikan dan masif seyogianya menjadi orientasi dan kecenderungan masyarakat kita. Sebagaimana antusiasme masyarakat menyambut penetapan dan pengundangannya, PP Ekraf diharapkan merupakan babak baru untuk lebih mengoptimalkan KI dalam meningkatkan kesejahteraan pelaku ekraf.
Kehadiran PP Ekraf ini diharapkan dapat mengubah paradigma dan orientasi masyarakat yang sebelumnya lebih memperhatikan aspek hak moral, menjadi mengoptimalkan pula aspek ekonomi KI yang dimilikinya.
Optimisme itu harus ditumbuhkan meskipun sangat disadari bahwa masih banyak perangkat yang harus dilengkapi untuk memastikan skema pembiayaan berbasis KI yang merupakan ”roh” utama pengaturan PP Ekraf, nantinya dapat diterapkan dengan baik. Ini demi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan pelaku ekraf pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Menyadari hal ini, dalam Pasal 41 PP Ekraf ditetapkan bahwa PP Ekraf ini berlaku satu tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu 12 Juli 2023. Optimisme dalam mengoptimalkan pemanfaatan KI, menjadi babak baru dalam upaya mengarusutamakan ekonomi kreatif dalam pembangunan dan perekonomian nasional.
Sabartua Tampubolon, Direktur Regulasi, Kemenparekraf/Baparekraf RI