Menolak Obyektivikasi Pemilih Muda
Tingginya angka partisipasi pemilih muda selama ini tidak serta-merta menjamin aspirasi mereka tersalur dalam demokrasi. kita perlu untuk menggunakan cara pandang baru dalam memahami partisipasi pemilih muda.
Pemilih muda sering kali disebut-sebut sebagai kunci untuk memenangkan kontestasi dan menyukseskan penyelenggaraan Pemilu 2024. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, Indonesia pada 2024 diperkirakan memiliki 206.689.516 penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Dari jumlah tersebut, sebanyak 110.934.265 jiwa (53,6 persen) merupakan pemilih dengan rentang usia 17-39 tahun.
Jumlah pemilih muda yang hampir mendominasi tersebut kerap dilirik oleh partai politik untuk mendulang suara. Tidak hanya itu, hal tersebut juga membuat pemilih muda dianggap sebagai kategori pemilih strategis yang disasar penyelenggara pemilu untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di balik menggiurkannya potensi jumlah pemilih muda bagi parpol dan penyelenggara pemilu, ada kondisi obyektif yang juga perlu diperhatikan. Penelitian di beberapa negara di Eropa menemukan tren bahwa pemilih muda cenderung golput (Cammaerts dkk, 2016). Namun menariknya, responden penelitian tersebut tetap meyakini pentingnya pemilu dalam demokrasi.
Baca juga: Menjangkau Pemilih Muda dari Secangkir Kopi
Hal yang serupa juga dapat dilihat dalam konteks Indonesia. Riset mengenai partisipasi pemilih muda di Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2018 dan Pilkada Temanggung 2019 menunjukkan bahwa pemilih muda cenderung skeptis terhadap pemilu dan kandidatnya. Namun, hal ini bukan berarti pemilih muda merupakan warga negara yang pesimistis. Mereka terbuka dengan program pendidikan politik dan memiliki harapan terhadap hasil pemilu yang transformatif (Fitriyah dkk, 2021).
Pertanyaannya, jika pemilih muda masih percaya pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang tidak tergantikan, mengapa partisipasi mereka rendah?
Ekspresi politik pemilih muda
Pada Pemilu 2019, walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklaim angka partisipasi pemilih tinggi, tetapi kita tidak dapat begitu saja mengabaikan suara golput. Untuk pilpres, terdapat 41.975.364 (21 persen) pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan 3.754.905 (2,4 persen) pemilih dengan suara tidak sah. Sedangkan pada pileg, terdapat 42.512.657 (21,3 persen) pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan 17.503.953 )11,1 persen) pemilih dengan suara tidak sah.
Untuk diketahui, angka suara tidak sah dalam Pemilu 2019 ini merupakan yang kedua tertinggi sejak Pemilu 1999 (Perludem, 2021). Selain itu, kita perlu memahami bahwa selain tidak datang ke TPS, golput juga dilakukan dengan sengaja merusak surat suara.
Oleh karena itu, KPU tidak bisa menutup mata dengan berpikir bahwa suara tidak sah hanya disebabkan rumitnya surat suara. Walaupun faktor tersebut benar, tetapi tidak menafikan fakta bahwa ada ekspresi politik yang ingin disalurkan dengan sengaja merusak surat suara.
Sempitnya ruang partisipasi masyarakat saat ini seakan-akan membuat pemilu menjadi satu-satunya media untuk menyalurkan aspirasi.
Dalam demokrasi, masyarakat seharusnya memiliki lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Namun, sempitnya ruang partisipasi masyarakat saat ini seakan-akan membuat pemilu menjadi satu-satunya media untuk menyalurkan aspirasi.
Kalaupun pemilu merupakan satu-satunya solusi, hal ini juga tidak diimbangi dengan tawaran politik yang menjawab kebutuhannya. Kita bisa lihat dari peristiwa politik beberapa waktu lalu, salah satunya pada aksi #ReformasiDikorupsi. Demonstrasi terbesar pasca-Reformasi tersebut merupakan bentuk partisipasi generasi muda yang tidak puas dengan kondisi demokrasi dan produk hukum yang dihadirkan.
Selain itu, terpampang jelas kondisi demokrasi yang semakin suram dengan fenomena internal parpol yang tidak demokratis, oligarki yang menguat di pemerintahan dan parpol, dan tingginya presidential threshold yang membuat terbatasnya pilihan pemilih. Berbeda dengan generasi yang lebih tua yang mungkin juga tidak merasa puas, pemilih muda memiliki kecenderungan untuk mengambil opsi golput jika tidak ada upaya perbaikan kualitas demokrasi.
