Islam dan Indonesia
Hubungan antara Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara tak ubahnya hubungan ”cinta kasih” di antara dua sosok. Atas nama cinta kasih, Islam diterima di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.
Hubungan antara Islam dan Indonesia menarik untuk terus diurai. Dalam hemat penulis, sebagian masalah yang ada saat ini ada kaitan dengan hubungan antara Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara yang senantiasa dinamis. Mulai dari masalah-masalah yang mengakar pada ideologi negara seperti terorisme, intoleransi, separatisme hingga masalah yang terkait dengan ekonomi seperti ekonomi Islam, bank syariah, label halal.
Hubungan antara Islam dan Indonesia tak semudah memajangkan dua kata ”Islam dan Indonesia”. Mengharmonikan hubungan keduanya tak segampang mengucapkan kata ”harmoni” itu sendiri.
Hal tersebut tak lain karena Islam sebagai agama telah memiliki ”wujud pemahaman” dalam bentuk yang berbeda-beda antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, antara satu orang Islam dan orang Islam yang lain. Wujud tersebut terbentuk secara perlahan mulai diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul di Mekkah melintasi abad demi abad, melintasi tempat demi tempat, hingga kini di Indonesia tercinta.
Pun demikian, Indonesia sebagai negara telah memiliki wujud yang lebih kurang sama. Mulai dari jauh hari sebelum kedatangan Islam di Mekkah, era Islam (termasuk era masuknya Islam ke Indonesia) hingga kini.
Baca juga: Islam Nusantara sebagai Polifoni Budaya
Hubungan "cinta kasih"
Dalam konteks seperti di atas, hubungan antara Islam dan Indonesia tidak cukup hanya dipahami dari perspektif tiga mazhab konsepsional murni antara agama dan negara, yaitu mazhab yang mengatakan agama (Islam) harus mewarnai negara (semacam islamisme), atau mazhab yang mengatakan negara harus dipisah dari agama (semacam sekularisme), atau mazhab kompromi di antara dua mazhab di atas.
Bahkan, hubungan antara Islam dan Indonesia, menurut hemat penulis, tak cukup hanya dipahami dalam relasi ”fondasi dengan bangunan” atau ”penjaga dengan yang dijaga” seperti dipahami oleh sebagian kalangan dari ungkapan Imam Al-Ghazali yang belakangan populer.
Ungkapan utuh Imam Al-Ghazali lebih kurang berbunyi; almulku wad dinu taw’amani. Faddinu ashlun, was sulthanu harisun. Wama la ashla lahu famahdumun. Wama la harisa lahu fadhai’un. Artinya lebih kurang adalah kekuasaan dan agama ibarat saudara kembar; agama adalah fondasi, sedangkan penguasa adalah penjaga. Setiap sesuatu yang tanpa fondasi maka akan runtuh. Sebagaimana setiap sesuatu yang tak dijaga maka akan hilang (Ihya Ulumiddin, Dar Ibnu Hazm, Juz I, hal 26).
Dikatakan ”seperti dipahami” oleh sebagian kalangan, mengingat kutipan di atas sesungguhnya bukan inti gagasan Al-Ghzali. Dengan kata lain, melalui perkataannya di atas, Imam Al-Ghazali tidak sedang menjelaskan tentang pola hubungan antara Islam dan negara maupun politik, alih-alih sampai menyimpulkan bahwa Al-Ghazali mendukung negara agama hanya karena beliau mengatakan ”agama adalah fondasi” seperti dalam kutipan di atas.
Kutipan Al-Ghazali di atas berada dalam pembahasan tentang pembagian ilmu, di mana Imam Al-Ghazali memasukkan ilmu fikih dalam kategori ilmu keduniaan (istilah yang digunakan Imam Al-Ghazali ilmu dun-ya). Kenapa ilmu fikih dimasukkan dalam ilmu dunia? Karena fikih terkait dengan perdebatan dan perselisihan antara orang di dunia ini. Karena itu, masih kata Al-Ghazali, sejatinya ahli fikih menjadi pembimbing politisi atau penguasa (mursyiduhum) karena ahli fikih sejatinya memahami tentang politik sekaligus mengerti cara menengahi perselisihan atau sengketa antarmanusia.
Menurut Al-Ghazali, fikih tidak terkait dengan akhirat kecuali bersifat tidak langsung (yaitu melalui dunia). Dunia adalah ladang akhirat, sebagaimana akhirat (agama) tidak akan sempurna kecuali melalui dunia. Persis di sinilah kemudian Al-Ghazali menyampaikan kutipannya di atas.
