Dunia dalam Cengkeraman Citayam
Cak Nun justru mengatakan sebaliknya bahwa Indonesialah yang menjadi bagian dari desa. Cara berpikir terbalik semacam ini, walau sedikit ugal-ugalan, kini menemukan konteksnya pada keriuhan SCBD.
Aktivitas remaja pinggiran, seperti Bonge, Jeje, Kurma, Ali, dan kawan-kawan, di ajang Citayam Fashion Week, mengingatkanku pada buku Indonesia Bagian dari Desa Saya. Emha Ainun Nadjib menulis sejumlah esai tahun 1970-an, ketika modernisasi diartikan secara banal di sejumlah perdesaan Indonesia. Kehadiran televisi dan sepeda motor membawa sejumlah masalah baru. Televisi, sepeda motor, termasuk juga kulkas, diperlakukan sebagai karcis masuk untuk menjadi bagian dari kerumunan gaya hidup modern.
Ketika orang-orang kota (kelas menengah) memiliki kulkas, golongan desa yang punya uang juga membeli kulkas. Ada yang lupa bahwa sebuah kulkas membutuhkan energi listrik agar mampu mengawetkan makanan. Terjadilah seperti dalam cerita, lemari es berubah menjadi lemari pakaian. Walaupun sama-sama disebut lemari, jelas keduanya berbeda fungsi.
Ini bukan cerita fiksi. Beberapa pengepul gabah di kampungku tahun 1970-an di masa awal program penanam padi jenis IR yang dicanangkan rezim Orde Baru termasuk cukup kaya. Merekalah yang pertama-tama memiliki televisi di rumahnya. Saban malam warga desa berbondong-bondong datang untuk menyaksikan gambar hidup dari sebuah televisi hitam putih berukuran 14 inci. Asal tahu, televisi mereka bisa menyala karena menggunakan aki. Waktu itu, aliran listrik belum menjangkau seluruh rumah penduduk. Rumahku salah satu rumah yang sampai akhir tahun 1970-an belum teraliri listrik dari PLN.
Beberapa di antara para pengepul itu juga membeli kulkas. Pak Welen termasuk salah seorang yang menggebu-gebu datang ke toko elektronik untuk membeli benda-benda yang menjadi simbol gaya hidup modern. Ia tahu bentuk dan fungsi kulkas dari film-film di TVRI. Welen lupa bahwa kulkas membutuhkan listrik yang dialirkan dari arus AC. Ia mengira sebagaimana televisi, kulkas juga bisa menggunakan tenaga DC dari aki. Karena telanjur dibeli dan pemilik toko elektronik menolak pengembalian barang yang sudah dibeli, jadilah kulkas Pak Welen tempat menyimpan beras. Lumayan berbanding lurus dengan profesinya sebagai pengepul gabah.
Logika berpikir yang disodorkan Emha (Cak Nun) seolah merupakan arus balik yang melawan kecenderungan berpikir di masa itu. Bahwa secara administratif sudah pasti desa menjadi bagian dari negara Indonesia. Ia justru mengatakan sebaliknya bahwa Indonesialah yang menjadi bagian dari desa. Cara berpikir terbalik semacam ini, walau sedikit ugal-ugalan, kini menemukan konteksnya pada keriuhan SCBD. Nama populer dari kawasan bisnis eksklusif di jantung Jakarta, yang tadinya kependekan dari Sudirman Central Business District, dipelesetkan menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok.
Ia justru mengatakan sebaliknya bahwa Indonesialah yang menjadi bagian dari desa.
