Standar Ganda Jiran Serumpun
Moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia merupakan pilihan sulit bagi Indonesia yang masih berkutat dengan angka pengangguran yang tinggi. Moratorium ini juga menimbulkan persoalan baru bagi Malaysia.

Ilustrasi
Pemerintah akhirnya menghentikan sementara pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Malaysia terhitung mulai 13 Juli 2022. Negeri jiran tersebut dinilai tidak menghormati nota kesepakatan pelindungan PMI pada 1 April 2022.
Sebelumnya, kedua negara telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Penempatan dan Perlindungan PMI Sektor Domestik. Poin penting MOU adalah komitmen bersama menerapkan sistem satu kanal (one channel system/OCS) dalam merekrut dan penempatan pekerja migran di Malaysia.
Baru beberapa bulan berjalan, Malaysia ingkar janji. Hasil temuan KBRI di Kuala Lumpur, ternyata pemerintah setempat tetap menerapkan Sistem Maid Online (SMO) yang sangat ditentang Indonesia. SMO adalah sistem penerimaan pekerja migran melalui internet yang mengabaikan ketentuan pengiriman PMI, seperti kewajiban mengikuti pelatihan, adanya kontrak kerja, serta dokumen pendukung lainnya. Ketika masuk ke Malaysia, PMI cukup berbekal visa perjalanan yang kemudian dikonversi menjadi visa kerja.
Baca juga: Setelah Enam Tahun Digodok, Indonesia-Malaysia Sepakat Tingkatkan Perlindungan Pekerja Migran
Sistem Maid Online yang telah dilaksanakan sejak 2018 tersebut menjadi penyebab masuknya ribuan PMI secara ilegal ke negara itu. SMO adalah modus perdagangan manusia (human trafficking) yang mendapatkan ruang dalam perekrutan PMI ke Malaysia karena tidak ada standar yang diberlakukan.
Ketentuan tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang memuat syarat administrasi, hak, dan kewajiban para pihak serta perlindungan hukum.
Malaysia yang tetap bersikukuh menerapkan SMO membuat persoalan PMI tak kunjung tuntas. Sebab, Indonesia akan tetap kesulitan memberikan perlindungan karena tidak memiliki data terperinci keberadaan PMI di negara tersebut, terutama data jumlah pekerja, jenis pekerjaan, dan nama yang mempekerjakannya. Kebijakan SMO juga membatasi akses informasi ketika PMI menjadi korban kekerasan fisik dan perlakuan tidak adil dari majikan tempatnya bekerja.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani memperkirakan jumlah PMI di Malaysia saat ini 2 juta orang. Dari jumlah itu, 800.000 orang berangkat secara resmi dan sisanya, 1,2 juta orang, berangkat tidak resmi.

Sikap tegas Indonesia dipastikan menimbulkan persoalan baru bagi Malaysia. Pasalnya, negara ini juga sangat membutuhkan tenaga kerja asal Indonesia untuk menggerakkan perekonomiannya pasca-pandemi Covid-19. Lapangan usaha yang banyak menyerap PMI antara lain sektor perkebunan, konstruksi, Industri, dan pembantu rumah tangga. Dengan adanya moratorium pengiriman PMI diperkirakan Malaysia akan kekurangan sekitar 1,2 juta tenaga kerja.
Keputusan Indonesia menghentikan pengiriman pekerja migran mendapat tanggapan beragam dari warga Malaysia. Menteri Dalam Negeri Malaysia, Hamzah Zainudin dengan percaya diri mengatakan mereka akan mengambil pekerja dari negara lain jika Indonesia menghentikan pengiriman PMI. Malaysia mengklaim telah memiliki 15 negara pemasok pekerja migran yang siap menggantikan Indonesia.
Pernyataan Hamzah Zainudin tentu sangat disayangkan karena tidak menyelesaikan masalah. Tebersit kesan bahwa Malaysia tidak merasa bersalah atas pengingkaran kesepakatan 1 April 2022 tersebut.
Panas dingin persoalan PMI di Malaysia ibarat penyakit menahun yang sulit disembuhkan.
Panas dingin persoalan PMI di Malaysia ibarat penyakit menahun yang sulit disembuhkan. Dari akumulasi masalah, gesekan dapat meletup kapan saja. Posisi lemah sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan membuat PMI tidak memiliki posisi tawar.
Pekerja Migran Indonesia sering dianggap sebelah mata, terutama buruh kasar yang tidak memiliki kompetensi. Hingga kini mereka masih sering mendapat perlakuan kurang adil, seperti gaji yang tidak dibayar, jam kerja tidak sesuai ketentuan, dan kekerasan fisik dari majikan.
Perbedaan status sosial antara buruh dan majikan acapkali menjadi beban psikologis pekerja migran. Majikan dengan posisinya yang power full cenderung dapat berbuat apa saja. Ironisnya, perlakuan kurang baik tak hanya dialami PMI yang masuk nonprosedural, tetapi juga melalui jalur resmi.
Masih segar dalam ingatan betapa menyedihkannya peristiwa yang menimpa Adelina J Sau, asisten rumah tangga (ART) di Kuala Lumpur pada 2018. ART asal Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut meninggal setelah disiksa majikannya. Sebelumnya, ART yang badannya penuh luka dan terinfeksi itu dipaksa tidur di beranda rumah bersama anjing majikannya. Mirisnya, dalam putusan banding pada 23 Juni 2022 Mahkamah Agung Malaysia justru memutus bebas majikan yang menyiksanya.