Sekali lagi, kutipan Al-Ghzali di atas tidak dimaksudkan untuk membahas pola hubungan antara agama dan negara. Kalaupun dipahami dalam konteks pola hubungan antara agama dan negara (seperti pendapat sebagian orang), pola hubungan seperti ini tidak memadai untuk memotret antara hubungan Islam dengan Indonesia mengingat hubungan ”fondasi dengan bangunan” bersifat statis.
Hubungan antara Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara tak ubahnya hubungan ’cinta kasih’ di antara dua sosok.
Pun demikian, hubungan ”penjaga dengan yang dijaga” bersifat tidak berimbang. Sementara Islam dan Indonesia adalah ”wujud pemahaman” yang hidup dan bisa berkembang dari masa ke masa, dari suatu tempat ke tempat yang berbeda, mengikuti perkembangan dan wawasan manusianya itu sendiri. Hubungan dari dua wujud pemahaman yang hidup dan aktif ini tak bisa distatiskan dalam pola hubungan antara fondasi dan bangunan, juga tak bisa diberatsebelahkan dalam pola hubungan antara penjaga dan yang dijaga.
Menurut hemat penulis, hubungan antara Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai negara tak ubahnya hubungan ”cinta kasih” di antara dua sosok. Atas nama cinta kasih, Islam diterima di Indonesia. Sebagaimana juga atas nama cinta kasih, Indonesia menerima Islam.
Dua wujud tersebut hidup bersama di bawah payung sejarah dengan dinamika hubungan yang fluktuatif. Adakalanya Islam (dianggap) mendominasi Indonesia, adakalanya Indonesia (dianggap) mendominasi Islam, adakalanya juga keduanya (dianggap) berjalan mesra penuh kebersamaan dan kesetaraan (minimal dalam keyakinan setiap orang Islam di Indonesia atau orang-orang Indonesia yang tidak beragama Islam).
Antara ideologi dan ekonomi
Pasang surut hubungan cinta kasih antara Islam dan Indonesia terjadi sepanjang hayat keduanya, termasuk pada masa-masa pembentukan Indonesia merdeka. Bahkan, hubungan fluktuatif antar-keduanya terus berlangsung hingga kini.
Sebagian pihak menginginkan Indonesia merdeka menjadi negara Islam dengan sistem Islam seutuhnya. Di sebagian pihak yang lain, Indonesia merdeka diharapkan menjadi Indonesia sekuler yang terbebas dari agama mana pun, termasuk Islam.
Sementara pihak lain (dan ini bertahan hingga kini) menginginkan, Indonesia menjadi Tanah Air bagi Islam dan juga agama-agama lain yang ada di negeri ini. Ketuhanan Yang Maha Esa secara khusus dan Pancasila secara umum bisa dipahami sebagai ”ijab kabul” dari hubungan yang terbentuk antara Islam dan Indonesia pada masa kemerdekaan.
Baca juga: Transnasionalisasi Islam Indonesia
Persoalannya adalah setiap orang memiliki tafsir tersendiri atas ”perkawinan” Islam dengan Indonesia pada awal kemerdekaan. Tafsir itulah yang membuat sebagian umat Islam tetap menginginkan Indonesia menjadi negara Islam (dengan sistem Islam seutuhnya, termasuk secara ideologi negara dan ekonomi). Walaupun harus dilakukan dengan jalur pertempuran dan peperangan seperti dilakukan kelompok Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) dahulu, atau dengan cara-cara terorisme seperti dilakukan oleh Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansorud Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada ISIS (NIIS), atau dengan cara-cara yang lebih ”akomodatif” seperti dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Khilafatul Muslimin, dan yang lainnya.
Kelompok-kelompok seperti di atas memasang ”harga mati” untuk hal-hal ideologis terkait negara Islam, seperti penegakan khilafah Islam, syariat Islam, penegakan hukum Islam. Oleh karena itu, ketika Indonesia merdeka tidak mengakomodasi hal-hal di atas, maka ”ikatan” yang ada dianggap tidak sah bahkan tidak ada.
Karena itu, kelompok seperti ini kerap melakukan upaya untuk mengakhiri ”ikatan suci” yang ada dan berupaya menegakkan negara atau kekhalifahan Islam sebagai gantinya. Kalaupun tidak, aspek keislaman dari Indonesia harus diperkuat seperti tergambar dalam jargon ”NKRI bersyariah” dan yang lainnya.
Dilihat dari perkembangan sejauh ini, tampaknya ’islamisasi’ Indonesia secara ekonomi jauh lebih diterima dibandingkan ’islamisasi’ secara ideologi kenegaraan.