Kepanjangan yang terakhir mengacu kepada aktivitas sejumlah remaja pinggiran yang mengusung Citayam Fashion Week. SCBD telah menjadi penanda kerumunan baru para remaja pinggiran, yang selama ini hanya tahu ”desanya”. Citayam, Bojonggede, Depok, termasuk kawasan di sekitarnya, sebenarnya tak jauh dari Jakarta. Namun, ketimpangan cara hidup segera bisa terlihat dengan hanya menyaksikan infrastruktur keduanya. Oleh sebab itu, ke dalam SCBD juga mengandung sesuatu yang paradoks. Jika sebelumnya benar-benar menandai gemuruh transaksi bisnis dengan para eksekutif berjas dan berdasi di dalamnya, kini singkatan ini bermakna kehadiran ”orang-orang desa” menyerbu Jakarta.
Baca juga: ”Kami Cuma Butuh Ruang...”
Para remaja, yang sebagian putus sekolah ini, pada mulanya sekadar ingin nongkrong di kawasan dengan tatanan baru di Jakarta seiring dengan kelancaran transportasi massal seperti KRL dan MRT. Jika berangkat dari Stasiun Citayam, Cipayung, Jawa Barat, menuju Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, tak sampai sejam sudah sampai. Itu pun hanya perlu ongkos Rp 8.000 bolak-balik. Sangat ramah bagi kantong para remaja, yang terkadang di sakunya cuma nyelip uang Rp 12.000 buat jajan.
Bisa kebayang kan, jajanan apa kira-kira yang terbeli di Jakarta dengan isi kocek segitu. Remaja-remaja seperti Ali, yang sehari-hari mencari belut di sekitar Situ Citayam, rata-rata hanya bisa jajan cilok, gorengan, atau minuman sasetan di sekitar Stasiun Dukuh Atas.
Kawasan ini menjadi penting artinya bagi mereka karena memberi semacam re(kreasi) bagi kepenatan jiwa dan raga selama berdiam di kawasan pinggiran. Citayam dan Bojonggede, misalnya, sampai saat ini sebagian besar berupa kawasan penyangga urban. Sebagian warganya bekerja di sektor informal, seperti buruh, petani, kerja serabutan, pedagang kecil, dan hanya sebagian kecil karyawan rendahan di Jakarta. Karena alasan biaya, sebagian remaja putus sekolah dan kemudian bergabung menjadi ”penongkrong” di sekitar Situ Citayam.
Baca juga: Citayam, Bukan Sekadar "Fashion" Jalanan
Hal yang mencengangkan, hampir semuanya memiliki gawai dengan sambungan internet yang cukup walau sering kali membeli kuota ketengan. Dengan berbekal gawai dan kuota internet itulah, mereka bisa menggenggam dunia. Apalagi ketika media sosial menjadi kanal yang jembar untuk menampung ekspresi para remaja itu. Kini ekspresi itu diterjemahkan dengan membuat konten. Tak perlu menghakimi bahwa tayangan di Tiktok atau Instagram, yang hanya berisi cengangas-cengenges itu sebagai hal yang kontraproduktif, tak bernilai, dan buang-buang waktu.
Nongkrong di gubuk di tepi Situ Citayam, yang berkesan berantakan, adalah cara mereka menghabiskan hari. Desa tak memberi banyak pilihan dalam mencari hiburan. Apalagi para remaja yang telah ”terpapar” sebuah dunia virtual, sebagaimana dipancarkan lewat internet. Oleh sebab itu, nongkrong dengan settingan baru seperti Jakarta memberi hiburan yang ”memadai”. Pertama, mereka bisa beranjak dari serba kekurangan di desa. Kedua, mereka bisa menjadi bagian dari keglamoran kota. Ketiga, menjadi pilihan tepat untuk eksis dan kemudian viral di media sosial.
Baca juga: Aku Viral maka Aku Ada
Eksistensi itu penting di media sosial, seperti Tiktok atau Instagram, untuk semakin mengukuhkan kehadiran. Eksis sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas konten. Mereka cukup secara ”jujur” menampilkan diri, misalnya, dengan kenaifan cara berpikirnya, diimbuhi cara berpakaian apa adanya, sudah cukup. Oleh sebab itu, coba perhatikan konten-konten yang mereka unggah di media sosial, umumnya berkisar berapa harga seluruh outfit yang mereka kenakan. Banyak di antara mereka bahkan mengenakan outfit pinjaman, lalu celana panjang seharga Rp 150.000 dibeli di Tanah Abang, kaus seharga Rp 35.000 dibeli di Pasar Palmerah, sepatu seharga Rp 75.000 dibeli di lapak sepatu bekas, dan seterusnya.
Seluruh outfit ini pada awalnya hanyalah kelengkapan yang dibutuhkan bagi ”orang desa” untuk bertamasya ke kota besar. Aku ingat, sebagai remaja dari kota kecil, seperti Negara di Bali barat, jika pergi ke Denpasar kami biasa saling pinjam pakaian. Jaket kulit pinjaman berguna untuk menahan angin saat naik sepeda motor, sepatu Adidas pinjaman bisa menjamin ”kekotaan” wajah kami, lalu celana jins Levi’s juga cara kami menjadi bagian dari remaja kota sebesar Denpasar.
Nah, ini hal yang menggelikan. Sewaktu kuliah, seorang teman kecil dari kampung tiba-tiba singgah di tempat kosku di Denpasar. Ia cuma mengenakan sandal jepit dan berboncengan naik sepeda motor dengan teman lainnya. Ia tidak menginap, sore harinya langsung balik ke Negara. Ketika akan pulang itulah, ia meminjam sepatu Adidas warna putih, yang kupakai berjalan kaki dari kos-kosan ke kampus di sekitar RSUP Sanglah, Denpasar.
Sudah tentu, karena kebiasaan saling pinjam, aku tak keberatan dong. Sebagai anak yang baik, aku kabarkan kepada ibu bahwa si Bokek meminjam sepatu Adidas yang telah ia belikan untuk hadiah awal kuliahku di Denpasar. Sesudah itu, sebagaimana juga kebiasaan kami para remaja di kampung, aku tak pernah menagih sepatuku. Ibu justru yang blingsatan, terus-menerus bertanya, apakah sepatu itu sudah dikembalikan Bokek. Kau tahu, sampai 20 tahun kemudian, ibu tetap bertanya kemana sepatu Adidas itu dibawa dan sampai hari ini Bokek juga tak pernah mengembalikannya. ”Dasar Bokek,” begitu selalu ibu menggerutu.
Baca juga: Memaknai Liburan Citayam Fashion Week
Baiklah, itu hanya ilustrasi untuk mengatakan betapa kebiasaan saling pinjam outfit itu terjadi juga di antara remaja SCBD tadi. Rupanya, kehadiran mereka di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, menjadi fenomena yang berbeda. Ada yang kemudian mulai memasang tanda pagar (tagar) seperti #citayamfashionweek atau #citayem dan berbagai varian tagar lainnya. Sejak itu, Citayam Fashion Week menjadi semacam akumulator, sejenis energi listrik yang disimpan dalam satu alat bernama aki, untuk mencengkeram dunia. Jakarta tidak ditaklukkan dengan aksi demonstrasi, tetapi oleh para remaja dari ”desa” dengan menggunakan kekuatan media sosial.
Selanjutnya, kau tahu kan kehebohan itu? Sekarang hampir setiap sore zebra cross sekitar Dukuh Atas menjadi arena fashion street. Ia menjelma sebagai landas peraga jalanan yang mengekspresikan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan). Mungkin terlalu revolusioner jika aku mengutip frasa penting dalam sejarah Revolusi Perancis (1789-1790). Moto ini lahir sebagai perlawanan terhadap kekuasaan absolut sistem monarki. Bahkan, setelah mengalami pasang surut, semboyan itu secara resmi masuk ke dalam konstitusi Perancis tahun 1946 dan 1958. Tahun 1848 kata-kata penyemangat ini sebenarnya sudah dimantapkan sebagai semboyan pada Republik Ketiga.