Makam Adelina Sau di Desa Abi Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Regulasi lemah
Kasus yang dialami Adelina J Sau tentu hanya sepenggal kisah pilu yang menggugah emosi berkebangsaan. Adelina tidak sendirian menanggung nestapa karena ada banyak PMI lain yang juga bernasib tragis. Kerja paksa, disiksa, dan terisolasi dari dunia luar.
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyebutkan, hingga Juni 2022 berdasarkan negara penempatan, pengaduan PMI terbanyak adalah Malaysia, yaitu 293 pengaduan dari 1.019 pengaduan (28,75 persen). Kasus yang dialami cukup beragam, dari overstay (pelanggaran izin tinggal), beban kerja terlalu berat, hingga perdagangan orang. Sayangnya, lembaga ini tidak melaporkan secara detail berapa jumlah PMI yang babak belur disiksa hingga meninggal di negara tersebut.
Terlepas soal perilaku manusia, terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap PMI di Malaysia tak dapat dipisahkan dari lemahnya regulasi. Kesepakatan antarnegara yang hanya ditaati sepihak membuat PMI tetap rentan terjebak dalam perangkap sistem perekrutan tenaga kerja. Perjanjian kerja yang tidak rinci dan hanya berdasarkan aturan yang berlaku di negeri jiran akhirnya membuat PMI tetap terkungkung dalam bayangan kecemasan.
Terlepas soal perilaku manusia, terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap PMI di Malaysia tak dapat dipisahkan dari lemahnya regulasi.
Sebagian PMI di Malaysia seakan memasuki labirin rumit yang sulit ditemukan status dan keberadaannya oleh KBRI. Dalam beberapa kasus, informasi baru diketahui setelah PMI tersangkut masalah pidana atau sekarat akibat kekerasan majikan.
Persoalan PMI tak sekadar katup pengaman mengatasi ledakan pengangguran dan penghasil devisa, tetapi juga martabat bangsa. Kita tentu tak rela PMI hanya menjadi obyek eksploitasi bangsa lain. Apalagi dikategorikan bangsa buruh atau orang Indon, sebutan rasis yang sangat menyakitkan itu.
Di tengah kasus kekerasan tenaga migran yang kerap memicu amarah, devisa negara yang dihasilkan PMI nilainya cukup signifikan. Berdasarkan data Bank Indonesia pada kuartal I-2022 remitansi PMI dari Malaysia mencapai 638,35 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,25 triliun. Meskipun nilainya tidak sebesar ekspor mata dagangan lain, remitansi PMI dari Malaysia masih menjadi komponen penting sumber cadangan devisa.
Bagi Indonesia, penghentian sementara pengiriman PMI ke Malaysia adalah pilihan sulit. Sebab hingga kini Indonesia juga masih berkutat pada persoalan pengangguran dalam negeri yang jumlahnya cukup besar. Rasio antara angkatan kerja dan lapangan kerja yang tersedia belum ideal. Jumlah angkatan kerja cenderung meningkat setiap tahun. Menurut BPS pada Februari 2022 jumlah angkatan kerja 144,01 juta orang, 135,61 juta orang bekerja, dan 8,40 juta orang menganggur.
Baca juga: Indonesia-Malaysia Terus Cari Solusi soal Penempatan Pekerja Migran
Pengangguran merupakan tantangan berat yang tak mudah dituntaskan di tengah kompetitifnya persaingan dunia kerja. Membuka kesempatan warga negara untuk bekerja di negara lain adalah keputusan yang sangat rasional. Diperlukan pendekatan humanis yang mencerahkan agar pekerja migran tidak hanya berorientasi kepada gaji yang akan didapat, tetapi juga mitigasi terhadap pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan.
Permasalahan penempatan PMI di Malaysia kembali menjadi bahan diskusi intensif. Diharapkan ini dapat berakhir dengan solusi konstruktif yang menguntungkan kedua negara. Bagi Indonesia, implementasi UU Nomor 18 Tahun 2017 merupakan sebuah keputusan mutlak yang tidak dapat ditawar karena menyangkut martabat bangsa dan hak normatif pekerja migran.
Bambang M Permadi, Statistisi pada BPS Kalimantan Tengah; Facebook: bambangmpermadi

Bambang M Permadi