Adopsi pupuk hijau, gerakan ”urban farming”, dan penguatan digitalisasi dalam pengendalian harga apabila direplikasi secara nasional, memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam perang melawan inflasi.
Oleh
ARIS RUDIANTO
·4 menit baca
Genderang ekonomi hijau dalam upaya mencapai emisi rendah karbon (net zero emission) tampaknya agak terbayangi dengan ingar bingar inflasi yang kian hari kian menggelegar. Betapa tidak, pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku sejak 1 Juli 2022. Bergeser sekali lagi dari yang seharusnya diterapkan per 1 April 2022. Kekhawatiran adanya pengaliran beban pajak (burden shifting) ke konsumen sehingga mendorong harga naik dinilai menjadi penyebab ditempuhnya langkah tersebut.
Implementasi pajak karbon memang ditunda, tetapi bukan berarti mengerdilkan semangat ekonomi hijau untuk menggapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Yang perlu diatur adalah gradasinya: seberapa hijau. Di bawah bayang-bayang stagflasi seperti sekarang ini, regulasi perlu memilah-milah instrumen hijau mana yang relevan dan tidak bersifat countercyclical dengan upaya pengendalian inflasi di Tanah Air.
Bisa dipahami, penundaan pajak karbon tersebut ditempuh untuk mengharmonikan diri dengan pemulihan ekonomi dan agar tidak menyia-nyiakan momentum normalisasi suku bunga yang masih ditahan oleh Bank Indonesia hingga kini. Banyak pendapat berpandangan bahwa ekonomi hijau adalah formula terbaik untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun, disadari bersama bahwa transisi menuju ekonomi hijau memerlukan investasi yang besar sehingga dianggap kurang mampu diajak serta dalam gotong royong pengendalian harga, khususnya dalam dimensi jangka pendek dan menengah. Pandangan ini mungkin tidak salah, tetapi jelas tidak sepenuhnya benar. Kata siapa ekonomi hijau tak punya andil besar dalam pengendalian inflasi? Ekonomi hijau memiliki peran strategis dalam hajatan pengendalian inflasi nasional.
Menghadirkan pupuk hijau
Sejarah tentu mengingat era revolusi hijau di tahun 1970-an yang bertujuan meningkatkan laju pesat produktivitas pertanian dan mencapai swasembada pangan. Kala itu, selain menyediakan bibit impor, pemerintah juga memberikan subsidi pupuk anorganik secara masif sehingga petani cenderung memilih pupuk anorganik karena harganya yang murah.
Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama, para petani dihadapkan pada konsekuensi yang tak disangka. Kesuburan tanah kian merosot dan ketergantungan pemakaian pupuk anorganik kian hari makin meningkat.
Saat ini, pemerintah kembali menerapkan program pupuk bersubsidi (untuk urea dan NPK). Besarannya sekitar Rp 25 triliun yang menyasar sekitar 16 juta petani yang menanam sembilan komoditas pangan strategis nasional. Hal ini sebagai respons atas berkurangnya pasokan pupuk global karena konflik Rusia-Ukraina yang hingga detik ini belum rampung.
Saat ini pemerintah kembali menerapkan program pupuk bersubsidi (untuk urea dan NPK).
Pasalnya, Rusia merupakan salah satu pemasok utama pupuk ke Indonesia. Belum lagi kita dihadapkan pada aksi latah negara-negara di dunia yang melakukan proteksionisme pupuk dan pangan mereka sebagai respons atas tensi geopolitik Rusia-Ukraina.
Sengkarut global tersebut berimbas ke domestik. Ketersediaan pupuk subsidi yang terbatas tersebut berujung pada kelangkaan pupuk subsidi dan menggerek harga pupuk non-subsidi.
Kehadiran pupuk hijau, baik dalam bentuk pupuk organik maupun pupuk hayati yang diatur di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2019, dapat menjadi turning point dalam percaturan pupuk domestik sekaligus mendukung akselerasi menuju kedaulatan pangan, khususnya dari sisi faktor produksi.
Pupuk organik merupakan sekumpulan material organik dari sisa tumbuhan, kotoran hewan, atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa dan dapat menutrisi tanaman. Sementara pupuk hayati terdiri atas sekumpulan organisme hidup yang aktivitasnya dapat bermanfaat bagi kesuburan tanah.
