Rousseau, Pendidikan Humaniora, dan Teknologi
Kritik Rousseau bahwa kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi dan kesenian memperburuk kodrat manusia yang asalnya baik masih berlaku bagi konteks kita meski tak seluruhnya benar.
Pada 1749, Jean-Jacques Rousseau memenangkan sayembara yang diselenggarakan Akademi Dijon, Perancis, dengan tema ”Apakah pembaruan ilmu pengetahuan dan kesenian telah menyumbangkan untuk memperburuk atau meningkatkan kesusilaan? Pertanyaan itu dijawab dengan tajam oleh Rousseau bahwa kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi dan kesenian menghasilkan ketidaksungguhan, kemunafikan, kesombongan, dan kecongkakan untuk manusia (PA Van der Weij, 2017).
Menurut Rousseau, semua perkembangan tersebut memperburuk kodrat manusia yang asalnya baik dan merayu manusia untuk melakukan segala macam kebejatan. Maka untuk menyelamatkan manusia, hanya ada satu jalan, back to nature (kembali ke keadaan pada awal mula).
Dengan sepintas memahami isi jawaban Rousseau akan sangat mungkin mencercahnya sebagai pribadi pesimistik terhadap kemajuan. Bahkan secara gamblang bisa dikatakan bahwa Rousseau menentang kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian apalagi karena figur dan wataknya yang nyaris psikopatis.
Rousseau hendak mengajak kita untuk menyelami makna kehidupan di tengah benturan peradaban, antara etika dan teknologi, antara nilai-nilai tradisional dan keyakinan modernitas, serta antara kecanggihan dan kesahajaan.
Namun, apakah memang demikian adanya? Jawaban Rousseau tentu datang dari sebuah pengalaman hidup nyata perihal kehidupan intelektualistis, terutama berbagai bentuk kemunafikan dan ketidakbermoralan masyarakat Paris pada masanya. Maka tak segan ia mengatakan bahwa kesesangsaraan, ketidakotentikan, korupsi, dan kelicikan berasal dari kehidupan bersama di masyarakat.
Rousseau mendasarkan argumentasinya kepada alam kodrat baik yang ada pada manusia—meskipun berlawanan dengan beberapa argumentasi tentang hakikat manusia, misalnya dari Agustinus dan Kant. Agustinus bergerak dari konsep kehendak bebas dan melihat kapasitas ini memungkinkan manusia untuk tak hanya melakukan kebaikan, tetapi juga kejahatan. Sementara Kant meyakini bahwa di dalam diri manusia terkandung ”kejahatan yang radikal” (das radikale Bose).
Jadi, kodrat manusia tidak melulu seperti keyakinan Rousseau, semata-mata baik. Namun, terlepas dari argumentasi yang hanya memusatkan kepada alam kodrat baik sebagai kodrat asali atau sengaja mengesampingkan alam kodrat jahat yang juga terendap dalam diri, Rousseau hendak mengajak kita untuk menyelami makna kehidupan di tengah benturan peradaban, antara etika dan teknologi, antara nilai-nilai tradisional dan keyakinan modernitas, serta antara kecanggihan dan kesahajaan.
Kembali ke keadaan awal mula
Seruan ini boleh dikatakan sebagai suatu itikad baik Rousseau memberi penekanan kepada alam kodrat baik setiap individu. Ia menggemakan suatu upaya berkesadaran bagi setiap individu untuk mendasarkan segala perilakunya terutama di atas kodrat asali, yang baginya adalah alam kodrat baik. Sebab, hanya dengan cara demikian, manusia memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan bagi Rousseau pada taraf yang lebih rendah adalah tiadanya penderitaan, mempunyai kebebasan, dan pemenuhan segala kebutuhan. Sementara pada taraf lebih tinggi adalah kedamaian hati. Rousseau memandang bahwa menjadi bahagia bermakna seorang telah menjadi manusia sesungguhnya.
Di sini terdapat kesejajaran makna antara kebahagiaan dan menjadi manusia. Menjadi manusia identik dengan kebahagiaan, yang di dalamnya memuat kebebasan, tidak menderita, dan sanggup memenuhi segala yang dibutuhkan untuk menopang hidup.
Baca juga: Meraih Kebahagiaan
Bagi Rousseau, hal-hal ini adalah kewajiban setiap manusia. Sesuatu yang berada di luar hal-hal ini berarti menyengsarakan kemanusiaan. Membuat manusia menjadi tidak otentik dan tidak bermoral. Kata lain, manusia tidak hidup secara manusiawi.
