Selama pandemi, eskalasi limbah medis terjadi dalam tingkat ekstrem. Strategi penanganan yang paling esensial dengan menyebar tanggung jawab pembuangan limbah medis dari hulu ke hilir, dari industri hingga pengguna.
Oleh
GLENSHAH FAUZI
·4 menit baca
Sampah telah menjadi masalah aktual dan besar bahkan sebelum pandemi menghantam bumi. Bank Dunia (2018) memperkirakan 2,01 miliar ton limbah padat perkotaan dihasilkan pada 2016 dan jumlah ini diperkirakan terus meningkat hingga 3,40 miliar ton pada 2050 dengan pola hidup yang tidak berubah. Laporan ini menggambarkan realita masa depan bumi akan dipenuhi sampah jika kita tidak melakukan perubahan.
Selama pandemi Covid-19, eskalasi limbah yang dihasilkan sektor medis terjadi dalam tingkat ekstrem. Dilansir dari The Providence Journal, pada awal merebaknya Covid-19 di Wuhan, China, jumlah limbah medis bisa mencapai 247 ton per hari. Data ini, apabila direfleksikan pada negara seperti Amerika Serikat, maka dalam dua bulan jumlah limbah yang dihasilkan dapat menyaingi total limbah medis tahunan. Hal ini jelas menjadi ancaman global yang tidak hanya terjadi pada negara-negara besar.
Isu yang sama juga dihadapi oleh Indonesia, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari Maret 2020 hingga Juli 2021 telah terdapat 18.460 ton timbulan limbah Covid-19. Jumlah ini sangat besar dan mengkhawatirkan.
Permasalahan limbah medis selalu lebih sulit ditangani dibandingkan sampah pada umumnya. Selain masalah volume penampungan, kondisi sampah yang infeksius menjadi tantangan tersendiri bagi pengolah. Penanganan khusus diperlukan agar resiko infeksi virus tidak mengancam petugas dan permukiman sekitar penampungan.
Limbah medis sebenarnya telah menjadi masalah sejak lama. Manajemen limbah yang tidak maksimal dilakukan oleh rumah sakit sering kali menyebabkan limbah yang tergolong B3 menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini sampai ke lingkungan bebas.
Padahal, menurut UU Nomor 44 Tahun 2009, rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) memiliki tanggung jawab untuk mengelola limbah medis yang dihasilkan. Namun, kerja ini tidak dapat maksimal dilaksanakan apalagi selama pandemi Covid-19 karena beban kerja yang begitu berat.
Jumlahnya yang meningkat tajam selama pandemi khususnya materi protokol seperti masker dan sarung tangan.
Hal ini diperparah dengan penggunaan peralatan medis yang dilakukan secara mandiri oleh perorangan, bukan dari fasyankes. Jumlahnya yang meningkat tajam selama pandemi khususnya materi protokol seperti masker dan sarung tangan. Belum lagi rendahnya pengetahuan masyarakat umum mengenai penanganan limbah medis secara benar.
Semua aspek tersebut menyebabkan peningkatan jumlah limbah yang berisiko tinggi tersebut di lingkungan bebas. Bahkan, berdasarkan laporan dari Ocean Today, 1,56 miliar masker telah memenuhi lautan kita. Realita ini jelas perlu ditangani demi kondisi lingkungan kita.
Strategi penangan yang tepat
Saat ini, hal yang paling penting untuk kita persiapkan adalah strategi penanganan yang ampuh mengendalikan jumlah limbah medis yang lepas ke lingkungan. Tindakan ini perlu segera diambil oleh pihak terkait, khususnya KLHK serta Kementerian Kesehatan.
Namun, melihat besarnya beban yang ditangani oleh pihak medis saat ini, perlu ada alih tanggung jawab untuk menangani permasalahan ini dari Kementerian Kesehatan. Tentu kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab ini dari sektor medis sepenuhnya. Namun, solidaritas kelembagaan bahkan dari masyarakat juga perlu ditingkatkan demi kemaslahatan bersama.
Solidaritas kelembagaan bahkan dari masyarakat juga perlu ditingkatkan demi kemaslahatan bersama.
Strategi penanganan yang paling esensial adalah dengan menyebar tanggung jawab pembuangan limbah medis dari hulu ke hilir, dari industri hingga masyarakat pengguna. Menyebar tanggung jawab ini dilakukan dengan aktif mempromosikan pengolahan limbah medis sebelum dibuang. Langkah ini menjadi fundamental bersamaan dengan memperbanyak fasilitas pengolahan limbah medis.
Saat ini fasilitas pengolahan limbah medis nasional hanya mampu mengolah maksimal 458,5 ton limbah medis per hari. Jumlah timbulan limbah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit diperkirakan mencapai 383 ton per hari, nilai ini belum menghitung limbah medis yang dihasilkan oleh perorangan. Jumlah ini tidak dapat ditangani maksimal oleh fasilitas pengolahan karena keberadaannya yang lebih dari 70 persen terpusat di Jawa.
Penanganan ini kian sulit karena beban kerja petugas medis yang berlebih. Oleh karena itu, pengolahan limbah medis sebaiknya dialihkan kepada lembaga khusus yang dibentuk pemerintah. Tugas ini dapat diemban oleh lintas kementerian dan industri untuk membangun fasilitas pengolahan limbah medis. Hal ini bisa dikolaborasikan dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) ataupun urun rembuk dari berbagai pihak.
Gagasan kita mengenai akselerasi ekonomi pascapandemi tidak akan pernah bisa berjalan lancar jika masih ada isu pandemi yang mengganjalnya. Penanganan limbah medis bukanlah suatu isu receh yang dapat dinafikan dari upaya meningkatkan perekonomian. Arah gerak perekonomian global yang mengusung green economy, sebagaimana pidato Presidan Joko Widodo, harusnya menjadi pecutan untuk segera menangani permasalahan ini.
Apabila masalah ini tidak terselesaikan, maka kecenderungan investor untuk masuk dan membantu menggeliatkan ekonomi akan terhalang. Belum lagi ditambah isu lingkungan lainnya seperti pertambangan yang tidak ramah lingkungan, serta deforestasi besar-besaran di hutan Tanah Air. Jangan pula setelah kita bebas dari Covid-19 di kemudian hari, tetapi malah kembali terjerat permasalahan limbah berisiko tinggi yang menumpuk dan memenuhi lautan.
Glenshah Fauzi, Mahasiswa Kimia UGM; Tergabung dalam Dewan Energi Mahasiswa (DEM) UGM; Pernah Mengikuti Kelas Sosiologi Energi