Dibandingkan dengan popularitas pupuk subsidi, pupuk organik memiliki kemewahan berupa ketersediaan bahan baku yang melimpah di alam. Berbeda dengan bahan baku pupuk anorganik berupa phospahate yang pasokan dan harganya didikte oleh volatilitas harga pupuk global akibat konflik geopolitik. Hanya saja, kita perlu merekonstruksi tata niaga kelembagaan pupuk organik, mulai dari petani, pabrik, hingga regulator.
Insentif bagi pabrik yang memproduksi pupuk organik sangat diperlukan untuk meningkatkan popularitas dan mempercepat produksi pupuk organik. Selain itu, dukungan regulasi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri pupuk organik juga diperlukan agar semakin banyak pihak yang mereplikasi penggunaan pupuk organik sebagai substitusi dari pupuk kimia yang harganya kian mahal.
Digitalisasi dan inflasi
Aspek digital merupakan bagian integral dalam hampir setiap diskursus apa pun, tak terkecuali pengendalian inflasi dari kaca mata ekonomi hijau. Upaya penanganan inflasi apabila disederhanakan sejatinya adalah tentang harmonisasi antara supply dan demand. Kita sepakat bahwa tidak ada kendala dari sisi demand. Neraca konsumsi rumah tangga dan produk domestik bruto (PDB) triwulan I 2022 masih dalam tren meningkat.
Masalahnya ada pada sisi supply sehingga membuat kita berhadapan dengan makhluk bernama cost-push inflation. Dalam konsep just in time yang dipopulerkan oleh Taiichi Ohno pada 1970-an, prinsip produksi perusahaan-perusahaan Jepang biasanya dilakukan sesuai dengan jumlah yang diperlukan dan sesuai waktu yang dibutuhkan (tepat waktu dan tepat jumlah).
Aspek digital merupakan bagian integral dalam hampir setiap diskursus apa pun, tak terkecuali pengendalian inflasi dari kaca mata ekonomi hijau.
Kerangka kerja just in time juga dapat diadopsi dalam upaya pengendalian inflasi nasional saat ini. Dengan dukungan sistem digitalisasi informasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir di sepanjang rantai pasok komoditas utama penyumbang inflasi, seperti daging ayam, beras, minyak goreng, daging sapi, aneka cabai, aneka bawang, dan produk hortikultura lainnya, koordinasi jumlah pasokan dan informasi permintaan konsumen dapat diintervensi sedemikian rupa. Jadi, volatilitas harga dapat dijaga sesuai dengan tingkat keseimbangan. Hal ini memungkinkan bekerjanya mekanisme the invisible hand pengendalian harga untuk mengendalikan sifat ”binatang buas” dari inflasi.
”Urban farming”
Dengan pertumbuhan populasi urban yang meningkat setiap tahun, kehadiran urban farming menjadi langkah strategis. Terdapat beberapa opsi urban farming yang dapat diadopsi secara masif, antara lain teknik hidroponik dan aeroponik. Dengan hidroponik, tanaman hortikultura dapat dibudidaya melalui sarana air (tanpa tanah). Sementara teknik aeroponik menumbuhkan tanaman pertanian dengan media udara, di mana cairan nutrisi diembunkan pada akar tanaman.
Worldometers memproyeksikan pada 2025 jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 170,4 juta jiwa atau 59,3 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 287 juta jiwa. Dengan pasukan sebanyak ini, bayangkan apabila 10 persen saja dari populasi tersebut secara masif menanam hortikultura. Tentu akan sangat membantu mengisi lumbung pasokan hortikultura yang belakangan menyumbang cukup tinggi pada inflasi komponen bergejolak (volatile food) yang mengalami inflasi 10,07 persen secara tahunan pada Juni 2022.
Upaya untuk mempercepat kemudi ekonomi hijau bukanlah sebuah pilihan, tetapi keniscayaan. Gerakannya harus didorong dari segala arah. Tidak hanya top down dari pemerintah yang dikumandangkan melalui presidensi G20, tetapi juga dapat dilakukan secara bottom up dari entitas terkecil dari sebuah negara, yaitu individu.
Adopsi pupuk hijau, gerakan urban farming, dan penguatan digitalisasi dalam pengendalian harga apabila direplikasi secara nasional, memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam perang melawan inflasi. Hal ini menjadi semacam ”obat hijau” dari alam yang mengobati luka memar (scarring effect) ekonomi domestik di masa pemulihan.
Aris Rudianto, Analis di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat; Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM