Kekerasan seksual terhadap anak dan oleh anak dapat dikatakan sebagai kegagalan praktik pengendalian sosial terhadap anak. Ini menjadi tanggung jawab orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara.
Oleh
MUHAMMAD MUSTOFA
·6 menit baca
Peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap anak dan kekerasan oleh anak belakangan ini sering menjadi berita di berbagai media. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2021 terdapat setidaknya 11.952 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni). Sebanyak 7.004 kasus (58,6 persen) merupakan kasus kekerasan seksual.
Kekerasan seksual juga merupakan gejala yang paling sering diberitakan oleh media masa. Kasus ini merupakan masalah sosial yang serius, tetapi belum ada yang dapat menjelaskan hal tersebut secara memuaskan. Ketidakmampuan menjelaskan akar masalah sosial tersebut akan dapat berdampak kepada dihasilkannya kebijakan yang tidak efektif dalam memecahkan masalahnya. Dampak lebih lanjutnya adalah bahwa masalah kekerasan terhadap anak dan oleh anak akan menjadi semakin marak.
Kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan bahwa praktik perlindungan terhadap anak tidak berjalan efektif atau tidak ada sama sekali. Sementara kekerasan seksual oleh anak menunjukkan bahwa anak belum memahami nilai dan norma seksualitas sosial. Dengan kata lain, kedua gejala masalah sosial tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan praktik pengendalian sosial terhadap anak.
Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai mekanisme yang dibuat masyarakat, baik secara formal, informal, dan nonformal. Tujuannya untuk memastikan bahwa setiap warga masyarakat tidak kondusif menjadi pelaku pelanggaran nilai dan norma sosial, selain itu agar struktur sosial menjadi tempat yang tidak kondusif bagi dilakukannya pelanggaran.
Apabila pengendalian sosial berjalan efektif, maka tingkat pelanggaran nilai dan norma sosial menjadi relatif terkendali. Meskipun misalnya dalam masyarakat masih terdapat pelanggaran nilai dan norma sosial (yang tingkatnya relatif rendah), itu merupakan gejala yang normal pada masyarakat, dalam pengertian itu merupakan gejala sosial yang akan selalu dapat ditemukan dalam masyarakat. Apabila pelanggaran nilai dan norma sosial tingkatnya tinggi di masyarakat, dapat dikatakan bahwa masalah sosial tersebut mencerminkan ketidaknormalan sosial.
Untuk dapat mempraktikkan pengendalian sosial yang efektif, perlu pemahaman unsur-unsurnya. Unsur-unsur dari pengendalian sosial meliputi: a) nilai dan norma sosial; b) sosialisasi nilai dan norma sosial; c) fasilitasi bagi warga masyarakat untuk dapat melaksanakan norma sosial; dan d) kebijakan sanksi yang beorientasi rehabilitasi.
Nilai sosial merupakan pandangan masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam berbagai bentuk merupakan indikasi bahwa nilai tersebut tidak dipahami dan dihayati oleh anak. Sementara itu, norma sosial merupakan pedoman perilaku dengan cara bagaimana nilai sosial tersebut diterapkan dalam bentuk tindakan.
Belum paham
Dalam kaitan ini, maka kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak menunjukkan bahwa anak belum paham tentang nilai-nilai sosial seksualitas. Bahwa alat seksualitas merupakan hak yang bersifat privat yang harus dilindungi oleh dirinya sendiri. Bahwa hubungan seksual merupakan tindakan yang normal, tetapi hanya dapat dilakukan sesuai dengan norma masyarakat, seperti dilakukan dalam lembaga perkawinan, merupakan kehendak asasi dari setiap pihak tidak boleh dilakukan dengan paksaan, dilakukan setelah anak dianggap sudah dewasa karena mempunyai implikasi tanggung jawab ekonomi, sosial, dan hukum.
Ketidakpahaman anak terhadap nilai dan norma sosial seksualitas, merupakan indikasi adanya kegagalan sosialisasi nilai dan norma sosial seksualitas. Sosialisasi nilai dan norma sosial tersebut harus ditanamkan kepada anak semenjak dini hingga menjadi dewasa dengan cara yang sesuai dengan kelompok usianya.
Yang menjadi masalah adalah banyak dari agen-agen sosialisasi nilai dan norma sosial seksualitas tidak mempunyai kompetensi untuk menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas karena berbagai alasan.
Nilai dan norma sosial seksualitas harus ditanamkan kepada anak oleh para agen sosialisasi sosial, yaitu orangtua atau walinya, guru dan sekolah, dan oleh masyarakat umum. Yang menjadi masalah adalah banyak dari agen-agen sosialisasi nilai dan norma sosial seksualitas tidak mempunyai kompetensi untuk menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas karena berbagai alasan.
Para orangtua, misalnya, merasa canggung untuk menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas terhadap anaknya. Atau barangkali orangtuanya merupakan produk gagal yang gagal paham terhadap adanya nilai dan norma seksualitas seksualitas tersebut.
Guru dan sekolah barangkali juga tidak mempunyai kompetensi menanamkan nilai dan norma sosial seksualitas karena pembinaan guru dan sekolah lebih condong untuk diarahkan menjadi pengajar dan lembaga pengajaran daripada pendidik dan lembaga pendidikan. Masyarakat umum, khususnya dunia bisnis, tidak peduli akan adanya nilai dan norma sosial seksualitas tersebut karena tidak melakukan usaha untuk memfilter informasi seksualitas yang belum pantas dikonsumsi oleh anak dalam pertunjukan film di gedung bioskop, dalam sinetron, dan dalam konten media sosial.
Tanggung jawab negara
Untuk mengatasi hal tersebut, negara (pemerintah) harus mempunyai program pendidikan masyarakat dalam penanaman nilai dan norma sosial seksualitas melalui berbagai media yang popular dikonsumsi masyarakat. Program yang dapat dilakukan, misalnya, pemerintah membuat cerita sinetron yang proporsional untuk menanaman nilai dan norma sosial seksualitas yang dicirikan, antara lain, oleh adanya keakraban keluarga.
Strategi ini jangan diserahkan ke sektor swasta karena sektor swasta lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada membangun masyarakat. Melalui pendidikan formal, diadakan kurikulum pendidikan sosial seksualitas yang membahas tentang syarat-syarat sosial, ekonomi, psikologis, dan yuridis bagai pemenuhan kebutuhan seksual. Memastikan bahwa pasangan yang hendak menikah sudah siap secara psikologis, sosial, ekonomi dan tidak semata-mata hanya memenuhi syarat yuridis saja.
Negara (pemerintah) harus mempunyai program pendidikan masyarakat dalam penanaman nilai dan norma sosial seksualitas melalui berbagai media yang popular dikonsumsi masyarakat.
Fasilitasi agar dapat menjalankan nilai dan norma sosial seksualitas sering kali dilupakan dalam pembuatan kebijakan. Misalnya, cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan seksual adalah melalui lembaga pernikahan, dan salah satu syarat pentingnya adalah kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
Dalam kaitan ini harus ada jaminan bahwa setiap orang dewasa yang secara yuridis memenuhi syarat untuk menikah, akan sudah mempunyai nafkah bagi pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Dengan kata lain ketersediaan lapangan kerja merupakan keharusan bentuk fasilitasinya. Demikian juga pasangan keluarga baru ini harus dijamin dapat mengakses akomodasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Tentang akomodasi, sering kali tidak disinggung dalam kebijakan penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak. Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi pada lingkungan domestik. Hal itu dapat terjadi karena tidak ada norma yang mewajibkan bahwa setiap anak harus diberi fasilitas kamar sendiri untuk melindungi privasinya. Anak tidak boleh dibiarkan tidur bersama orang dewasa lain dalam satu kamar, kendatipun dengan saudara kandung atau kerabatnya. Ketiadaan privasi ruang bagi anak inilah yang memudahkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan domestik.
Kebijakan sanksi apabila terjadi pelanggaran harus dibedakan antara anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban. Bagi anak sebagai pelaku, maka kebijakan sanksinya adalah re-edukasi melalui lembaga pendidikan khusus anak, yang kegiatan utamanya adalah belajar. Dalam lembaga tersebut selain merupakan lembaga pendidikan umum, tempat anak memperoleh pengetahuan, juga merupakan tempat yang dipergunakan untuk menanamkan segala nilai dan norma sosial kepada anak.
Bagi anak yang menjadi korban, harus ada pendamping dan konseling psikologis untuk mengurangi dampak traumatik yang dialami karena pengalaman viktimisasinya. Bagi anak secara keseluruhan harus ada perlindungan dari eksploitasi oleh orang dewasa dengan memastikan bahwa orang-orang dewasa yang bekerja bersama anak bukan merupakan orang dewasa yang mempunyai kecenderungan eksploitatif terhadap anak, termasuk kecenderungan pedofilia.
Profiling pelaku menjadi penting daripada pengebirian pelaku karena pengebirian tidak menghilangkan gejolak seksual. Akhirnya demi perlindungan anak maka profil orang dewasa pelaku kekerasan seksual harus disebarluaskan ke lembaga-lembaga pendidikan dan tempat-tempat pembinaan anak (dalam olahraga, pramuka, atau kesenian).