Berangkat dari sudut pandang inilah, Rousseau mengkritik kehidupan masyarakat di Paris pada masanya. Sebab, mereka tidak sanggup ”hidup sebagai manusia” meskipun sangat intelektualis. Masyarakat di kala itu diliputi sikap amoral, munafik, korupsi, dan licik.
”Kembali ke keadaan awal mula” menjadi seruan menantang karena berkaitan dengan tiga hal yang tidak terpisahkan maknanya: kodrat asali manusia, kewajiban, dan kebahagiaan. Membicarakan manusia berarti membicarakan kodrat asalnya, yaitu baik.
Makna ultim manusia mula-mula terletak pada kehidupan yang berkaitan dengan yang benar, baik, dan indah (Plato). Ia makhluk yang berasio ke Allah (Plotinus) sehingga kegiatannya selalu terarah pada sesuatu yang baik (Aristoteles). Hidup selalu menurut kehendak dan maksud Tuhan karena rasio manusiawi adalah sebagian kecil dari Rasio Ilahi (filsuf-filsuf Stoa) sehingga hakikatnya adalah baik.
Jika hal-hal baik yang ditumbuhkembangkan itu menegaskan seorang individu sudah mencapai kemanusiaan, telah hidup secara manusiawi, telah menjadi manusia. Maka, hal utama yang harus dan wajib dilakukan dalam hidup bersama adalah menjadi manusia. Dengan begitu, kebahagiaan secara otomatis akan direngkuh.
Seruan ”kembali ke keadaan awal mula” bisa menjadi salah satu jalan (tetapi bukan satu-satunya jalan) untuk menjadi manusia karena di samping itu perlu disertakan komitmen dan daya juang. Argumentasi Rousseau tentu masih sangat memikat secara khusus jika dihadapkan dengan konteks kemanusiaan di tengah masifnya sains dan teknologi yang cenderung melahirkan benturan-benturan mendasar.
Sudahkah setiap pribadi menjadi manusia di tengah gempuran pertumbuhan sains dan teknologi? Pertanyaan ini tentu akan memantik refleksi kritis terhadap hal praksis berikut. Pertama, intelektualitas sebagai sesuatu yang sudah melekat dalam diri seorang akademisi karena sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu belum sepenuhnya membantu seseorang untuk hidup lebih baik, untuk menjadi seorang manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, intelektualitas dalam hubungannya dengan sains dan teknologi tidak mampu menghasilkan sebuah sintesis yang baik bagi kehidupan bersama. Justru memperburuk kesusilaan karena merayu individu untuk hidup secara tidak manusiawi. Modernisasi melalui sains dan teknologi mengoyak prinsip tradisional kehidupan yang berbasis pada suatu tatanan moral yang diwariskan bahkan menerobos suatu tatanan tradisional perihal arti menjadi manusia.
Sudahkah setiap pribadi menjadi manusia di tengah gempuran pertumbuhan sains dan teknologi?
Refleksi
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kritikan Rousseau direfleksikan ke dalam konteks kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa? Kritik Rousseau di atas masih berlaku bagi konteks kita. Meskipun demikian, itu tidak seluruhnya benar karena pada kenyataannya terdapat begitu banyak kontribusi positif sains-teknologi dan seni bagi sivilisasi Indonesia. Namun begitu, penting untuk membicarakan relevansi kritik Rousseau terhadap situasi hari ini sehingga dengannya dapat ditarik solusi etis yang memungkinkan.
Dari beragam isu sosial di ruang publik hari-hari ini, pendidikan dan teknologi bisa dikatakan belum menghasilkan sintesis yang mumpuni berupa nilai-nilai. Sebagian warga bangsa absen daya kritis-reflektif terutama terkait pemanfaatan media sosial. Sebab, tak jarang kapasitas ini tenggelam ke dalam peluberan informasi, antara kebenaran dan kebohongan yang terus berkelindan.
Di antara rentang dan bentangan pengetahuan nyaris tak terbatas individu sering kali kesulitan menentukan kebenaran dan kebohongan berita. Jika dikaji, mestinya dengan jaringan teknologi yang begitu canggih tidak sulit bagi individu untuk membedah validitas informasi yang bertebaran di jagat media. Faktanya masih sulit.
Baca juga: Media Sosial, Kuasa Bahasa Siapa
Terlepas dari berbagai alasan yang mendasarinya, persis dalam hal ini perlu suatu kesadaran lain bahwa teknologi memiliki sisi positif sekaligus negatif, konstruktif sekaligus destruktif, mempermudah namun tak jarang mempersulit. Perlu ada kesadaran bahwa ilusi-ilusi selalu hadir di balik eksistensi infrastruktur global bernama teknologi. Maka, dialektika kesadaran atas perkembangan masif sains-teknologi yang masih minim perlu ditingkatkan.