Mendefinisikan ulang
Partisipasi politik pemilih muda tidak dapat diukur dari angka partisipasinya di TPS semata. Betul bahwa angka partisipasi pemilih yang tinggi penting sebagai legitimasi pemimpin terpilih, tetapi tingginya angka partisipasi tersebut tidak serta-merta menjamin tersalurkannya aspirasi pemilih muda dalam demokrasi. Nampaknya, kita perlu untuk menggunakan cara pandang baru dalam memahami partisipasi pemilih muda dengan tidak lagi melihatnya sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang aktif terlibat.
Saat ini, KPU sedang menyusun Peraturan KPU (PKPU) tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. PKPU ini akan mengatur beberapa isu strategis seperti hak partisipasi, pemilu inklusif, bentuk partisipasi, sosialisasi dan pendidikan pemilih, pemantauan, instrumen transparansi dan akuntabilitas, center of knowledge dan kolaborasi antarpihak, serta ketentuan-ketentuan lainnya (Mellaz, 2022).
Tahapan penyusunan PKPU ini dapat menjadi satu momentum penting bagi KPU untuk memperbaiki kualitas partisipasi politik khususnya pemilih muda. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pemilu terkait partisipasi politik pemilih muda menyongsong Pemilu 2024.
Tahapan penyusunan PKPU ini dapat menjadi satu momentum penting bagi KPU untuk memperbaiki kualitas partisipasi politik khususnya pemilih muda.
Pertama, alih-alih menggunakan gimmicks di media sosial, KPU perlu terlebih dahulu melakukan pendekatan partisipatoris yang memberi lebih banyak kesempatan bagi pemuda untuk menuangkan gagasan tentang bagaimana mereka ingin dilibatkan dalam proses pemilu.
Adapun dalam hal sosialisasi pemilu, KPU perlu membawanya di tempat pemilih muda berinteraksi sehari-hari di dalamnya. Namun, hal ini bukan berarti dilakukan hanya dengan penggunaan media sosial. Penyelenggara pemilu juga perlu melakukan strategi engagement secara langsung seperti di tempat-tempat umum misalnya mal dan sarana transportasi publik serta berjejaring dengan kelompok hobi anak muda.
Kedua, KPU perlu melakukan pendidikan politik di lingkungan keseharian pemilih muda. Pendidikan politik yang dimaksud tidak sekadar tentang pengajaran politik kelembagaan, tetapi juga melibatkan diskusi politik sehari-hari.
Pada masa kampanye, hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan menghadirkan debat pemilu di lingkungan sekolah dan kampus. Kegiatan ini memungkinkan pemilih muda terlibat dalam diskusi politik yang relevan bagi mereka. Karena ide ini sensitif, perlu dipastikan kegiatan yang dilaksanakan tidak mengganggu netralitas sekolah.
Ketiga, agar pemilih muda dengan muda mengetahui parpol atau kandidat yang cocok dengan preferensinya, perlu ada data track record dan tawaran kebijakan kandidat yang terdigitalisasi. Dari berbagai studi dan praktik di beberapa negara, sudah berkembang aplikasi saran memilih atau yang dikenal dengan voting advice application (VAA).
Baca juga: Kejar Suara Anak Muda, Parpol Perlu Sasar Isu dan Kebutuhan Mereka
Aplikasi VAA memudahkan pemilih muda untuk memahami di mana posisi parpol atau kandidat dan tawaran kebijakan yang paling sesuai dengan preferensi mereka. Di Indonesia, terdapat VAA, yakni kawula17.id yang muncul dan dapat terus dikembangkan dengan dukungan serta kolaborasi yang kuat oleh organisasi masyarakat sipil, media, parpol, dan penyelenggara pemilu.
Terakhir, keberhasilan pemilu seharusnya tidak dilihat pada angka partisipasi saja. Golput, baik itu dengan tidak datang ke TPS maupun merusak surat suara juga perlu dipahami sebagai ekspresi politik. Alih-alih melihatnya sebagai masalah, ekspresi tersebut seharusnya dapat dijadikan sebagai sebuah evaluasi dan dianalisis sebagai masukan untuk perbaikan demokrasi.
Tidak lagi melihatnya sebagai sekadar angka, penyelenggara pemilu dan parpol diharapkan dapat bersinergi dengan pemilih muda untuk menguatkan demokrasi alih-alih hanya memanfaatkannya untuk hal-hal yang prosedural. Lebih dari itu, negara juga harus memperbaiki praktik demokrasi yang dijalankan alih-alih berharap pemilih muda dapat begitu saja menerima, seolah-olah tidak memiliki suara tentang bagaimana demokrasi dihadirkan dan dikelola.
Fuadil 'Ulum, Peneliti Pusat Kajian Politik Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI)