Agar Percaya kepada Buku Pemerintah
Buku pelajaran dari pemerintah seharusnya berkualitas sangat bagus sebab didukung anggaran yang mumpuni untuk penulis, editor, penelaah, dan sebagainya. Namun kenyataannya tak selalu demikian.
Mestinya kita gembira menyambut tahun ajaran baru. Sebab, tahun ajaran baru itu ibarat tahun-baru yang harus dirayakan. Belum lagi sebelum menyambut tahun ajaran baru, kita telah menghabiskan waktu untuk berlibur dan bersenang-senang.
Namun, itu hanya impian tukang cendol, terutama bagi orang miskin. Hal itu tak berlebihan sebab pada tahun ajaran baru, orangtua akan dipusingkan dengan berjuta pengeluaran tak wajar. Ada untuk seragam, uang pembangunan, dan uang sekolah, belum lagi uang ”aneh” untuk para ”calo sekolah” .
Di atas kertas, pendidikan kita memang sudah gratis sampai 12 tahun. Dan, bagi pemerintah, hal itu sudah beres. Namun, pada kenyataannya, itu jauh dari kata beres. Kalaupun beres, pengertian pendidikan gratis di kita lebih condong kepada pendidikan mental gratisan, sekolah apa adanya, amburadul, dan memprihatinkan.
Baca juga: Menggenjot Kualitas Pendidikan Kaum Pinggiran
Artinya, sekolah itu hanya untuk formalitas. Peruntukan sekolah begini pun hanya untuk mengeluarkan ijazah, bukan mendidik. Maka, jika ingin mencari sekolah yang mendidik, kita harus mengeluarkan duit yang banyak. Selalu ada harga untuk sebuah kualitas.
Bisnis buku pegangan siswa menjadi salah satu contoh aktual. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa buku menjadi lahan empuk untuk meraup untung. Maka itulah, meski pemerintah sudah menggratiskan buku dari pusat, sekolah tertentu masih banyak yang lebih memilih buku lain. Alasannya adalah buku keluaran pemerintah tidak bagus. Padahal, sekolah yang bagus harus memakai buku pedoman dan pegangan yang bagus.
Semakin terbuktikan
Dilihat dari proses pembuatan buku pemerintah, seharusnya kualitasnya sangat bagus. Sebab, mereka mempunyai anggaran yang mumpuni untuk penulis, editor, penelaah, dan sebagainya. Karena itu, tak sepantasnya kita meragukan mutu buku karya pemerintah. Karena itu pula, semestinya sekolah swasta harus lebih memilih buku pemerintah daripada masih membeli buku dari terbitan lain. Sebab, penulis buku dari terbitan lain tak selalu bagus. Mereka tidak mempunyai dana yang mumpuni.
Namun, belakangan ini semakin terbuktikan bahwa buku terbitan pemerintah tak selalu bagus. Meski penelaahnya orang-orang terdidik, sering kali ketelitiannya tak teruji, malah main-main. Dalam hal ini, benar jika sekolah lebih percaya kepada buku terbitan di luar pemerintah.
Namun, ke depan, kita juga tak perlu terlalu polos menyikapi kenyataan tersebut sehingga sekolah-sekolah menjadi lebih liar untuk mengambil buku dari terbitan lain. Pasalnya, jika dibiarkan, ini akan melahirkan pembenaran bahwa buku yang digratiskan pemerintah (buatan pemerintah) memang tak layak. Apakah itu benar? Boleh jadi.
Buku terbitan pemerintah tak selalu bagus. Meski penelaahnya orang-orang terdidik, seringkali ketelitiannya tak teruji, malah main-main.
Namun, apakah tim penyusun buku dari pemerintah akan selalu sedemikian bodohnya sehingga bukunya akan selalu kalah jauh dari buku lain. Dikatakan kalah jauh sebab meski sudah gratis, tetapi tetap saja sekolah lebih memilih buku lain yang bahkan sangat mahal?
Di sinilah kita perlu jangan terlalu berpolos hati. Sudah bukan rahasia lagi bahwa adanya sekolah tertentu—dan itu konon katanya dilakukan atas nama keberbobotan buku—lebih memilih buku ”mahal” bukan karena alasan mutu, melainkan karena buku ”mahal” itu bisa menjadi lahan bisnis. Buku itu bisa menjadi tempat percukongan.
Buku itu bisa menjadi sumber uang kantong. Beda dengan buku gratis dari pemerintah. Oknum-oknum di sekolah tidak bisa membuatnya menjadi barang dagangan sehingga uang masuk pun tidak ada. Kejujuran saya mengungkapkan kenyataan ini bukan sesuatu yang berlebihan, bukan hal baru, dan sudah pasti bukan kibul-kibulan.
Baca juga: Kebebasan Aturan Buku Pelajaran Patut Dipertimbangkan
Indikatornya sangat sederhana, yaitu lihatlah fakta kekinian di lapangan di mana kepala sekolah dan guru tidak perlu lagi repot-repot mendatangi toko-toko buku untuk mendapatkan buku-buku pelajaran yang bagus. Beragam penerbit akan aktif mendatangi sekolah dan mempromosikan buku terbitan mereka.