Pada satu titik, kesulitan bisa dimungkinkan, salah satunya, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh kurangnya pembelajaran ilmu-ilmu humaniora. Hal ini selaras dengan keprihatinan Henry Giroux dalam On Critical Pedagogy (2020). Baginya, dunia pendidikan global hari ini telah mengalami proses komodifikasi. Tujuannya mencari dan mengembangkan keuntungan ekonomis.
Pendidikan cenderung mampu menghasilkan lulusan yang pintar secara kognitif, menguasai teori dan teknologi, tetapi sering kali kering dalam nilai-nilai kemanusiaan dan sosial terutama dalam penerapannya. Pendidikan bergerak ke arah sebaliknya, dari perannya sebagai pembentuk kehidupan publik, politik, dan kultural menjadi pendidikan yang dibentuk oleh dunia pasar yang menekankan bagaimana beradaptasi dengan dunia industri.
Kata lain, bukan berarti ilmu-ilmu teknis tidak penting. Terutama di tengah tuntutan gelombang industri yang mengurai ke segala bidang kehidupan dan bangsa, prodi-prodi ini amat penting. Namun mesti diingat bahwa porsi besar bagi pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan adalah terletak di dalam prodi ilmu-ilmu humaniora. Maka penting diberi ruang setara ilmu teknis.
Minimnya pendidikan humaniora dan meningkatnya pendidikan teknis akan lebih banyak melahirkan individu yang kering etika di tengah laju sains-teknologi, absen nilai-nilai tradisional di tengah keyakinan kepada modernitas, serta kehilangan kesahajaan di tengah gemerlap eksterioritas kultur abad ke- 21. Situasi hidup bangsa Indonesia sedang memasuki ruang kenyataan ini
.
Porsi besar bagi pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan adalah terletak di dalam prodi ilmu-ilmu humaniora. Maka penting diberi ruang setara ilmu teknis.
Kritik tajam Rousseau terhadap kehidupan masyarakatnya yang penuh kemunafikan, kelicikan, korupsi, dan kesombongan meskipun intelektualis membuka tabir fakta perihal segelintir kaum terdidik di negeri ini yang terjerumus pada praktik korupsi, terafiliasi dengan kelompok teroris, dan merusak kebinekaan melalui politik identitas. Pun dalam hal bermedia yang sering kali minus sikap kritis-reflektif sehingga memunculkan polemik di ruang publik.
Media sosial digital pun seringkali menjadi sarana pengamplifikasi perilaku yang tidak sehat tersebut. Yang lebih miris, bukan hanya rakyat biasa, melainkan sejumlah nama cendekiawan sampai pejabat terjerumus ke dalam perilaku bermedia yang kurang elok.
Maka, jika hari ini suasana psikososial jadi tidak menentu, kiranya tidak keliru untuk melihat kembali metode pembelajaran di semua jenjang pendidikan kita. Terlepas dari beragam faktor di baliknya, perbaikan, dan kerja sama semua elemen, penguatan terhadap pendidikan humaniora dapat membantu mematangkan karakter dan moral seorang individu.
Baca juga: Pendidikan Pemanusiaan
Melalui penguatan itu, secara langsung maupun tidak langsung, mampu meminimalisasi polemik di ruang publik terutama berkaitan dengan tata sikap dan perilaku di tengah pemanfaatan sains dan teknologi. Penguatan pendidikan yang lebih humanum dapat membantu membentuk dan mematangkan moral dan etika warga di dalam dinamika berbangsa dan bernegara.
Ketika moral dan etika menjadi landasan sikap dan perilaku dalam hidup, maka setiap individu sesungguhnya sedang mengembangkan diri menjadi manusia (Indonesia) sejati. Perwujudan bangsa yang tenteram akan mudah digapai. Kedamaian akan menjadi roh yang menggerakkan. Kebebasan sebagai manusia lebih mudah dipraksiskan. Penderitaan karena masalah mendasar dapat semakin berkurang.
Pada akhirnya, secara perlahan-lahan pendidikan dan teknologi akan mampu melahirkan sintesis berupa nilai-nilai bagi hidup bersama. Dengan begitu, hidup bersama tadi lagi akan dipandang secara negatif sebagaimana kritik dan argumentasi Rousseau.
Andreas Maurenis Putra, Lulusan S-2 Fakultas Filsafat Unika Parahyangan Bandung; Penulis Lepas