Dengan berlakunya PP No 24/2022, layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi jadi semacam ”tombol” fitur urun dana bagi kreator digital yang butuh pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Ini perlu dicermati.
Oleh
KRISTIANUS JIMY PRATAMA
·4 menit baca
Talenta digital dan kanal digital di era digital merupakan dua hal yang saling terkait satu sama lain. Digitalisasi yang tumbuh pesat menjadi salah satu alasan yang mendorong para talenta digital untuk turut memberikan sumbangsih untuk penguatan ekosistem digital.
Adapun salah satu kelompok talenta digital yang tengah diminati hasil kreasinya oleh publik ialah kelompok kreator digital. Berbicara mengenai kreator digital, kita akan dengan mudah menyebutkan sejumlah nama kreator digital, mulai dari yang tersohor saat ini hingga yang termasuk sebagai pemula.
Pada konten digital yang dihasilkan oleh para kreator digital yang sudah tersohor, jumlah penayangan akan relatif berada pada angka yang tinggi. Dengan tingginya jumlah penayangan tayangan tersebut, tidak pelak menjadikan konten dari para kreator digital untuk termonetisasi.
Mencermati tumbuhnya ekonomi digital dari para kreator digital tersebut, pemerintah pun kemudian turut memberikan dukungannya bagi para kreator digital. Salah satunya dengan menyediakan suatu skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual untuk para kreator digital cukup dengan menjaminkan hasil kekayaan intelektual (KI) para kreator digital sebagai obyek jaminan utang. Setidaknya itulah salah satu esensi penting dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022.
Dalam aturan tersebut disebutkan pula bahwa pembiayaan berbasis KI tidak hanya dapat diajukan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank (LKNB), tetapi juga dapat melalui layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi yang kita kenal lebih umumnya dengan istilah securities crowdfunding (SCF). Dengan demikian, melalui SCF, para kreator digital dapat bertindak sebagai penerbit efek dari setiap hasil kreasi yang coba dijaminkannya kepada para pemodal atau investor. Tidak pelak hal itu kemudian membuat SCF menjadi ”tombol” fitur urun dana bagi para kreator digital yang membutuhkan pembiayaan berbasis KI.
Sepintas hal tersebut terlihat baik-baik saja, tetapi ketika dicermati lagi secara lebih mendalam, ”tombol” baru tersebut ternyata tidak lepas dari problematika yang berujung pada tanda tanya. Setidaknya ada dua pertanyaan, yaitu bagaimana status monetisasi dari setiap hasil kreasi kreator digital saat dijaminkan dan sejauh mana hak para pemodal atas hasil kreasi kreator digital yang dijaminkan melalui SCF? Apakah dengan menjadi pemodal atau ”penjamin” para kreator digital menjadikan para pemodal berhak untuk mengakses segala bentuk informasi yang berkaitan dengan ”obyek jaminan”?
Berawal dari dua pertanyaan tersebut, mari kita mencoba memahaminya secara sederhana. Dalam UU Jaminan Fidusia terdapat tiga hal penting yang dapat digarisbawahi, yaitu bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia, jaminan fidusia meliputi juga hasil yang timbul dari obyek jaminan fidusia, dan jaminan fidusia dapat hapus apabila obyek jaminan fidusia musnah.
Bagaimana status monetisasi dari setiap hasil kreasi kreator digital saat dijaminkan dan sejauh mana hak para pemodal atas hasil kreasi kreator digital yang dijaminkan melalui SCF?
Apabila ketiga hal itu dikaitkan dengan bagaimana status monetisasi KI kreator digital yang dijaminkan kepada pemodal melalui SCF, tentu hasil monetisasi juga menjadi lingkup jaminan fidusia dan kepemilikannya tidak lagi tunggal milik kreator digital saja. Selain itu bukti kepemilikan efek yang diterbitkan oleh kreator digital sebagai penerbit turut menegaskan bahwa para pemodal memiliki hak kepemilikan atas KI dari kreator digital sepanjang masih dibebani oleh jaminan fidusia.
Dengan demikian, segala informasi yang melekat pada KI kreator digital pada prinsipnya adalah hak dari para pemodal, tetapi hal ini justru dapat membuka kerahasiaan data pribadi kreator digital dalam mengelola kanal digitalnya. Hal ini dalam perspektif hukum siber tentu dapat menimbulkan masalah karena pada hakikatnya akses atas kerahasiaan data pribadi kreator digital termasuk monetisasi di dalamnya akan berkontrakdisi dengan esensi dari RUU PDP.
Di satu sisi, ketika KI kreator digital dihapus oleh pengelola kanal digital karena pelanggaran peraturan layanan, musnahnya KI kreator digital sebagai obyek jaminan fidusia adalah suatu hal yang tidak dapat dihidari. Selain itu, sebagaimana kita ketahui bersama kalau SCF ini sifatnya urun dana tentu akan ada banyak pemodal untuk satu KI dari kreator digital yang sama yang berdampak pada hak mendahului dari setiap pemodal apabila timbul sengketa.
Tentu hal-hal ini membuat fitur urun dana bagi kreator digital ini terbilang masih abu-abu. Oleh karena itu, aturan teknis yang komprehensif menjadi penting agar jangan sampai fitur urun dana kreator digital berakhir menjadi fitur coba-coba semata.
Kristianus Jimy Pratama, Peneliti Center for Law, Technology, RegTech & LegalTech Studies UGM; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.