Masing-masing penerbit akan menawarkan diskon yang beragam. Sales penjual buku bahkan akan mencoba menarik hati para guru atau kepala sekolah dengan bisnis kongkalikong. Di sinilah akal bulus dikonversikan menjadi fulus.
Mudah-mudahan guru dan kepala sekolah masih menimang kualitas. Bagaimana kalau sebaliknya, guru dan kepala sekolah hanya tertarik kepada ”rabat”, ”diskon”, bahkan hitung-hitungan persenan dari sales buku? Atau yang lebih parah, bagaimana kalau kepala sekolah malah memonopoli “diskon”, “rabat”, dan persenan itu dengan cara memilihkan buku dari penerbit tanpa meminta pertimbangan dari guru pengampu?
Bagaimana pula guru akan mengajar menyenangkan jika mengajar dengan bukan buku pilihannya? Inilah yang kelak akan merugikan siswa karena pembelajaran tak lagi bermutu. Ini juga akan merugikan siswa dari segi finansial.
Saya pernah mendengarkan keluh kesah orangtua atas hal ini. Dia menyekolahkan anaknya jauh-jauh dari desa ke kota. Dia berani menyekolahkan anaknya karena konon biaya pendidikan sudah gratis. Memang, belum gratis sempurna, tetapi biayanya sudah sangat minim.
Namun, dia kemudian mengumpat setengah menyesal. Sebuah umpatan yang tak berdaya karena tak ada yang mendengar. Ditanya ke sekolah, sekolah akan menjawab bahwa itu kebijakan sekolah dan itu dilakukan atas nama kualitas.
Bagi dia, praktis pendidikan gratis pun ternyata hanya kibul-kibulan. Uang pungutan masih sangat banyak, bahkan lebih banyak dari yang dia perkirakan, termasuk dari buku yang jumlahnya sampai jutaan.
Bagi dia, praktis pendidikan gratis pun ternyata hanya kibul-kibulan. Uang pungutan masih sangat banyak, bahkan lebih banyak dari yang dia perkirakan, termasuk dari buku yang jumlahnya sampai jutaan. Ini sesuatu yang tidak dia duga-duga sebab di kampung, setiap sekolah umumnya menggratiskan buku.
Baiklah, mari kita anggap itu hanya orangtua yang bernasib malang. Mungkin, tak banyak orangtua yang ”merasa” rugi karena percukongan. Mungkin juga, orangtua tak lagi peduli bahwa karena percukongan itu, maka yang dikayakan adalah guru dan kepala sekolah serta sales dan penerbit.
Namun, bagaimana kalau karena percukongan itu, buku amburadul masuk ke sekolah? Ini bukan sekadar masalah bagaimana karena buku, guru, kepala sekolah, sales, dan penerbit mendadak “kaya”. Ini masalah bagaimana karakter digadaikan, moral dijerumuskan, dan kualitas dinemorsekiankan.
Sebab, kita tak jarang lagi mendengar buku bermuatan porno dan radikalisme masuk ke sekolah. Pernah ada cerpen sensual masuk buku SD, pernah pula cerita ”proradikalisme” masuk SD. Saya bukan antibuku yang bukan dari pemerintah. Sebab, hegemoni buku akan mematikan kreativitas.
Dua hal
Selain itu, jujur saja, saya harus mengakui bahwa ada beberapa buku dari luar yang lebih bermutu, malah sangat banyak. Tetapi, bagaimana kalau guru dan kepala sekolah malah memilih buku yang lebih rendah mutunya dari buku terbitan pemerintah, lalu kita harus membelinya, sementara ada yang lebih baik dan itu gratis, tetapi tidak dipilih hanya karena tidak ada bonus fulus?
Nah, untuk menyikapi hal inilah kita harus mewaspadai para cukong buku. Sekali lagi, kita bukan menghambat buku-buku terbitan luar pemerintah masuk ke sekolah.
Kita hanya ingin agar cukong ini tidak meraup untung dengan cara menggadaikan mutu. Maka itu, dua hal ini perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus mengeluarkan imbauan bahwa buku yang boleh masuk ke sekolah adalah buku yang mendapat rekomendasi dari pemerintah. Mendapat rekomendasi bukan berarti harus terbitan pemerintah, buku siapa pun bisa mendapatkan rekomendasi.
Baca juga: Anak, Buku, dan Pandemi
Ini hanya masalah bahwa buku itu memang setara dan layak dimasukkan ke sekolah. Jangan hanya karena bisnis, maka buku abal-abal pun diterbitkan, oleh penerbit abal-abal pula. Jangan salah, kalau penerbit abal-abal menjanjikan rabat yang tinggi, buku itu akan jauh lebih laris manis.
Kedua, pemerintah harus mewajibkan bahwa buku itu harus terbitan buku ”besar”. Pengertian ”besar” di sini bahwa penerbit itu harus mempunyai tim editor internal yang profesional. Kalau ada penerbit ”kecil” (baca: baru), silakan, tetapi harus ditinjau dan diuji kelayakannya.
Persoalannya, setelah melihat berbagai buku terbitan pemerintah acap bermasalah, bagaimana pula kita masih bisa selalu percaya pada buku mereka? Karena itu, perlu cara baru bagi kita untuk merekrut tim penulis buku ajar, termasuk dari praktisi. Semoga!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan; Ketua P2G Humbang Hasundutan