Apakah seheroik itu perjuangan para remaja Citayam ini? Barangkali keduanya memang tak sebanding, apalagi setanding. Tetapi setidaknya, kata-kata kebebasan, keadilan, dan persaudaraan mengusik perhatian banyak kalangan yang kemudian terlibat di dalam ajang yang fenomenanya kemudian disebut sebagai Citayam Fashion Week. Banyak di antara remaja Citayam awalnya tidak saling kenal di antara mereka. Tetapi perjalanan kereta, kesamaan tujuan, serta keserupaan keinginan membuat mereka bergandengan tangan. Episentrum jalanan itu kemudian meluas ketika digaungkan lewat media sosial dan diulas berbagai media.
Baca juga: Dibuat Si Papa, Diokupasi Si Kaya
Tidak heran, jika para eksekutif seperti gubernur dan kaum selebritas, termasuk Mayangsari lho, secara bersama-sama menyeberangi zebra cross Dukuh Atas dengan mengabaikan sekat-sekat kelas sosial yang selama ini membentengi mereka. Mana mungkin Bonge, Jeje, Mami, Ali, atau Kurma sebagai remaja ”desa” bisa jalan bareng di landas peraga bersama-sama kaum kelas berjas dan berdasi di SCBD. Pertama-tama, itulah kemerdekaan (liberte) dalam mengakses infrastruktur kota sebagai setting peristiwa kemodernan. Kemerdekaan adalah kata kunci dalam memperoleh keadilan (egalite). Dengan hanya berbekal uang receh Rp 12.000 di saku (mungkin cukup untuk makan siang cilok di kaki lima), para remaja ini bisa tiba dengan selamat dan gembira di Dukuh Atas. Semuanya berkat keadilan dalam mengakses transportasi publik yang makin ramah kelas dan uang di saku.
Ketika kemerdekaan telah memberikan freedom to freedom kepada semua orang dan ketimpangan kelas sosial akibat pendidikan dan ekonomi meluluh, maka akan lahirlah persaudaraan (fraternite). Harap kau catat, kebersamaan di Dukuh Atas tak bisa disamakan dengan fenomena harajuku di pojokan kota megapolitan seperti Tokyo. Harajuku lahir sebagian besar karena butik-butik dan kafe yang mulai meriah di kawasan Stasiun Harajuku dan Shibuya pasca-keterbukaan Jepang terhadap dunia luar setelah perang. Butik-butik megah, mewah, dan mahal telah memicu kreativitas para remaja dengan kreasi mereka sendiri. Oleh sebab itu, sejak awal harajuku adalah kesadaran tentang fashion. Di antara model-model busana yang dipresentasikan oleh butik mewah dan mapan, para remaja SMA di Tokyo ingin menggenggam kebebasan berekspresi. Lahirlah kemudian gaya berbusana yang disebut harajuku, yang aneh-aneh itu, sampai sekarang.
Anak-anak ’desa’ itu telah menguasai kota dan menjadi trend setter bagi pertumbuhan kota yang makin sehat.
Tidaklah sepadan menyandingkan harajuku dengan haradukuh yang dijadikan tagar oleh sebagian netizen. Citayam Fashion Week tidak akan berujung pada gaya berbusana, tetapi lebih merupakan fenomena sosiologis dengan latar belakang ketimpangan kehidupan antara kota dan pinggiran. Kehadiran media sosial yang menjadi jembatan penting kehadiran Bonge dan kawan-kawan di Dukuh Atas telah memberinya kesempatan untuk mencengkeram dunia. Kini, dunia telah mereka ”taklukkan” dengan genggaman mereka. Anak-anak ”desa” itu telah menguasai kota dan menjadi trend setter bagi pertumbuhan kota yang makin sehat. Syukur-syukur semua bisa berbahagia karena telah keluar dari tirani radikalisme agama yang selama ini menghantui kota kita.