Prasyarat Keberhasilan dan Nilai Tambah ”Super App”
Pemerintah akan membuat aplikasi super untuk menghemat pengeluaran negara dan meningkatkan pelayanan pada publik. Jika saat ini ada sekitar 24.000 aplikasi di lembaga pemerintahan, nanti hanya akan ada 8-10 aplikasi.
Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkritisi banyaknya jumlah aplikasi di berbagai kementerian dan lembaga yang jumlahnya sekitar 24.000. Aplikasi sebanyak itu disebutnya tidak efisien dan memboroskan anggaran negara karena tidak bersifat multifungsi dan tidak semua dioperasikan secara rutin.
Apa yang disampaikan oleh Menkeu tersebut sesungguhnya menggemakan ulang apa yang telah menjadi keprihatinan bersama sejak lama. Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa pemerintah di berbagai level mempunyai banyak sekali aplikasi, yang keberadaannya sering kali juga hanya disadari oleh segelintir pihak.
Selain membawa dampak negatif sebagaimana disebutkan Menkeu, realitas ini juga menyulitkan masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN) sekaligus. Masyarakat terpaksa untuk menghadapi banyak pintu pelayanan dan ASN akan kebingungan karena harus berurusan dengan banyak aplikasi dalam melakukan pekerjaannya.
Baca juga: Satu Data Indonesia untuk Digitalisasi Layanan
Mengapa lembaga pemerintah gandrung membuat aplikasi? Dalam hal ini, tiga hal layak untuk dikedepankan. Pertama, paradigma yang dianut pemerintah bahwa teknologi merupakan solusi untuk banyak jika bukan semua masalah di pemerintahan. Pandangan ini disebut dengan solusionisme. Solusionisme dianut oleh pemerintah karena optimisme yang berlebih terhadap manfaat teknologi dan hal ini terjadi sejak teknologi internet mulai masif diadopsi di Indonesia.
Pandangan ini tecermin dalam fakta bahwa secara rutin diberikan penghargaan kepada kementerian dan lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) yang menciptakan aplikasi yang diklaim sebagai inovasi, misalnya Top Inovasi Pelayanan Publik oleh Kemenpan-RB dan Innovative Government Awards oleh Kemendagri. Mayoritas dari pemenang penghargaan tersebut adalah mereka yang membuat aplikasi baru.
Ini menciptakan kesan keliru bahwa inovasi identik dengan aplikasi. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara, di mana peserta diklat dituntut untuk membuat proyek perubahan yang sering kali diterjemahkan sebagai membuat aplikasi baru.
Kedua, pandemi Covid-19. Pandemi yang berlangsung di Indonesia sejak 2020 ini membawa efek berupa pembatasan interaksi tatap muka, dan hal ini berlaku pula dalam segala aktivitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menggantikan interaksi tatap muka tersebut, dibuatlah berbagai aplikasi di lembaga pemerintahan. Tren yang telah ada sebelumnya di mana setiap lembaga membuat aplikasinya sendiri pun menjadi semakin akseleratif.
Ketiga, ego sektoral dalam setiap lembaga pemerintahan. Setiap K/L dan pemda bersikeras mempertahankan keberadaan aplikasi yang dikelolanya atau membuat yang baru meskipun mungkin mengetahui bahwa hal itu tidak efisien jika dilihat secara makro karena dengan demikian mereka dapat mengamankan anggaran dan kewenangan yang terkait dengan aplikasi.
Ego sektoral dalam setiap lembaga pemerintahan. Setiap K/L dan pemda bersikeras mempertahankan keberadaan aplikasi yang dikelolanya.
Integrasi
Merespons banyaknya aplikasi pemerintah tersebut, Menkeu mewacanakan untuk menerapkan kebijakan one data, yakni mengintegrasikan semua data K/L dalam satu database. Senada dengan hal tersebut, Menkominfo Johnny G Plate juga menyebutkan bahwa pihaknya akan menutup aplikasi yang ada secara bertahap dan membuat aplikasi super (super app) untuk menghemat pengeluaran negara dan meningkatkan pelayanan kepada publik. Nanti hanya akan ada 8-10 aplikasi yang dimiliki oleh semua K/L dan pemda.
Rencana tersebut perlu disambut dengan baik dan diapresiasi. Meski demikian, diharapkan bahwa rencana tersebut tidak berlalu sebagai wacana saja. Ini karena isu mengenai banyaknya aplikasi pemerintah yang tidak efisien dan rencana untuk menggantikannya dengan super app bukan baru kali ini disuarakan.
Bagaimanapun, harapan untuk mengaktualisasikan rencana pembuatan aplikasi supertersebut kini menemukan momentumnya. Selain akan menghemat anggaran dan mengefisienkan kerja pemerintah, penyederhanaan aplikasi juga sesuai dengan semangat penyederhanan birokrasi yang telah diusung dan dilaksanakan pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2020. Setelah menyederhanakan birokrasi dari empat lapis menjadi dua lapis, menyederhanakan aplikasi dengan menghapus ribuan aplikasi yang tidak efisien dan menyederhanakannya ke dalam beberapa aplikasi saja kiranya menjadi konsekuensi logis berikutnya.
Selain itu, langkah ini juga sesuai dengan tujuan pemerintah yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik (e-government) sebagai salah satu kebijakan prioritas nasional. Selama ini, e-government telah banyak dikumandangkan dan hal ini diterjemahkan dengan membuat banyak aplikasi.
Baca juga: Peringkat ”E-Government” Indonesia
Kini, saatnya bergerak lebih lanjut dan lebih radikal dengan menyederhanakan aplikasi-aplikasi yang ada agar makna otentik dari e-government dapat diwujudkan. Implementasi e-government melalui penyederhanaan aplikasi akan membuat pemerintah tampil sebagai satu-kesatuan di mata publik sehingga paradigma whole of government menjadi dapat diwujudkan.
Untuk menjalankan langkah tersebut, dibutuhkan beberapa prasyarat untuk menjamin keberhasilannya. Pertama, kehendak politik perlu diperkuat. Dua menteri telah melontarkan wacana untuk menyederhanakan aplikasi. Presiden perlu merespons sinyal ini dengan menegaskan komitmen dan persetujuannya untuk membuat super app. Dengan komitmen dan persetujuan dari pemimpin tertinggi birokrasi, langkah sukar dan kompleks menjadi lebih mudah untuk dilaksanakan.
Kedua, lembaga pemerintah perlu meredam ego sektoralnya. Dengan keberadaan super app, otomatis anggaran dan kewenangan yang melekat pada setiap lembaga terkait dengan aplikasi yang selama ini dikelolanya akan hilang.
Dua menteri telah melontarkan wacana untuk menyederhanakan aplikasi. Presiden perlu merespons sinyal ini dengan menegaskan komitmen dan persetujuannya untuk membuat super app.
Setiap pemimpin di lembaga pemerintah perlu mengubah haluannya dengan menjadikan kepentingan publik sebagai batu penjuru dan perspektif whole of government sebagai kesadaran bersama. Mengubah pola pemberian penghargaan kepada lembaga pemerintah dari yang selama ini diberikan kepada penciptaan aplikasi baru kepada upaya integrasi aplikasi dapat menjadi upaya untuk menghabituasikan kesadaran baru tersebut.
Ketiga, jangan sampai penyederhanaan aplikasi menjadi penguatan salah kaprah dari paradigma solusionisme. Pemerintah perlu menyadari bahwa teknologi bukanlah tongkat ajaib, melainkan instrumen yang juga memiliki kekurangannya dan tetap membutuhkan manusia dalam pengoperasiannya. Untuk meredam solusionisme, perhatian terhadap inovasi berbasis teknologi perlu dibarengi dengan penciptaan inovasi yang lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Selain itu, desain super app yang akan diciptakan juga perlu diperhatikan. Perlu ada beberapa nilai tambah yang melekat kepadanya sebagai berikut. Pertama, super app hendaknya tidak hanya bersifat satu arah, tetapi interaktif. Dengan demikian, aplikasi dapat mengakomodasi umpan balik dan masukan dari publik.
Selain itu, aplikasi juga dapat menjadi ruang untuk melakukan kolaborasi antara pemerintah dan publik. Kolaborasi ini idealnya berlangsung mulai dari tahap perencanaan pembuatan aplikasi.
Kedua, super app hendaknya digunakan sebagai instrumen untuk membuat kebijakan publik yang lebih baik. Dengan keberadaannya, akan terwujud integrasi data antara K/L dan pemda.
Baca juga: Mangkraknya Moratorium Pengembangan Aplikasi
Selain mengonsolidasi data dengan mengeliminasi data yang tidak akurat, integrasi data ini sebaiknya juga dimanfaatkan untuk membuat kebijakan berbasis data (evidence-based policy) agar kebijakan yang dibuat menjadi tepat sasaran dan efektif.
Ketiga, karena menyangkut kemaslahatan bersama akibat difungsikan sebagai instrumen pelayanan publik yang terintegrasi, super app hendaknya dipandang sebagai barang publik. Oleh karena itu, super app dapat menjadi obyek pengawasan oleh publik selaku penerima manfaat utama. Dengan pengawasan dari publik tersebut, kelemahan yang ada di dalamnya dan penyimpangan yang dilakukan melaluinya menjadi dapat dikoreksi.
Antonius Galih Prasetyo, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara; IG: agalihprasetyo