Legalisasi ganja untuk kesehatan bisa dilakukan dengan meminta Menteri Kesehatan membuat perubahan penggolongan narkotika, terutama ganja. Perlu riset ilmiah untuk mengeluarkan ganja dari narkotika golongan 1.
Oleh
MARDANI MALEMI
·5 menit baca
Mahkamah Konstitusi pada 20 Juli 2022 menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Alasannya, permohonan para pemohon adalah bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah untuk mengkaji apakah ganja bisa digunakan untuk kepentingan kesehatan atau tidak (Kompas.com, 20/7/2022).
Dalam kajian ilmu kebijakan publik, alasan sebagaimana disampaikan MK di atas sangatlah tepat dan logis. Secara spesifik, MK menyadari bahwa permohonan yang diajukan pemohon adalah kebijakan yang bersifat meso (menengah). Hanya butuh penjelas pelaksana dalam bentuk peraturan menteri.
Tidak mungkin bagi MK memutuskan untuk menetapkan atau mengeluarkan ganja dari narkotika golongan I. MK bukanlah lembaga yang menetapkan kebijakan penjelas pelaksana. Terlebih MK tidak punya infrastruktur untuk itu.
Permohonan uji materi UU No 35/2009 tentang Narkotika tersebut diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Mereka menguji Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 Ayat (1).
Pasal 6 Ayat (1) menyatakan, ”Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a) Narkotika Golongan I; b) Narkotika Golongan II; dan c) Narkotika Golongan III”. Sementara Pasal 8 Ayat (1) menyatakan, ”Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.” Pasal inilah yang dianggap merugikan hak konstitusional pemohon karena menjadi penghalang untuk mendapatkan pengobatan bagi anak pemohon.
Berdasarkan lampiran UU No 35/2009 dan diperbaharui melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2022 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, ganja termasuk dalam narkotika golongan I. Jadi, legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan di Indonesia sebenarnya bisa dilakukan dengan meminta Menteri Kesehatan untuk membuat perubahan penggolongan narkotika, khususnya ganja.
Pasal 6 Ayat (3) UU No 35/2009 memberi kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk dapat membuat perubahan penggolongan narkotika. Akan tetapi, ini tentu butuh proses. Pemerintah, sebagaimana disyaratkan, membutuhkan riset ilmiah sebelum mengeluarkan ganja dari narkotika golongan I.
Dalam amar putusannya, MK juga meminta pemerintah melakukan penelitian (riset) pemanfaatan ganja untuk kesehatan.
Dalam amar putusannya, MK juga meminta pemerintah melakukan penelitian (riset) pemanfaatan ganja untuk kesehatan. Menurut penulis, MK bahkan memahami bahwa kebijakan untuk mengeluarkan atau tidak ganja dari narkotika golongan I merupakan bagian dari ”is whatever government choose to do or not to do” dalam teori kebijakan publik Thomas R Dye.
Mahkamah Konstitusi sesungguhnya juga menyentil lambatnya upaya riset ganja. Sehingga ”…choose to do or not to do” belum bisa diputuskan oleh pemerintah walau rakyat terus berteriak tentang legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan. Padahal, pemerintah punya kewenangan untuk itu sejak UU No 35/2009 disahkan.
Bola panas di tangan pemerintah
Setelah amar putusan MK ini, bola panas legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan sepenuhnya berada pada kebijakan pemerintah. Di sisi lain, posisi pemerintah dapat menjadi lebih kuat atau lemah tergantung revisi UU No 35/2009 tentang Narkotika yang tahun ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Hingga kini tujuan pokok dari revisi ini adalah untuk memperjelas artikulasi pencandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkoba.
Meminjam istilah Stephen Bounds, persoalan ganja menurut penulis adalah konflik intrinsik antara dua kepentingan: individu versus masyarakat. Bagi kelompok libertarianisme, mereka akan terus memperjuangkan legalisasi ganja. Bahkan melampaui batas kepentingan kesehatan. Menjadikan ganja sebagai tanaman komersial atau bahkan komoditas ekspor.
Kelompok libertarianisme ini bisa saja merujuk kepada Komisi Kesehatan PBB yang menyetujui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghapus cannabis (ganja) dan cannabis resin (getah ganja) dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Perusahaan asal Inggris, GW Pharmaceuticals, misalnya. Langkah mereka malah lebih maju dengan telah berhasil memproduksi obat epilepsi berbahan CBD murni dan kurang dari 0,1 persen THC: Epidiolex. Obat ini dijual bebas di apotek di Amerika Serikat.
Ironisnya, di Indonesia, beberapa kasus anak-anak yang mengidap cerebral palsy membutuhkan terapi dari obat cannabidiol (CBD), senyawa yang berasal dari ekstrak ganja. Salah satu kualitas ganja terbaik dunia bahkan ada di Indonesia, khususnya Aceh.
CBD tentu bukan satu-satunya senyawa dalam tanaman ganja. Tumbuhan ini juga mengandung senyawa tetrahydrocannabinol (THC). Senyawa inilah yang memicu mabuk ganja. THC adalah komponen psikoaktif yang juga memberi efek samping pada mental dan kecanduan. Dalam himpunan keputusan ijmak ulama komisi fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 jelas disebutkan bahwa sesuatu yang memabukkan, baik sedikit maupun banyak, haram hukumnya.
CBD tentu bukan satu-satunya senyawa dalam tanaman ganja. Tumbuhan ini juga mengandung senyawa tetrahydrocannabinol (THC). Senyawa inilah yang memicu mabuk ganja.
Menurut Stephen Bound, di sinilah goal conflict regulations atau regulasi konflik tujuan memegang peranan penting. Meski teori ini cenderung dianggap ”jijik” oleh kelompok libertarianisme, konsep paternalisme akan memberi rujukan sebatas mana pemerintah perlu membatasi seseorang untuk menggunakan ganja.
Ada empat komponen kepentingan umum dalam teori goal conflict regulations, yaitu: (1) kepentingan individu; (2) masyarakat; (3) penguasa; dan (4) bangsa. Akan tetapi, ketika tujuan individu berbenturan dengan tujuan masyarakat, maka kepentingan umum harus menjadi tujuan utama.
Keputusan MK juga sudah tepat apabila dilihat dari tingkat diferensiasi sosial, terutama dalam konteks diferensiasi agama. Menetapkan regulasi dari tanaman ganja yang prinsip dasarnya haram tanpa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat membuat kepentingan masyarakat terganggu. Hal ini tentu akan melemahkan fungsi regulasi sebagai perekayasa keadaan sosial.
Indonesia juga merupakan negara dengan esensial geografi morfologi: terdiri dari pegunungan, lembah, daerah yang luas, hingga pulau-pulau. Area-area ini memungkinkan ganja tumbuh liar di luar batas regulasi. Bahkan, ganja bisa tumbuh mudah melalui penyerbukan sari di udara.
Karena itu, conflict of interest dalam regulasi ganja akan berhadap-hadapan dengan kelompok partikularisme yang asal untung dan masa bodoh dengan lingkungannya.
Mardani Malemi, Dosen Administrasi Negara di UIN Ar-Raniry Aceh