Retorika Visual
Jika politik dimaknai sebagai seni memengaruhi dan memenangi hati warga, tak diragukan, visualisasi politik akan menjadi perburuan habis-habisan partai dan politisi.

Idi Subandy Ibrahim
Budaya komunikasi politik suatu bangsa bisa dilihat dari bagaimana elite politik menggunakan sumber daya untuk membangun citra di benak warganya. Dalam sejarah transisi negeri ini, ”retorika visual” lewat berbagai media di ruang publik telah lama menjadi bagian dari persaingan pencitraan elite politik. Bahkan, tak jarang perang visual lebih seru daripada perdebatan argumen di ruang parlemen. Tebaran citra diri di media sosial dan papan iklan jauh lebih menawan daripada jejak kerja nyata di lapangan.
Salah satu hal pokok yang dibahas Benjamin Barber dalam bukunya yang berpengaruh, Jihad Vs McWorld, adalah bahwa teknologi komunikasi (audio, visual, film, cetak, dan elektronik) secara tak terhindarkan berdampak pada budaya dan politik serta sikap yang membentuknya. Barber menyebut ”telesektor infotainment”; hubungan teknologi, berita, dan hiburan adalah ”yang menciptakan dan mengendalikan dunia tanda dan simbol”.
Jika pemikir budaya tersohor Clifford Geertz (1980) pernah menggambarkan apa yang disebutnya sebagai ”Negara Teater”, mengacu pada pengalaman Bali abad ke-19, maka kemajuan teknologi komunikasi dan rekayasa visual abad ke-21 kian mengukuhkan relevansi kontemporer pandangan tersebut. Di negara teater tradisional, elite membangun simbol kuasa lewat ritual, pertunjukan, festival, dan upacara untuk menjaga karisma dan kepatuhan. Di negara panggung era neoliberalisasi politik, berbagai aktivitas, seperti rapat kenegaraan atau aktivitas keluarga ”orang penting”, yang sebelumnya tertutup perlu dipanggungkan baik lewat media resmi maupun saluran Youtube, Instagram, atau Twitter pribadi. Bahkan, elite politik kini juga kian rajin memanggungkan laporan harta kekayaan di saluran media sosialnya. Rupanya era tontonan politik kian meneguhkan eratnya hubungan antara harta dan kuasa.
Bagi Geertz, politik juga dapat dipandang sebagai perjuangan di seputar makna simbol-simbol. Politik dimaknai sebagai drama yang di dalamnya berlangsung permainan simbol. Simbol-simbol dalam kehidupan politik tak bisa dipisahkan dari budaya dan perilaku politik sendiri. Gejala persaingan politik dipandang sebagai seni bertindak secara simbolik. Di abad visual, politik lumrah dilihat sebagai seni pertunjukan.
Ini mengingatkan kita pada seni politik dan politik seni. Bagi sebagian seniman atau budayawan, mungkin ”seni (untuk) politik” dianggap akan menyempitkan makna seni. Karena politik dilihat memanipulasi seni untuk tujuan kuasa politik. Bukankah dalam sejarah perjalanan negeri ini, sudah pernah terjadi perbenturan antara kelompok ”seni untuk seni” dan ”seni untuk politik”? Tetapi, bukankah politik seni juga bisa dikerahkan untuk tujuan perlawanan atas dekadensi politik? Bukankah kampanye politik juga sering diselingi dangdut, sebagian politisi doyan bernyanyi, dan artis juga sudah berbondong-bondong masuk politik? Gejala selebritisasi politik dan politik jadi panggung artis/hiburan (politicotainment) sudah biasa!
Jika politik dimaknai sebagai seni memengaruhi dan memenangi hati warga, tak diragukan, visualisasi politik akan menjadi perburuan habis-habisan partai dan politisi. Karena itu, upaya popularisasi politik akan kian menjadi ajang komersialisasi politik. Sekalipun komunikasi politik terdorong dengan keterjangkauan akses media sosial yang mudah dan murah untuk pemasaran citra politik. Ketika platform digital mulai diambil alih oleh segelintir bisnis besar, usaha popularisasi citra politik akan kian berdimensi komersial.
Karena itu, suka atau tidak suka, perekayasa algoritma media sosial akan selalu berusaha mengarahkan dan merekomendasikan selera dan pilihan politik dan gaya hidup Anda. Jika sikap kritis tidak terbangun, budaya politik yang berkembang akan mendorong praktik demokrasi berbiaya tinggi dan warga hanya akan dipandang sebagai konsumen politik.
Geliat politik pascapandemi memperlihatkan perburuan citra visual kian membutuhkan sumber daya modal yang tidak kecil, sekaligus juga menggambarkan kesenjangan sosial politik itu sendiri. Rakyat hanya sebagai penonton. Bukankah tidak semua politisi bisa memajang spanduk foto berukuran besar di kendaraan umum atau di berbagai persimpangan jalan di kota-kota di Tanah Air?
Selama ini elite politik menggunakan kekuatan retorika visual untuk menciptakan dramatisasi dan kesan kedekatan dengan rakyat. Dengan bantuan konsultan citra dan fotografer profesional, foto-foto dibuat dengan memanipulasi kekuatan visual dan verbal. Ada politisi yang digambarkan tegas, anak muda penuh harapan, penjaga Pancasila dan NKRI, pemersatu bangsa, dekat dengan petani, atau terlihat seperti politisi paling religius dan bersih. Kemudian visualisasi aksi blusukan, hadir ke lokasi bencana, berkunjung ke rumah warga, atau operasi pasar bukan lagi gebrakan politik yang unik dan baru.
Kecerdasan retorika visual aktor politik akan menentukan keberhasilan mereka membangun ”retorika kedekatan/keintiman” (rhetoric of intimacy) dengan publik. Pertama, retorika kedekatan harapan (emosional), apabila mereka mampu menangkap harapan yang hidup di tengah masyarakat dan menerjemahkannya ke dalam politik simbol. Kedua, retorika kedekatan persoalan (rasional), apabila mereka mampu memahami persoalan nyata yang sedang dihadapi masyarakat dan menerjemahkannya ke dalam bahasa verbal dan visual dan memberikan pemecahan realistik atas persoalan tersebut.
Belajar dari Presiden Joko Widodo yang hingga kini terus membangun retorika kedekatan dengan masyarakat lewat ”hadiah sepeda” di berbagai kesempatan. Siapa yang mengira seorang pria dari Solo yang selalu berpakaian sederhana dan sering turun ke saluran air sambil melipat lengan baju serta divisualisasikan berulang-ulang di media tiba-tiba menciptakan retorika visual dan bahasa politik baru ”blusukan” untuk kemudian menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Barangkali tak bisa diabaikan juga adalah bahwa retorika visual harus diarahkan sebagai upaya perjuangan untuk membangun imajinasi dan fantasi masyarakat. Dengan fantasi dan imajinasi itu mereka membangun harapan terhadap pemimpin dan masa depannya.
Idi Subandy Ibrahim; Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi