Domestifikasi Platform Digital
Digitalisasi terjadi di semua negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya. Upaya domestifikasi ranah digital bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan negara terhadap ranah digital nasional.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menepati janji untuk memblokir platform digital yang belum melakukan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Permenkominfo No 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Pemblokiran dilakukan mulai pukul 00.00 WIB, 30 Juli 2022, terhadap delapan layanan mesin pencari, jasa keuangan, dan aplikasi gim: Yahoo, Paypal, Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike, Origin (EA), dan Xandr.com.
Sebuah langkah berani telah diambil. Seperti di negara lain, yang dihadapi pemerintah di sini bukan hanya arogansi platform digital, melainkan juga reaksi negatif publik. Warganet yang telanjur dimanjakan layanan digital itu menumpahkan kemarahannya di media sosial.
Apa yang dilakukan pemerintah merupakan upaya domestifikasi platform digital. Sebuah upaya menjadikan platform digital sebagai entitas yang bisa direngkuh oleh regulasi nasional di bidang teknologi, etika media, pajak, persaingan usaha, dan lain-lain.
Tujuannya, menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas dalam penyelenggaraan tata kelola internet. Domestifikasi platform digital merupakan keniscayaan lintas negara, tetapi mesti dilakukan secara hati-hati agar tak merusak segi-segi transformatif dan deliberatif dari transformasi digital.
Apa yang dilakukan pemerintah merupakan upaya domestifikasi platform digital.
Dualitas ranah digital
Dalam buku berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism (2016), Vincent Mosco mengidentifikasi dua cara pandang tentang digitalisasi. Cara pandang pertama melihat ranah digital sebagai ruang publik demokratis, di mana semua orang secara leluasa mengakses informasi dan hiburan, menyampaikan pendapat, berpartisipasi aktif dalam perbincangan publik.
Dalam ruang publik baru ini, pelibatan negara semestinya bersifat minimal, hanya untuk mewujudkan akses informasi yang terbuka bagi semua orang dan meminimalkan hambatan yang mungkin muncul.
Pandangan kedua melihat ranah digital sebagai obyek instrumentalisasi perusahaan platform digital yang dalam banyak kasus berkelindan dengan kepentingan ekonomi-politik negara adidaya. Ranah digital adalah ranah komodifikasi, komersialisasi, dan pengawasan (surveilans) perusahaan teknologi global melalui berbagai layanan digital yang terus mereka tawarkan kepada khalayak luas.
Teknologi komputasi dan berbagai turunannya—platform mesin pencari, medsos, situs e-dagang, dan lain-lain—tak hanya fenomena kemajuan teknologi yang berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi juga fenomena ekonomi-bisnis yang berdampak luas pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, pemerataan, dan tanggung jawab sosial.
Digitalisasi bukan hanya melahirkan lompatan kemajuan di bidang sains, ekonomi kreatif, dan good governance, melainkan juga menimbulkan ketimpangan antarkawasan, disrupsi media, polarisasi sosial, pudarnya kedaulatan fiskal, dan lain-lain.
Pakar media, seperti Mosco, Shoshana Zuboff, Robert McChesney, dan Dan Schiller, menegaskan pentingnya kita melihat digitalisasi dari perspektif kritis ini. Mereka cenderung skeptis gerak digitalisasi global akan mendukung pelembagaan demokrasi dan kebebasan, alih-alih justru melahirkan jenis kapitalisme baru yang sangat eksploitatif.
Pokok soalnya di sini adalah dualitas ranah digital. Di satu sisi ia merupakan arena bagi setiap orang untuk mengakses informasi, wacana, dan hiburan secara bebas. Ruang digital merupakan ruang mediasi bagi keanekaragaman nilai, pandangan, dan orientasi di masyarakat, sekaligus struktur antara bagi perwujudan hak-hak politik warga negara secara komunikatif.
Dengan kelemahan-kelemahannya, medsos adalah ruang tempat bersemainya cakrawala kesadaran, pemikiran, dan nilai semua pihak yang juga berfungsi menyambungkan realitas penyelenggaraan kekuasaan dengan dinamika aspirasi di masyarakat. Namun, di sisi lain, ruang digital juga merupakan sistem ekonomi yang beroperasi berdasarkan matra bisnis.
Pokok soalnya di sini adalah dualitas ranah digital.
Perusahaan digital, seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft, dibangun terutama bukan karena idealisasi tentang kebebasan dan demokrasi, melainkan karena motif ekonomi.
Rasionalitas instrumental sangat dominan dalam operasi mereka, yakni bagaimana memanfaatkan pengguna internet sebagai obyek penambangan data, pengawasan digital, periklanan tertarget, dan penerapan kecerdasan buatan. Tantangannya kemudian adalah bagaimana menyeimbangkan dualitas ranah digital itu.
Bahwa ranah digital adalah entitas komunikasi sekaligus entitas bisnis. Bahwa teknologi internet memfasilitasi proses interaksi sosial sekaligus proses komodifikasi. Dualitas ruang digital sebagai wahana komunikasi warga dan operasionalisasi sistem bisnis, sebagai ruang interaksi sosial sekaligus ruang komodifikasi, sangat penting ditegaskan sebagai titik tolak menyikapi gerak digitalisasi.
Saat ini, kita sedang menghadapi kecenderungan kuat penempatan ranah digital semata-mata sebagai wahana komunikasi dan interaksi sosial. Kata sosial di media sosial begitu hegemonik sehingga banyak orang tak menyadari medsos sebenarnya sarana bagi perusahaan platform mengeruk keuntungan dari kecanduan masyarakat pada medsos.
Supriyanto
Kecenderungan reduksi ranah digital sebagai semata-mata wahana komunikasi atau interaksi sosial memiliki sejumlah implikasi. Pertama, berbagai upaya untuk mengatur tata kelola internet ditentang oleh perusahaan raksasa digital dan negara penyokongnya dengan jargon kebebasan berpendapat atau kebebasan internet. Para aktivis dan akademisi terpengaruh oleh propaganda ini serta turut menentang pengaturan internet oleh negara atau lembaga internasional, seperti International Telecommunications Union.
Kedua, ranah digital seakan dibiarkan tak terjangkau oleh hukum nasional ataupun internasional. Bukan hanya hukum media; hukum pajak, teknologi, perlindungan konsumen, dan persaingan usaha juga tak bisa menjangkau ranah digital.
Ketakterjangkauan ini mempersulit upaya mengoreksi dominasi raksasa digital, seperti Amazon, Google, Facebook, dan Microsoft, serta memitigasi berbagai dampaknya: ketimpangan ekonomi, penghindaran pajak, gelombang pengangguran akibat alih daya digital, dan kemunduran industri media nasional.
Ketiga, ketika medsos hanya dilihat sebagai ruang interaksi sosial semata, perusahaan yang mengoperasikannya seperti memperoleh impunitas. Jika ada hoaks yang merugikan, masalahnya direduksi sekadar sebagai konflik antara pembuat dan korban hoaks.
Padahal, perusahaan platform medsos memfasilitasi persebaran hoaks dan mengambil keuntungan darinya. Semakin kontroversial hoaks, semakin populer layanan medsos yang menyebarkannya, semakin tinggi nilai saham perusahaan penyedia layanan medsos itu, semakin meningkat potensi pendapatan iklannya.
Digitalisasi terjadi di semua negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya.
Dalam kerangka inilah upaya negara untuk mengatur platform digital semestinya diletakkan. Seperti menjadi kelaziman negara demokrasi, upaya domestifikasi ranah digital bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan negara terhadap ranah digital nasional.
Yang hendak diatasi adalah problem globalisme unilateralisme digital. Digitalisasi terjadi di semua negara, tetapi praktis hanya satu negara yang mengendalikannya.
Digitalisasi merupakan kenyataan global, tetapi surplus ekonomi yang dihasilkan secara oligopolik dikuasai dua atau tiga korporasi di satu negara itu.
Pelibatan masyarakat
Namun, sekali lagi, regulasi digitalisasi mesti dilakukan secara bijaksana. Digitalisasi bukan hanya melahirkan dampak, melainkan juga membawa banyak peluang transformatif. Segi-segi deliberatif-transformatif digitalisasi mutlak untuk senantiasa dijaga dan regulasi yang lahir mesti fokus menangani dampak yang merugikan.
Hal yang tak kalah penting, harus dihindari tendensi sekuritisasi dan kriminalisasi kebebasan warga. Fokus pengaturan semestinya pada hak dan kewajiban perusahaan platform digital, bukan bagaimana warga menggunakan layanan digital untuk menjalankan berbagai kebutuhan.
Baca juga: Jurnalisme dan Kuasa Platform Digital
Baca juga: Menggugat Monopoli Platform Digital
Dialog multipihak semestinya menjadi landasan. Regulasi digitalisasi idealnya melibatkan masyarakat sipil secara bermakna. Masyarakat sipil semestinya juga membuka diri terhadap perlunya regulasi digitalisasi.
Pembahasan regulasi ini juga perlu melibatkan perusahaan platform digital. Dengan catatan, mereka memiliki itikad baik untuk menyesuaikan diri dengan sistem regulasi nasional serta tidak secara diam-diam membenturkan pemerintah dan masyarakat sipil terkait dengan rencana regulasi yang sedang disiapkan pemerintah.
Agus Sudibyo, Dosen Akademi Televisi Indonesia, Jakarta