Konsep Rehabilitasi dalam RKUHAP
Baik dicermati bagaimana sesungguhnya latar belakang pikir dan niat penyusun RKUHAP dalam soal ini. RKUHAP sebaiknya merancang soal ganti kerugian saja. Di sisi lain perlu pula ambil langkah perancangan RUU Rehabilitasi.
Rehabilitasi. Kata ini sering sekali terdengar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (BP, 1996) memberi dua arti. Pertama, pemulihan ke kedudukan semula. Kedua, perbaikan anggota tubuh yang cacat.
Dalam pengertian yang terakhir itu, dunia kesehatan memang mengenal kata rehabilitasi medis, di samping rehabilitasi dalam kaitannya dengan pemulihan korban dari ketergantungan pada narkoba.
Black’s Law Dictionary (Henry Campbell Black, West Publishi Co, St Paul, Minn, 1979) memberi arti yang lebih ringkas: memulihkan kembali hak, kedudukan, dan kehormatan yang semula dimiliki.
Adapun kamus bahasa Inggris yang dikeluarkan Oxford University Press (1971-1982) memberi kata itu tiga pengertian.
Pertama, memulihkan dengan tindakan resmi pada posisi atau kedudukan semula, atau pemulihan nama baik dari tuduhan yang tak berdasar ataupun tindakan yang salah oleh lembaga yang berwenang. Kedua, mengembalikan pada kondisi awal. Ketiga, memulihkan kembali pada keadaan semula.
Apa yang menarik dari ketiga kamus? Rehabilitasi hanya berkaitan dengan ihwal nama baik, martabat, dan kehormatan.
Pemahaman yang dapat ditarik, pengaturan rehabilitasi hanya sekadar didekatkan dengan soal tuntutan ganti kerugian ketika keduanya disebut secara bersamaan dalam Pasal 130.
RKUHAP
Lantas kalau Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP/RKUHAP) mengatur soal rehabilitasi, pada arti yang mana hal itu akan dioperasikan? Mengapa hal itu mesti dipertanyakan?
Bab XI RKUHAP memuat rancangan pengaturan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Penempatan keduanya bagai didesain dalam satu tarikan napas. Berhubungan sebab akibat? Ternyata tidak begitu jelas. Penjelasan umum tidak berbicara tentang itu.
Begitu pula penjelasan tentang ganti kerugian (Pasal 128-130) ataupun tentang rehabilitasi (Pasal 131-132). Pemahaman yang dapat ditarik, pengaturan rehabilitasi hanya sekadar didekatkan dengan soal tuntutan ganti kerugian ketika keduanya disebut secara bersamaan dalam Pasal 130.
Jadi bukan karena sesuatu yang (secara intrinsik) diderita oleh sebab ”kesalahan penerapan hukum” dan oleh pengadilan ”diputus bebas atau diputus lepas” (Pasal 131). Pemberian rehabilitasi dicantumkan dalam putusan pengadilan (Pasal 131.2), kecuali dalam hal tertentu dan yang karena alasan tertentu dapat diputuskan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Pasal 130 jo 131.3).
Adanya pengaturan ganti kerugian yang diakibatkan penerapan hukum yang keliru atau tindakan hukum yang salah pastilah bagus. Ada wajah kemanusiaan yang sejuk dan memperjelas wujud keadilan yang ingin diwujudkan. Pengakuan terhadap kemungkinan adanya kerugian yang bersifat intrinsik tadi, dan proses tuntutan (istilah dalam RUU) dalam proses yang dalam praktik di negara lain dikenal dengan istilah tort, adalah kemajuan yang layak disambut baik.
Namun, bagaimana dengan rehabilitasi? Kalau ternyata tidak dalam kaitan dengan kerugian material (intrinsik), tak keliru kalau orang berkesan bahwa rehabilitasi ini adalah dalam makna seperti yang diberikan di kamus tadi. Benarkah demikian? Tidak jelas juga. RUU tidak memberi pemahaman apa pun tentang lingkup jangkauannya.
Yang ada, rehabilitasi menjadi kewenangan dan diberikan dengan putusan hakim.
Aspek konstitusi
Dalam teori dan praktik konstitusi dikenal hak dan kewenangan istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada/hanya dimiliki kepala negara: apakah presiden, raja, ratu, atau sultan (dalam negara dengan sistem pemerintahan monarki).
Istimewa, bukan saja karena hanya dimiliki dan dipegang kepala negara, melainkan juga karena asal-usul hak dan kewenangan, atau tampilan penggunaannya. Kewenangan itu berasal dari salah satu cabang kekuasaan negara (yudikatif) dan diberikan ke cabang kekuasaan lain (eksekutif) sebagai penghormatan/kehormatan. Istimewa, karena kewenangan tersebut dapat digunakan tanpa pertanggungjawaban kepada kekuasaan negara yang mana pun.
Ada wajah kemanusiaan yang sejuk dan memperjelas wujud keadilan yang ingin diwujudkan.
Syarat dan tata cara bisa saja diatur, tetapi kata dan sikap akhir digunakan atau tidaknya kewenangan itu akan memberi atau menolak, sepenuhnya adalah hak kepala negara. Kepala negara memiliki imunitas dalam penggunaannya, dan tidak dimakzulkan karena bentuk atau akibat penggunaan kewenangan itu an sich.
Hak dan kewenangan istimewa itulah yang secara populer dikenal sebagai hak prerogatif. Hak inilah yang di Indonesia sering disalahartikan dan di-gebyah-uyah/dicampur aduk dengan kewenangan konstitutif yang ”aslinya” memang dimiliki presiden dalam corak pemerintahan yang menganut sistem presidensial: misalnya hak dan kewenangan untuk mengangkat menteri dan pemimpin lembaga pemerintah lain sebagai pembantu dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Black’s Law Dictionary memberi pengertian prerogatif: an exclusive or peculiar right or privilege. The special power, immunity, right or advantage vested in an official person, either in generally, or in respect of things of his office, or in an official body, as a court or legislature.
Didie SW
Hak prerogatif terdiri dari hak dan kewenangan memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ini diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Secara esensial, grasi bermakna pengampunan atas pidana yang dijatuhkan. Bentuknya bisa penghapusan/pengurangan masa pidana, pengubahan pelaksanaan pidana.
Amnesti merupakan tindakan peniadaan akibat hukum, sedangkan abolisi intinya peniadaan tuntutan hukum. Rehabilitasi mencakup isi dan makna pemulihan kembali seseorang (pada) kedudukan dan atau posisi beserta kehormatan dan hak-hak yang melekat padanya, yang semula dimiliki sebelum adanya tindakan hukum/keputusan yang belakangan mengubah atau meniadakannya.
Dalam arti yang mana?
Samakah rehabilitasi dalam RKUHAP dengan yang dimaksud dalam konstitusi/UUD? Penjelasan umum yang biasanya menjadi tempat untuk mengutarakan aspek-aspek falsafati/ideologis/politis yang melambari konsepsi pengaturan tidak berbicara apa pun tentang itu. Penjelasan pasal dan ayat yang mengatur rehabilitasi juga dengan sederhana hanya menyatakan ”cukup jelas”.
Baca juga Selain KUHP, KUHAP Juga Mendesak untuk Direvisi
Jika mengatur yang sama, akankah hal itu berarti menggantikan ketentuan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD? Bukankah hal itu tak bisa dilakukan selain dengan melalui proses mengubah Pasal 14 UUD? Jika yang dirancang dalam KUHAP hanya sebatas ganti kerugian, karena itu perlukah mengatur rehabilitasi?
Selain itu, jika menyangkut lingkup pemahaman dan materi yang sama, mestinya rehabilitasi (seperti halnya amnesti dan abolisi) diatur di UU tersendiri seperti halnya grasi (UU No 22/2002 tentang Grasi jo UU No 5/2010). Diatur di UU tersendiri karena secara khusus akan diatur ketentuan soal lingkup, syarat, dan tata cara bagaimana presiden menggunakan hak dan kewenangan itu.
Perhatian dalam soal ini perlu, agar seperti alur pemahaman terdahulu, soal ini tak menimbulkan kerancuan dan perdebatan dalam proses pembahasan RUU. Atau bahkan, problema akademik jika nantinya tetap diatur sebagai ketentuan UU KUHAP. Sebab, bagaimanapun hal ini berkaitan dengan konsepsi yang memikul pemahaman yang lebih luas dan sudah lebih mapan dikenali dalam tataran konstitusi.
Bagaimana sebaiknya?
Sekali lagi baik dicermati bagaimana sesungguhnya latar belakang pikir dan niat penyusun RKUHAP dalam soal ini. Akan mengatur rehabilitasi sebagaimana dimaksud sebagai hak prerogatif yang dikenal UUD seperti halnya grasi, amnesti, dan abolisi?
Kalaupun demikian maksudnya, mestinya bukan KUHAP bajunya. Karena itu, kalau maksudnya bukan sebuah peniadaan rehabilitasi sebagai bagian dari hak prerogatif presiden, seyogianya soal ini ditiadakan dari konsep pengaturan Bab XI RKUHAP.
RKUHAP sebaiknya merancang soal ganti kerugian saja. Namun, jika demikian, baik disertai catatan tentang perlunya segera diambil langkah perancangan RUU Rehabilitasi (langkah ini juga baik jika sekaligus ditimbang pengaturan soal amnesti dan abolisi, yang selama ini juga belum mendapat pengaturan berdasarkan UUD 1945).
Khusus mengenai ganti kerugian, apabila semangatnya ”memberi keadilan” yang timbul oleh sebab telah berlangsungnya kekeliruan penanganan, atau kesalahan dalam penerapan hukum, yang layak ditimbang adalah bagaimana agar acara pemeriksaan tuntutan seperti dirancang dalam Pasal 128.1-4 RUU dapat diselenggarakan secara lebih cepat, sederhana, dan mudah.
Bambang Kesowo, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas, Pengajar Sekolah Pascasarjana FH UGM