Pada 23 Juli 2022 ada ajakan untuk meramaikan wilayah cagar budaya Kayutangan atau Kayutangan Heritage dengan menggelar fashion street.
Acara ini, meski berlangsung aman, tujuannya berkesan tidak beraturan dan cenderung mengganggu ranah kepentingan umum, terutama di Jalan Rajabali sebagai salah satu jalan simpang besar di Kota Malang.
Acara digelar di zebra cross simpang Rajabali, yang cenderung membuat ramai salah satu titik wilayah Kayutangan Heritage dan menghambat lalu lintas ketika malam hari. Secara keseluruhan, acara ini terkesan meniru aksi Citayam Fashion Week yang diekspos oleh media. Suatu hal yang cukup miris lantaran dua wilayah ini memiliki latar belakang perlawanan yang berbeda.
Citayam Fashion Week adalah arena perlawanan kelas ekonomi dan ruang publik bagi kelas menengah ke bawah terhadap wilayah kelompok masyarakat yang lebih mapan. Kayutangan Heritage adalah ruang publik yang sedang dijadikan bahan kepentingan politik dewan kota.
Dari kedua hal itu, kelihatan bahwa kedua wilayah sama-sama menjadi arena perlawanan secara budaya dan relasi kuasa, tetapi perlu upaya yang berbeda, terutama ketika mengenakan konteks fashion.
Dalam kasus Citayam Fashion, konteks fashion oleh anak muda CBSD digunakan untuk mengekspos kemampuan diri berbaur di lingkungan mapan. Dengan dana seadanya merebut ruang publik.
Dalam kasus Kayutangan, yang terjadi malah kaum yang cukup mapan memanfaatkan momen untuk tampil dalam pergelaran yang diadakan dengan tanpa melakukan upaya yang sama dengan anak muda Citayam. Dengan kata lain, caranya sama, tapi tujuannya berbeda.
Perjuangan masyarakat Kayutangan dalam menjadikan wilayahnya menjadi sebuah ruang publik memang perlu dipahami lagi agar menjadi nilai perlawanan bersama bagi warga Kota Malang. Seharusnya konsep menjadikan fashion sebagai upaya perlawanan juga bisa digunakan.
Sangat disayangkan pergelaran Kayutangan Fashion ini kurang memperhatikan nilai budaya Kayutangan Heritage sebagai bagian dari Kota Malang serta fungsi area yang digunakan. Kita perlu belajar menggunakan nilai budaya wilayah untuk kepentingan bersama.
Hardyan D Natanael Jl Sultan Agung, Kota Malang, Jawa Timur
Filsafat dan Jembatannya
Saya membaca dengan terbata-bata kolom Siti Murtiningsih, ”Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan” (Kompas, 23/6/2022).
Kolom itu kemudian mendapatkan tanggapan dari fisikawan dan pendekar bahasa Liek Wilardjo, ”Tahana Ontologis Kecerdasan Buatan” (Kompas, 18/7/2022). Suatu percakapan penting untuk diskursus lebih dalam akan sains dan filsafat dalam menyikapi kemajuan zaman.
Kesimpulan di tulisan Siti menyerupai kesimpulan opininya, ”Jembatan Ilmu-ilmu” (Kompas, 25/3/2022) tentang pemosisian filsafat sebagai jembatan keilmuan. Saya membahasakannya terkoneksi dengan keilmuan apa pun, baik sains kealaman, sosial humaniora, maupun seni. Hanya saja, kesimpulan itu bisa jadi klise jika tidak membenturkan posisi filsafat dalam realitas sains kealaman.
Saya pernah menempuh studi di jurusan fisika selama tujuh tahun. Tak ada pendekatan proses belajar di sana mengenai sejarah dan filsafat. Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan cum filsuf barangkali tidak terbaca para mahasiswa sekalipun mereka di program studi fisika.
Akhirnya kita akan selalu mendapati berbagai masalah yang sering muncul dalam budaya akademis terkait kesan ”agamis” dalam fakultas berbasis sains dan teknologi. Persis sebagaimana pernah dikritik Andi Hakim Nasoetion, Rektor IPB 1978-1987, dengan esainya, ”Ketekunan yang Langka” (2001).
Saya berharap diskursus peran filsafat menjadi jembatan ilmu itu merambah pada pengambil keputusan dalam skema pendidikan, baik dasar, menengah, maupun tinggi. Jangan sampai hanya berkutat pada hal besar saja.
Kalau kita berpikir lebih akan dinamika, mestinya dilakukan pada pengembangan ilmu di zaman ini. Bukan sebatas multidisiplin dan interdisiplin, tetapi transdisiplin. Filsafat harus turun ke jalan.
Joko Priyono Fisikawan Partikelir, Jl Slamet Riyadi, Surakarta