Menariknya adalah, di luar kelompok-kelompok ideologis seperti di atas, ada juga kelompok ekonomi. Berbeda dengan kelompok ideologi, kelompok ekonomi ini tidak terlalu kaku dalam hal-hal yang bersifat ideologi (menerima NKRI), tetapi mereka memasang ”harga mati” untuk hal-hal yang terkait dengan ekonomi.
Kelompok ini menginginkan agar Indonesia merdeka tetap memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menerapkan sistem ekonomi sesuai agamanya (ekonomi Islam). Karena itu, kelompok ini acap memprakarsai upaya yang mengarah kepada ”islamisasi” ekonomi Indonesia di sektor perbankan, keuangan secara umum, pariwisata, dan yang lainnya.
Dilihat dari perkembangan sejauh ini, tampaknya ”islamisasi” Indonesia secara ekonomi jauh lebih diterima dibandingkan ”islamisasi” secara ideologi kenegaraan. Di saat upaya islamisasi Indonesia secara ideologi justru kerap berakhir dengan aksi konfrontasi dan jeruji besi alias penjara, islamisasi Indonesia secara ekonomi justru ”laku keras”, tidak hanya di kalangan umat Islam secara umum, tetapi juga di kalangan kelompok sekuler bahkan konsep ini juga terbuka untuk kalangan di luar Islam.
Wilayah ijtihad
Pertanyaannya, kenapa semua ini bisa terjadi? Jawabannya tak lain karena bentuk negara dalam Islam (dan juga ekonomi pada batas tertentu) masuk dalam kategori ”wilayah ijtihad”. Secara fikih, wilayah ijtihad merujuk kepada hal-hal yang belum dijelaskan secara lengkap dan terperinci dalam Al Quran dan sunah.
Kalaupun ada hal-hal yang dibahas dalam Al Quran dan sunah, hal tersebut bersifat umum. Hal-hal yang terkait dengan kekuasaan (as-siyasah) dan interaksi sosial sehari-hari (muamalah ijtima’iyah) pada umumnya masuk dalam kategori ini. Karena tidak dijelaskan secara lengkap dan terperinci, maka umat Islam diberikan mandat (melalui para ulamanya) untuk berijtihad atau menggali hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai umum yang telah diatur dalam Al Quran dan sunah.
Kisah sahabat Muaz bin Jabal yang hendak diutus Nabi ke Yaman acap dijadikan sebagai landasan oleh para ulama dalam menjadikan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam setelah Al Quran dan sunah (Tarikh Tasyri’, Mostafa Rafi’i, 1993: 94).
Dalam konteks Indonesia, pada akhirnya para ulama pendiri bangsa lebih memilih NKRI daripada bentuk yang lain (termasuk negara Islam) karena NKRI dianggap lebih banyak maslahatnya (kebaikannya).
Secara fikih, bentuk-bentuk negara (baik negara Islam, negara sekuler ataupun NKRI) hal yang dimungkinkan dalam Islam karena Islam tidak melarang atau mewajibkan bentuk negara tertentu. Tidak ada teks pasti (qath’iy) dan disepakati (muttafaq ’alaihi) terkait pelarangan atau pewajiban bentuk negara tertentu, baik dalam Al Quran maupun dalam sunah.
Karena itu, bentuk negara dalam Islam bukan perkara diharamkan sebagaimana minuman keras, tetapi juga bukan perkara diwajibkan laiknya shalat, puasa, ataupun ibadah wajib lainnya. Para ulama harus berijtihad bentuk negara mana yang lebih banyak maslahatnya sesuai dengan nilai umum yang diatur dalam Al Quran dan sunah.
Dalam konteks Indonesia, pada akhirnya para ulama pendiri bangsa lebih memilih NKRI daripada bentuk yang lain (termasuk negara Islam) karena NKRI dianggap lebih banyak maslahatnya (kebaikannya) ketimbang mafsadatnya (keburukannya).
Baca juga: Pembaruan Islam
Apa itu maslahatnya? Tak lain adalah persatuan Indonesia yang terus berlangsung dari zaman kemerdekaan hingga kini. Apa itu mafsadatnya? Tak lain perpecahan bangsa Indonesia, baik pada zaman dahulu maupun sekarang. Inilah yang membuktikan kebenaran ijtihad para ulama pendiri bangsa ketika lebih memilih NKRI daripada bentuk negara yang lain.
Karena itu, atas nama Indonesia dan Islam sekaligus sejatinya yang dikedepankan dalam perjuangan keindonesiaan adalah persatuan, termasuk dalam menghadapi mereka yang berpandangan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam. Karena inilah pertimbangan ijtihad para ulama yang paling utama dalam memilih NKRI daripada bentuk negara yang lain. Wallahu a’lam bis sowab.
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam.