Kebijakan Berbasis Viralitas, Bentuk Demokrasi di Indonesia?
Jika memang sistem pemerintahan dan demokrasi kita benar-benar berjalan dengan baik dan sedang menuju ke arah yang benar, seharusnya masyarakat tidak perlu membuat utas/petisi untuk berbicara kepada pembuat kebijakan.
Oleh
ALOYSIUS EFRAIM LEONARD
·5 menit baca
Ada dua sisi untuk melihat fenomena kebijakan berbasis viralitas yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia. Pertama, ini merupakan bukti bahwa para pembuat kebijakan di Indonesia sangat responsif. Ketika melihat satu isu yang menjadi kekhawatiran masyarakat, mereka langsung tegas bertindak untuk menyelesaikannya.
Di sisi yang lain, fenomena ini jadi bukti, ternyata masih banyak hal yang luput dari para pembuat kebijakan sehingga masyarakat perlu berbondong-bondong menyuarakannya—lewat cuitan di Twitter, postingan foto di Facebook dan Instagram, petisi di platform Change.org—agar ada sebuah perubahan kebijakan. Lalu, dari sisi manakah kita harus melihatnya?
Kebijakan berbasis viralitas ini muncul semenjak masyarakat Indonesia semakin rajin berkomunikasi secara bebas menggunakan media sosial. Pintu berkembangnya kebebasan berbicara dan berekspresi ini terbuka lebar setelah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru 24 tahun lalu.
Tahun 1998 pun sering dianggap sebagai titik balik berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Sejak saat itu pula, demokrasi di negara kita terus mengalami proses pendewasaan sampai hari ini. Ahli politik dunia, Juan Linz dan Alfred Stepan, menyebutnya sebagai proses konsolidasi demokrasi.
Ada beberapa kondisi yang menyokong pendewasaan demokrasi, menurut Linz dan Stepan. Pertama, adanya masyarakat sipil (civil society). Kedua, komunitas politik yang memberikan ruang bagi aktor-aktor politik (bukan hanya politisi, tetapi juga masyarakat), untuk saling beradu meraih hak yang sah untuk memimpin. Ketiga, supremasi hukum bagi semua elemen masyarakat. Keempat, sistem yang bisa digunakan oleh para aktor; dan kelima, pengaturan sistem ekonomi masyarakat.
Kalau kita mengacu kepada lima poin yang disampaikan oleh Linz dan Stepan, tentu kita bisa lihat bahwa memang sedang terjadi pendewasaan demokrasi di Indonesia. Masyarakat sipil saat ini masih bebas menyampaikan pendapat mereka, baik secara publik maupun melalui pintu sekecil apa pun yang dibukakan pembuat kebijakan bagi mereka untuk berpartisipasi.
Masih ada ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menjadi pejabat pemerintahan: baik itu di level paling rendah (RT) maupun yang tertinggi (nasional). Negara kita juga masih berlandaskan hukum, dan sampai hari ini, semua orang masih sama kedudukannya di bawah konstitusi. Sistem perekonomian negara kita juga sejauh ini masih berjalan dengan baik, tidak terlalu terpusat, dan tidak terlalu terbuka.
Artinya, sistem demokrasi kita sedang baik-baik saja dan berada di jalur yang benar, kan?
Pendewasaan demokrasi bukan hanya mengenai sebuah sistem pembuatan kebijakan yang reaktif, atau baru mendengar ketika masyarakat berteriak habis-habisan.
Satu sisi yang bisa kita setujui dari ”kebijakan berbasis viralitas” ialah, ia merupakan bukti masih adanya sistem demokrasi di Indonesia untuk saat ini. Media sosial dan internet memberikan ruang bagi siapa pun untuk bersuara dan ikut menyampaikan kekhawatiran mereka, mengumpulkan dukungan sebanyak-banyaknya dari warganet lainnya, sampai akhirnya dijadikan sebuah kebijakan oleh pemerintah.
Namun, seperti yang sudah disampaikan oleh Linz dan Stepan, pendewasaan demokrasi bukan hanya mengenai sebuah sistem pembuatan kebijakan yang reaktif, atau baru mendengar ketika masyarakat berteriak habis-habisan. Agar sebuah demokrasi bisa menjadi dewasa, warga negara harus benar-benar mengapresiasi institusi-institusi yang ada di komunitas politik yang demokratis. Warga negara harus percaya pada partai politik, para pembuat undang-undang, pemilihan umum, dan pemimpin-pemimpin yang ada.
Oleh karena itu, pertanyaan baru bakal muncul: apakah penyampaian pendapat melalui media sosial ini bentuk kepercayaan masyarakat kepada sistem pemerintahan, atau sebuah bentuk keputusasaan? Tampaknya, ini adalah bentuk keputusasaan, bukan? Selain itu, perubahan kebijakan setelah satu isu menjadi viral tidak selalu menambah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Jarak renggang
Perubahan kebijakan yang didasari pada protes masyarakat menunjukkan bahwa ada yang salah dengan proses pembuatan kebijakan di Indonesia. Tidak hanya sekali pemerintah melakukan testing the waters atau percobaan, dengan melemparkan sebuah isu ke publik, yang diikuti dengan reaksi keras dari masyarakat, dan akhirnya memilih untuk mengubah kebijakan tersebut.
Jika memang sistem pemerintahan dan demokrasi kita benar-benar berjalan dengan baik dan sedang menuju ke arah yang benar, seharusnya masyarakat tidak perlu membuat utas/postingan/petisi untuk berbicara kepada para pembuat kebijakan. Buat apa negara kita punya perwakilan di setiap level, tetapi para pembuat kebijakan harus menunggu masyarakat protes di media sosial terlebih dahulu? Bayaran terhadap para perwakilan ini juga tidak kecil. Tetapi, masyarakat masih harus berkeluh kesah secara publik dan meminta dukungan orang-orang di ruang daring.
Buat apa negara kita punya perwakilan di setiap level, tetapi para pembuat kebijakan harus menunggu masyarakat protes di media sosial terlebih dahulu?
Sebenarnya tidak ada salahnya menyampaikan pendapat kita di dunia maya. Toh, hampir semua politisi, partai politik, dan lembaga pemerintahan punya akun media sosial. Bahkan, tak sedikit yang sangat aktif berkomunikasi. Namun, bahkan di dalam ruang yang seharusnya mendekatkan yang jauh pun, jarak antara para pembuat kebijakan dan masyarakat masih sangatlah renggang. Atau mungkin, selama ini ‘perwakilan’ yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia hanyalah bersifat semu.
Lagipula, kebiasaan para pembuat kebijakan yang bersikap reaktif ketika ada satu isu yang menjadi viral di media sosial juga tidak selalu baik. Media sosial adalah sebuah ruang yang sangatlah keruh, penuh buzzer (pendengung), dan tidak selalu berisi opini-opini atau permintaan yang adil bagi semua pihak. Tidak bersikap selektif dan terus bersikap reaktif terhadap satu isu yang viral di media sosial malah bisa mengurangi kepercayaan publik pada para pembuat kebijakan.
Kebijakan berbasis viral ini menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Kita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang telah dibentuk sedemikian rupa: mulai dari perwakilan rakyat, pemilu, sistem peradilan; tetapi pada akhirnya kita tetap harus berkeluh kesah secara publik sampai viral di ruang daring untuk mendapatkan kebijakan yang kita perlukan.
Sikap reaktif bukanlah bentuk ideal dan tentunya bukanlah bukti dewasanya demokrasi negara kita. Sikap reaktif dari setiap pembuat kebijakan yang harus selalu menunggu masyarakat berteriak dan menangis secara publik, membuktikan bahwa demokrasi kita masih sangat belia. Artinya, kita tidak boleh puas dengan para pembuat kebijakan yang didasari oleh viralitas suatu isu. Kita harus mencari pembuat kebijakan yang berani mengubah sistem ini agar demokrasi kita bisa benar-benar menjadi dewasa.
Aloysius Efraim Leonard, Juru Kampanye di Change.org Indonesia